TEORI
STRUKTURALISME
1. Pengertian
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap
teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur
teks.Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting.Unsur-unsur itu
hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi
oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata,
kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual
(karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud
ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).
Istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik
sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern.tetapi
umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang
menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinan
de Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik,
yang berpandangan bahwa karya sastra adalah ( tiruan kenyataan), teori
ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan
watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media
komunikasi antara pengarang dan pembacanya.
Menurut Para Ahli:
1). Ferdinand de Saussure
Meletakkan dasar bagi linguistik modem melalui mazhab yang
didirikannya, yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik
adalah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk, tanda, lambang)
dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan langue (bahasa),
dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini
ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena
bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan dirt atas apa pun yang
letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal
dart pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Sistem dan metode linguistik
mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat
diterima secara luas.Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh
berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi,
dan analisis cerita.
2). Jan Mukarovsky
Memperkenalkan konsep kembar artefakta-objek-estetik.Sastra
dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap.Teks-teks sastra dianggap
sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem
sastra dan sosial.
3). Sklovsky
Mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang
serupa dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi.
Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra sering kali memunculkan gaya
yang berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur
bahasa ini pun sering kali menghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak
biasa.
4). Roland Barthes dan Julia
Kristeva (Strukturalisme Perancis)
Mengambangkan seni penafsiran struktural berdasarkan
kode-kode bahasa teks sastra.Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode
retorika, psikoanalitis, sosiokultural.Mereka menekankan bahwa sebuah karya
sastra haruslah dipandang secara otonom.Puisi khususnya dan sastra umumnya
harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya).Keindahan sastra
terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik.
Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan
agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam
cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
2. Sejarah
Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup
panjang dan berkembang secara dinamis.Dalam perkembangan itu terdapat banyak
konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan.Misalnya,
strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaftan erat dengan strukturalisme
ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika.Akan tetapi semua pemikiran
strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalam ilmu bahasa
yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure.Jadi walaupun terdapat banyak
perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah
bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar
linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379-381).
Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi
(penerimaan) pembaca.Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak
dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami
dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain,
makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap
pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang
terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh
pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya
sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia
kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas
horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang
dimiliki oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan
oleh tiga hal, yaitu;
1. Kaidah-kaidah yang terkandung
dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3.Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
2. Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3.Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir
ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu
kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real atau nyata.
Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra
akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon
harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai
generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya
sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi,
ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa
yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang
apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan
bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua
ini terkandung dalam horizon harapan kita.
Konsep Teori strukturalisme murni yang paling pokok
ditunjukan ialah peranan unsur-unsur dalam pembentuk totalitas, kaitannya
secara fungsional diantara unsur-unsur tersebut, sehingga totalitas tidak
dengan sendirinya sama dengan jumlah unsur -unsurnya.
Menurut
Jean Peagnet ada tiga dasar konsep strukturalisme:
1.Unsur
kesatuaan sebagai koherensi internal dan pembentuk totalitas
2.Transformasi
sebagai bentuk bahan-bahan baru secara terus menerus dan terjadinya saling
keterkaitan antar unsur tadi
3.Regulasi
diri (self regulating) yakni mengadakan perubahan kekuaatan dari dalam dan
unsur-unsur tadi saling mengatur dirinya sendiri.
Prosedur (metode) teori yang digunakan adalah metode struktural yakni suatu
metode yang cara kerjanya membongkar secara struktural unsur-unsur interistik
karya sastra yang meliputi didalamnya kebulatan makna, diksi, rima, struktur
kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan lainnya. Dalam unsu-unsur yang
dipaparkan tadi berperan sebagai pembentuk totalitas, selanjutnya terjadi
saling keterkaitan antar unsur tadi (transformatif) dan terakhir regurasi diri
(self regulating) yakni unsure-unsur tadi saling mengatur dirinya sendiri.
Asumsi karya sastra berdasarkan teori strukturalisme murni karya satra di
pandang dari aspek dalamnya saja yakni konsep bentuk dan isinya saja.
Sebagaimana yang di kemukakan oleh Ferdinand de Sausere yang intinya berkaitan
dengan konsep Sign dan Meaning (bentuk dan isi) atau seperti yang dikemukakan
oleh Luxemburg sebagai signifiant-signifei dan paradigm-syntagma.
Pengertiaannya adalah tanda atau bentuk bahasa merupakan unsur pemberi arti dan
yang di artikan.Dari dua unsur itulah ditemukan sebuah realitas yang saling
berkaitan.Karena itu untuk memberi makna yang tertuang dalam karya sastra,
penela’ah harus bisa mencarinya berdasarkan telaah struktur yang dalam hal ini
terrefleksi melalui unsur bahasa.
Kelebihan dari teori strukturalisme
murni adalah sebagai berikut:
1.
Teori stukturalisme murni hampir seluruh bidang kehidupan manusia baik itu
dalam laju perkembangan IPTEK, dalam menunjang sarana pra sarana penelitian
secara global, dan dalam bidang sastra memicu berkembangnya genre sastra dan
lainnya.
2.
Menumbuhkan prinsif antarhubungan baik itu hubungan masyarakat dengan sastra,,
minat mayarakat terhadap penelitaan inter disipliner, memberi pengaruh terhadap
berkembangnya teori sastra.
3.
Dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada
pemahaman yang maksimal.
Kekurangan
ataupun kelemahan dari teori strukturalisme murni ini disebabkan karena teori ini hanya menekankan
otonomi dan prinsif objektifitas pada struktur karya sastra yang memiliki
beberapa kelemahan pokok ialah sebagai berikut:
1.
Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan
relevensi sosialnya, tercabutnya dari sejarah, dan terpisah dari permasalahan
manusia.
2.
Mengabaikan pengarang (penulis) sebagai pemberi makna dalam penafsiran terhadap
karya sastra. Ini sangat krusial sekali dan berbahaya karena penafsiran
tersebut akan mengorbankan cirri khas kepribadian, cita-cita dan juga
norma-norma yang di pegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial
tertentu.
3.
Otomatis keobjektifitasannya akan diragukan lagi karena memberi kemungkinan
lebih besar terhadap campur tangan pembaca didalam penafsiran karya sastra
tersebut.
4. Karya sastra tidak dapat diteliti lagi dalam rangka
konvensi-konvnsi kesusastraan sehingga pemahaman kita terhadap terhadap genre
dan system sastra sangat terbas sekali.
PSIKOLOGI STRUKTUALISME
Psikologi struktural atau strukturalisme merupakan studi analitis tentang generalisasi pikiran manusia dewasa melalui metode introspeksi.Dalam hal ini psikologi dimaksudkan untuk mempelajari isi (konten) pikiran, sehingga sistem ini kadang juga disebut dengan psikologi konten.
Pendekatan psikologi stukturalisme berasal dari Wilhelm Wundt yang dipelopori di amerika oleh muridnya Edward Bradford Titchener.Perlu ditekankan bahwa psikologi strukturalisme ditemukan oleh Wundt sedangkan Titchener hanyalah satu dari sekian banyak murid yang dimiliki oleh Wundt, tetapi Titchener-lah yang berupaya membawa psikologi Wundt ke amerika dengan mempertahankan konsep aslinya.
Dalam konsep dan sistem ini. Psikologi strukturalisme dari Wundt dan Titchener memiliki 3 tujuan :
1. Menggambarkan komponen-komponen kesadaran sebagai elemen-elemen
dasar,
2. Menggambarkan kombinasi kesadaran sebagai elemen-elemen dasar tersebut, dan
3. Menjelaskan hubungan elemen-elemen kesadaran dengan sistem saraf
Kesadaran diatas diartikan sebagai pengalaman langsung.Pengalaman langsung yaitu pengalaman sebagaimana hal itu dialami.Hal ini berbeda dengan pengalaman antara.Pengalaman antara yaitu diwarnai oleh isi yang sudah ada dalam pikiran, seperti asosiasi sebelumnnya dan kondisi emosional serta motivasional seseorang.
Dengan demikian, pengalaman langsung diasumsikan tidak dipengaruhi oleh pengalaman antara.Psikologi strukturalisme berupaya mempertahankan integritas psikologi dengan membedakannya dari fisika.
Fisika mempelajari dunia fisik atau materi, tanpa merujuk pada manusia dan melalui metode observasional berupa inspeksi yang dikendalikan dengan hati-hati.Psikologi mempelajari dunia, dengan merujuk pada manusia yang mengalami sesuatu, melalui metode observasional berupa introspeksi terkontrol atas isi kesadaran.
Subjek pembahasan yang tepat bagi psikologi struktural adalah proses kesadaran dan bebas dari asosiasi. Sehingga Wundt dan Titchener berpendapat, psikologi harus terbebas dari kekuatan metafisika, pikiran awam dan kepentingan kegunaan atau terapan yang akan merusak intergritasnya.
Sedangkan metode eksperimental yang digunakan untuk memastikan ketepatan analisis isi mental adalah introspeksi.Teknik pelaporan diri ini merupakan pendekatan klasik untuk menggambarkan pengalaman pribadi. Sehingga introspeksi hanya akan dianggap valid jika dilakukan oleh para ilmuwan yang sangat terlatih, bukan oleh pengamat awam.
Disamping kelemahan psikologi struktural dalam pandangan fungsionalisme yaitu hanya sekedar mempelajari isi dan struktur yang terlibat dalam proses-proses mental, psikologi struktural memiliki kontribusi positif dalam bidang ilmu psikologi.Sistem ini mendorong psikologi menjadi ilmu pengetahuan.Wundt mendeklarasikan sebuah disiplin formal yakni psikologi yang didasarkan pada formulasi-formulasi ilmiah sehingga psikologi diakui sebagai ilmu pengetahuan.
PSIKOLOGI EVOLUSIONER
Psikologi evolusioner
adalah salah satu cabang baru dalam psikologi yang mencoba mempelajari potensi
peran dari faktor genetis dalam beragam aspek dari perilaku manusia. Cabang
baru dari psikologi ini menyatakan bahwa manusia, seperti makhluk hidup lainnya
di planet bumi ini, telah mengalami proses evolusi biologis selama sejarah
keberadaannya, dan dari hasil proses ini manusia sekarang memiliki sejumlah
besar mekanisme psikologis yang merupakan hasil evolusi yang membantu manusia
untuk tetap hidup atau mempertahankan keberadaannya. Dalam kajian
percobaan prediksi teoritis, psikologi evolusioner telah memberikan penemuan
dalam topik-topik, antara lain pola pernikahan, persepsi kecantikan,
kecerdasan, dan lain-lain. Akar sejarah dari psikologi evolusioner adalah teori
seleksi alam Charles Darwin.
pembahasan
Strukturalisme adalah cara filsafat yang mendasari semua pemikiran abad modern ini, dan linguistik merupakan salah satu ilmu yang paling sistematis dalam bidang humaniora[1]. Akar strukturalisme adalah filsafat bahasa Saussure yang pada umumnya karyanya diabaikan sampai tahun lima puluhan hingga enam puluhan, ia menangkap makna pengamatan terhadap struktur bahasa, dari pada logika jalan[2]. Pada tahun 1960-an strukturalisme telah menjadi model diparis, bagian dari metode filsafat yang pernah dijuluki “kelokan linguistic”, secara sederhana strukturalisme adalah pandangan bahwa setiap wacana, baik wacana filsafat maupun lainnya adalah sekedar sebuah struktur didalam bahasa tidak lebih. Teks tidak memberikan sesuatu yang lain kecuali teks itu sendiri, tidak ada lainnya dibalik bahasa.[3]
Ferdinand de saussure (1857-1913) telah meletakkan dasar linguistik modern. Dia adalah orang swiss yang untuk beberapa waktu mengajar di paris dan akhirnya menjadi professor di jenewa[4], dimana ia mendirikan apa yang disebut dengan madzab jenewa. Selama hidupnya ia mempublikasikan sedikit karangannya. Buku yang mengkibatkan namanya menjadi tersohor di bidang linguistik ditebitkan secara anumerta oleh dua orang muridnya dan diberi judul Cours de linguistique general (1916) kursus tentang linguistic umum.Beberapa prinsip dasar yang digunakan oleh tokoh-tokoh strukturalisme berasal dari teori linguistik yang diuraiakan dalam buku tersebut. Disini tidak mungkin dan tidak berguna pula mengutarakaan teori Saussure secara keseeluruhan, cukuplah kiranya jika kita membatasi diri pada tiga distingsi atau pembedaan yang untuk pertama kali diperkenalkan de Saussure dan memainkan peran penting sekali dalam strukturalisme, yaitu significant dan signifie, lantas langage, parole, langue, dan akhirnya sinkroni dan diakroni.
Karya yang terkenal dari de Saussure adalah Course in general Linguistic[5], yang tersusun dari catatan kuliah serta catatan murid-muridnya mungkin bisa dilihat sebagai bagian dari pemenuhan keyakinan de Saussure bahwa bahasa itu sendiri harus ditinjau ulang agar linguistik memiliki landasan yang mantap.
Seperti yang ditunjukkan Course, dalam sejarah linguistik, pendekatan Saussure pada umumnya dianggap menentang dua pandangan kontemporer yang berpengaruh tentang bahasa. Yang pertama adalah yang diusulkan pada tahun 1660 oleh lancelot dan gramaire de port-royal, karya dari arnaud, dimana bahasa dilihat sebagai cerminan pikiran dan didasarkan atas logika universal. Bagi ahli tata bahasa portroyal, pada dasarnya bahasa bersifat rasional.Pandangan kedua dating dari ilmu linguistic abad kesembilan belas, dimana sejarah bahasa tertentu dianggap bisa menjelaskan situasi bahasa pada masa ke masa.
Tanda dan konsep, suatu tanda bahsa bermakna bukan karena refrensinya pada benda dalam kenyataan.Yang ditandakan dalam tanda bahasa bukan benda, melainkan konsep tentang benda, suatu konsep tidak lepas dari tanda bahasa, tetapi termasuk tanda bahsa itu sendiri.Suatu kata adalah bunyi atau coretan, ditambah denagan suatu makna.
Penandaan yang ditandakan, penanda (signifiant) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Significant adalah aspek material dari bahsa, yaitu apa yang diaktakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Yang ditandakan (signifie) adalah gambaran mantal, fikiran atau konsep.Signifie adalah aspek mental dari bahasa.Tanda dan bahasa selalu mempnyai segi yaitu significant dan signifie.Suatu significant tanpa signifie tidak ada artinya dank arena itu tidak merupakan tanda.Sebaliknya, suatu signifie tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari significant.Yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan demikian merupakan suatu factor linguistic.
Bahasa individual dan bahsa bersama. Gejala bahsa secara umum dinyatakan denag istilah langage. Dalam langage dibedakan antara parole dan langue.Parole dimaksudkan sebagai pemakaian bahsa yang individual.Parole tidak dipelajari oleh linguistic.Linguistic menyelidiki unsure lain dari langage yaitu langue.Langue dimaksudkan sebagai bahsa sejauh milik bersama dari suatu golongan bahsa tertentu.Akibatnya, langue melebihi semua individu yang berbicara dengan bahasa itu.
Bahasa swebagai bentuk, bahsa bukan subtansi melainkan bentuk.Bahan-bahan yang menyusun suatu bahasa tidak berperan, yang penting dalam bahasa adalah aturan-aturan yang menyusunnya. Yang penting adalah susunan unsure-unsurnya dalam hubungannya satu sama lain, yang penting adalah relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang membentuk system tersebut.
Tepat menurut waktu dan menelusuri waktu, bahasa dapat dipelajari menrut dua sudut sinkron dan diskroni, sinkroni berarti “bertepatan menurut waktu” dan diakron “menelusuri waktu”.Diskroni adalah peninjauan historis, sedangkan singkroni menunjukkan pandangan yang lepas dari perspektif historis, singkron adalh peninjauan ahistoris.
Struktur dalam bahasa, istilah struktur berkaitan dengan bahasa sebagai system. Pendekatan structural tentang bahasa mengandung arti pendekatan yang menganggap bahasa sebagai system denagn cirri-ciri tertentu, pemakaian kata “struktur” dalam strukturalisme disertai oleh seluruh konteks yang telah diuraikan yaitu significant-signifie, parole-langue, sinkronidiakroni.[6]
Strukturalisme
Structuralism adalah sebuah kata dari bahasa inggris yakni struere (membangun).Structura berarti bentuk bangunan. Yakni sebuah sudut pandang, filsafat atau gerakan filosofis dewasa ini, ajaran pokoknya adalah semua masyarakat dan kebudayaan memiliki suatu struktur yang sama dan yang tetap.
Tujuan
Trend metodologis ilmiah ini menetapkan riset sebagai tugas menyingkapkan struktur objek-objek.Strukturalisme dikembangkan oleh beberapa ahli humanoria (linguistic, kritik sastra, psikologi dll).Pada awal abad ke-20 sebagai reaksi terhadap evolusionisme positivis denagan menggunakan metode-metode riset structural yang dihasilakan oleh matematika, fisika dan ilmu-ilmu alam lainnya.
Ciri khas strukturalisme adalah pemusatan pada deskripsi keadaan actual objek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instriknya yang tidak terikat oleh wktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsure-unsur system tersebut melalui pendidikan.Berangkat dari seperangkat fakta yang diamati pada permulaanya, strukturalisme menyingkapi dan melukiskan struktur inti dari suatu objek (hieraerkinya, kaitan timbale balik antara unsure-unsur pada setiap tingkat), dan lebih lanjut menciptakan suatu model teoritis dari objek tersebut.
Daintara factor-faktor yang memajukan perkembangan strukturalisme di dalam bebrapa ilmu ialah diciptakannya semiotic, ide-ide Ferdinand de Saussure dalam linguistic, ide-ide levi-strauss dalam etnologi, dan L.S. vygtsky dan piaget dalam psikologi, serta tampilnaya metalogika dan metamatematika ( Frege, Hillbert).
Bila diterapkan pada ilmu-ilmu individual, metode-metode structural mengakibatkan akibat-akibat positif: misalnya dalam linguistic pendekatan ini membantu membuat suatu deskripsi tentang bahasa yang tidak tertulis, membuat sandi prasati dalam bahasa, dll.
Gagasan strukturalisme juga mempunyai metodologi tertentu dalam memajukan studi interdisipliner tentang gejala-gejala budaya, dan dalam mendekatkan ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmua alam.Akan tetapi introduksi metode structural dalam bermacam macam bidan pengetahuan menimbulkan upaya yang sia-sia untuk mengangkat strukturalisme pada status system filosofis.
Signifian dan signifie
Pembedaan ini merupakan inti pandangan Saussure tentang tanda.Menurut pendapat popular, suatutanda bahsa menunjukkan benda dalam realitas.Kata pohon misalnya dianggap menunjukkan kepada pohon flamboyant yang berdiri di situ.Tetapi de Saussure menekankan bahwa suatu tanda bahasa bermakna bukan karena refrensinya kepada benda.Lagi pula, menurut de Saussure konsep itu tidak lepas dari tanda bahasa, tetapi termasuk tanda bahsa itu sendiri.Secara popular tidak jarang dipikirkan konsep-konsep mendahului kata-kata, tidak jarang diberi kesan bahwa kita mencari kata-kata bagi konsep-konsep yang sudah ada dalampikiran kita dan bahwa dari situ timbul relasi antara kata dan benda.Pdahal, makna tidak dapat dilepaskan dari kata.Suatu kata tidak pernah merupakan bunyo saja atau sejauh menyangkut bahasa tertulis, tidak pernah merupakan coretan saja.Suatu kata adalah bunyi atau coretan, ditambah suatu makna.
Dari sebab itu menurut Saussure tanda bahasa (seperti misalnya suatu kata) yang dipelajari dalam linguistic, terdiri atas dua unsure yaitu: le significant dan le signifie: the signifier dan the signified. Dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi: “penanda” dan “yang ditandakan”. Significant adalah bunyi yang makna atau cirri yang bermakna.Signifie adalah gambaran mental, pikiran atau konsep.Jadi signifie adalah aspek mental dari bahasa.Yang harus dioerhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang kongkret kedua unsure tadi tidak dapat dilepaskan.
Langage, parole, dan langue
Agar objek linguistic dapat ditetukan lebih lanjut, Saussure mengemukakan suatu pembedaan lain lagi. Terpaksa kita mengambil alih istilah istilah yang diberikan oleh buku kursus tetang linguistic umum sendiri, sebab di bidang ini kekhususan bahasa prancis tidak mudah diterjemahkan oleh bahasa-bahasa lain. Kalau fenomena bahsa secara umum ditunjukkan dengan istilah langage, maka dalam langage harus dibedakan antara parole dan langue.Dengan kata parole itu dimaksudkan pemakaian bahasa yang individual.Jika kita mencari terjemahannya dalam bahsa inggris, dapat diajukan speech atau language use.Tetapi parole tidak dipelajari oleh linguistic.
Sinkkoni dan diakroni
Anggapan mengenai bahasa system ini membawa kita kepada suatu pembedaan lain lagi yang dikemukakan oleh Saussure. Menurut Saussure, linguistic harus memperhatikan sinkroni sebelum menghiraukan diakroni. Dua kata ini berasal dari bahasa yunani yakni kronos (waktu) dan dua awalan syn dan dia masing masing berarti bersama san melalaui. Maka dari sinkroni dapat dijelaskan sebagai ” bertepatan denagn waktu” dadn diakroni adalah dijelaskan sebagai menulusi waktu” diakroni adalah peninjauan historis sedangkan sinkroni menunjukkan pandangan yang sama sekali tidak lepas dari perspektif historis, sinkroni adalah peninjauan ahistoris.
Bahasa dapat dipelajari menurut dua sudut pandang itu, sinkroni dan diakroni.Kita dapat menelusuri suatu bahasa sebagai system yang berfungsi pada saat yang tertentu (dan dengan demikian tidak memperhatikan bagainmana bahsa itu telah berkembang sampai keadaan saat itu) dan kita dapat menyoroti perkembangan suatu bahasa sepanjang waktu. Saussure menekankan perlunya adanya pendekatan sinkronis tentang bahasa, bertentangan denagan ahli-ahli linguistic abad ke-19 yang hamper semua mempraktekkan suatu pendekatan diakronis tentang bahasa, mereka mempelajari bahasa dari sudut pandang komparatif-historis dengan menuluri proses evolusi bahasa-bahasa tertentu, etimologi, perubahan fonetis, dan lain sebagainya.
Struktur
Dalam uraian tentang prinsip-prinsip linguistic Saussure ini istilah “struktur” belum disebut dan juga dalam kursus tentang linguistic umum istilah itu tidk dipakai.Baru sesudah ssaussure istilah struktur mulai dipakai dalam linguistic. Pendekatan structural tentang bahasa mendapat arti: pendekatan yang menganggap bahasa sebagi system dengan cirri-ciri yang dijelaskan diatas. Dengan demmikian, kita telah sampai pada latar belakang strukturalisme prancis.Kata “structural” itu sendiri belum cukup untuk mengerti maksud dan jangkauan strukturalisme, karena kata itu dipakai dalam konteks ilmiah yang berlain-lainan.
Linguistic menjadi “model”
yang dipelopori oleh Saussure hanya merupakan permulaan linguistic modern. Disini tidak mungkin menguraikan bagaimana semangat pembaruan itu diteruskan oleh ahli-ahli lain dan bagaimana pengaruh Saussure bertemu dengan tedeensi-tedensi lain.
Bahasa dianggap sebagai suatu system terlepas dari segala evolusi atau sejarah dan dalam system itu dipelajari relasi-relasi.Denagn itu linguistic telah mendapat objek yang jelas serta metode yang serasi dengan objek itu.
Penutup
Ferdinand de Saussure dengan pemikiran strukturalismenya mampu memberikan pengaruh terhadap kehidupan manusia dizaman modern ini, hal ini terasa dalam bidang akademik, walaupun karyanya sedikit dipublikasikan. Namun dengan karya yang sedikit dipublikasikan, ia mampu memberikan pengaruh yang luar biasa.
Kritik
Sebenarnya pengaruh pemikiran de Saussure hanya dalam linguistic atau dalam bidang tata bahasa, sehingga pengaruhnya dalam dunia nyata kurang terasa, pengaruh sangat terasa hanya di lingkungan akademik.Namun pemikirannya yang mencari bahasa bukan hanya dari history tetapi juga ahostory, yakni pemaikan “kata” harus mempunyai makna.
Refrensi
Mage, Bryan, 2008, “The Story Of philosophy”, Jakarta: kanisius
Kridalaksana, Harimurti, 2005,“Mongin-Fedinand de Saussure (1857-1913): peletak dasar strukturalisme dan linguisik modern”. Jakarta: yayasan obor Indonesia
Lechte, John, “50 filsuf Kontemporer: dari Strukturalisme sampai Postmodernitas”
Bagus, Lorenz. 2005. “Kamus Filsafat”. Cetakan keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Mudhofir, Ali. 2001. “Kamus Filsafat Barat”, cetakan 1, Yogyakarta: pustaka pelajar
Osborne, Richard. 2001.“Filsafat Untuk Pemula”. Jakarta: kanisius
Footnote
[1] Kridalaksana, Harimurti, Mongin-Fedinand de Saussure (1857-1913): peletak dasar strukturalisme dan linguisik modern”. Jakarta: yayasan obor Indonesia, 2005
[2] Richard,osborne.“Filsafat Untuk Pemula”. Jakarta: kanisius, 2001, hal 177
[3] Bryan, Magee, “The Story Of philosophy”, Jakarta: kanisius, 2008
[4] Ali, Mudhofir, “Kamus Filsafat Barat”, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[5] Ali, Mudhofir, “Kamus Filsafat Barat”, cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal 464
[6] Ibid, “kamus filsafat Barat”, hal 464
[1] Kridalaksana, Harimurti, Mongin-Fedinand de Saussure (1857-1913): peletak dasar strukturalisme dan linguisik modern”. Jakarta: yayasan obor Indonesia, 2005
[2] Richard,osborne.“Filsafat Untuk Pemula”. Jakarta: kanisius, 2001, hal 177
[3] Bryan, Magee, “The Story Of philosophy”, Jakarta: kanisius, 2008
[4] Ali, Mudhofir, “Kamus Filsafat Barat”, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[5] Ali, Mudhofir, “Kamus Filsafat Barat”, cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal 464
[6] Ibid, “kamus filsafat Barat”, hal 464
2.1 Hidup dan Karya Lévi-Strauss[1]
Claude Lévi-Strauss adalah seorang antropolog sosial
Perancis dan filsuf strukturalis.[2]
Ia lahir di Brussels, Belgia, pada 28 Nopember 1908 sebagai seorang keturuan
Yahudi. Namun pada tahun 1909 orang tuanya pindah ke Paris, Perancis.Ayahnya
bernama Raymond Lévi-Strauss dan ibunya bernama Emma Levy. Sejak kecil
Lévi-Strauss sudah mulai bersentuhan dengan dunia seni, yang kelak akan banyak
ditekuninya ketika dewasa, karena memang ayahnya adalah seorang pelukis.
Sesungguhnya pendidikan formal dan minat Lévi-Strauss pada
awalnya bukanlah Antropologi. Pada tahun 1927, Lévi-Strauss masuk Fakultas Hukum
Paris dan pada saat yang sama itu pula, ia pun mempelajari filsafat di
Universitas Sorbonne. Studi hukum diselesaikannya hanya dalam waktu satu
tahun.Sedangkan dari studi filsafat, aliran materialisme menjadi aliran yang
banyak mempengaruhi pemikirannya.Salah satu argument materialisme adalah segala
sesuatu harus bisa diukur, diverivikasi, dan diindera.Namun pada suatu saat
Levi-Strauss mengungkapkan kebosanannya dalam mengajar.
Kemudian setelah membaca buku Primitive Social karya
Robert Lowie, seorang ahli antropologi. Bermula dari membaca buku Robert Lowie
itulah ketertarikannya akan dunia antropologi muncul. Akhirnya, Levi-Strauss
semakin jelas berpaling kepada Antropologi ketika mengajar di Sao Paulo,
Brazil, dan melakukan studi antropologi yang lebih luas di pusat Brazil.
Selama
mengajar di Brazil itulah ia mulai banyak melakukan ekspedisi di daerah-daerah
pedalaman Brazil. Heddy Shri dalam bukunya menyebutkan, ekspedisi pertamanya
adalah ke daerah Mato Grosso.Dari ekspedisi itu Levi-Strauss merasa mendapatkan
pengalaman batin yang menginspirasikan banyak hal, yang tertuang dalam bukunya Trites
Tropique.Itulah karya pertamanya dan sekaligus mengukuhkan dirinya masuk
kedalam bidang antropologi.
Dalam
prosesnya melakukan penelitian dan pengamatan banyak terbentur hambatan. Hal
ini salah satunya tidak lepas dari karena ia termasuk keturunan Yahudi, yang
saat itu dalam pergolakan pembantaian oleh Jerman. Sampai ia akhirnya harus
mengalami pemecatan. Pada tahun 1947, ia kembali ke Perancis dan pada tahun berikutnya
ia diangkat sebagai maitre de recherché selama beberapa bulan di CNRS (Center
National de la Recherche Scintifique/Pusat Penelitian Ilmiah Nasional).
Pada tahun yang sama, ia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas
Sorbonne, dengan disertasi Les Structures elementaires de la parente.
Levi-Strauss dianggap sebagai pendiri strukturalisme, sebuah
paham yang memegang bahwa kode terstruktur adalah sumber makna dan bahwa
unsur-unsur struktur yang harus dipahami melalui hubungan timbal balik mereka.Lebih lanjut, bahwa struktur sosial
adalah kebebasan
dari kesadaran
manusia dan ditemukan dalam mitos dan ritual.Secara singkat, itulah inti dari
teori strukturalisme menurut pendapat Levi-Strauss.
Levi-Strauss banyak menghasilkan karya-karya tulis besar yang
sangat menarik banyak perhatian banyak kalangan, baik dari intelektual maupun
awam. Karya-karya terbesar tersebut antara lain: The Elementary Structures
of Kinship (1949), Structural Anthropology (1958), The Savage
Mind (1962), and the Mythologics, 4 vols. (1964–72). Mythologics sendiri
terdiri dari tetralogi The Raw and The Cooked, From Honey to Ashes, The
Origin of Table Manners, dan The Naked Man.
2.2 Teori Strukturalisme Dan Penelitian Lévi-Strauss
Secara umum, istilah strukturalisme banyak dikenal dalam
Filsafat Sosial.Filsafat Eropa modern sering menyebut bahwa strukturalisme
adalah sebuah fenomena sosial.Lebih lanjut dikatakan bahwa fenomena itu tidak
peduli seberapa dangkal beragam wujudnya.Secara singkat, strukturalisme adalah
fenomena social yang secara internal dihubungkan dan diatur sesuai dengan
beberapa pola yang tidak disadari.
Hubungan-hubungan internal dan pola merupakan struktur,
dan mengungkap struktur-struktur ini adalah objek studi manusia.Pada umumnya, sebuah struktur
bersifat utuh, transformasional, dan meregulasi diri sendiri (self-regulatory).
Strukturalisme adalah metodologi yang menekankan struktur daripada substansi
dan hubungan daripada hal. Hal ini menyatakan bahwa sesuatu selalu keluar hanya sebagai
elemen dari penanda
suatu sistem.
Metodologi Struktural sesungguhnya berasal dari
struktural linguistik dari Saussure, yang menggambarkan bahwa bahasa sebagai sebuah tanda dari aturan sistem sosial.Baru pada tahun 1940, ia mengusulkan
bahwa fokus yang tepat penyelidikan antropologi berada di mendasari pola-pola
pemikiran manusia yang menghasilkan kategori budaya yang mengatur pandangan
dunia sampai sekarang dipelajari. Kemudianpada tahun 1960, Claude Levi-Strauss melanjutkan metodologi ini, tidak hanya untuk antropologi
(strukturalisme antropologi) tetapi, memang, untuk penanda semua sistem.Namum memang Levi-Strausslah pada umumnya yang dianggap sebagai pendiri strukturalisme
modern. Melalui karyanya, strukturalisme menjadi tren intelektual utama di
Eropa Barat, khususnya Perancis, dan sangat mempengaruhi studi tentang
ilmu-ilmu manusia.
Pada tahun 1972, Levi-Strauss
mengeluarkan bukunya yang berjudul Strukturalisme dan Ekologi menjelaskan
secara rinci rincian prinsip dari apa yang akan menjadi antropologi struktural.
Di dalamnya, ia mengusulkan bahwa budaya, seperti bahasa, terdiri dari aturan
tersembunyi yang mengatur perilaku praktisi.[3]
Apa yang membuat budaya yang unik dan berbeda dari satu sama lain adalah aturan
tersembunyi bagi pemahaman anggota tetapi tidak dapat mengartikulasikan, dengan
demikian, tujuan antropologi struktural adalah untuk mengidentifikasi aturan-aturan
ini. Dia mempertahankan budaya yang adalah proses dialektika: tesis, antitesis,
dan sintesis.
Ahli antropologi mungkin menemukan
proses berpikir yang mendasari perilaku manusia dengan memeriksa hal-hal
seperti kekerabatan, mitos, dan bahasa. Lebih lanjut, bahwa ada realitas
tersembunyi di balik semua ekspresi budaya.Selanjutnya strukturalis bertujuan
untuk memahami makna yang mendasari pemikiran manusia yang terungkap melalui
aktivitas budaya.Pada dasarnya, unsur-unsur budaya yang tidak jelas dalam dan
dari dirinya sendiri, melainkan merupakan bagian dari sistem yang berarti.
Sebagai model analitis, strukturalisme menganggap universalitas proses
pemikiran manusia dalam upaya untuk menjelaskan “struktur dalam” atau makna
yang mendasari yang ada dalam fenomena budaya.[4]
2.3 Implementasi Teori
Pada masa ini kita masih bisa banyak menemukan
penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme.Kita bisa mengambil
contoh peneliti yang ingin mengetahui struktur pemikiran orang Surabaya
sehingga dalam budayanya cenderung kasar, misalnya bahasa.Peneliti tersebut
membandingkan dengan struktur pemikiran yang ada didalam budaya Yogyakarta yang
cenderung lebih ramah. Antara Surabaya dan Yogyakarta yang walaupun
kelihatannya berbeda sebenarnya ada sebuah struktur sama di dalam budaya.
Dengan memahami struktur dalam budaya peneliti akan
mengetahui sebuah keuniversalan dalam budaya. Mungkin itulah yang akan
dikatakan oleh para ahli strukturalisme. Strukturalisme membantu memetakan pola
perilaku manusia dalam budaya.
BAB III
TANGGAPAN KRITIS[5]
Secara umum, strukturalisme menuai banyak kritik dari sisi
epistemology.Validitas penjelasan struktural
telah ditentang dengan alasan bahwa metode strukturalis yang tidak tepat dan
tergantung pada pengamat.Artinya unsur subjektivisme sangat erat dalam
penelitian strukturalisme. Satu peneliti dan menghasilkan hasil yang sama
sekali lain dengan peneliti lainnya.
Paradigma strukturalisme terutama
berkaitan dengan struktur jiwa manusia, dan tidak membahas aspek sejarah atau
perubahan budaya.Pendekatan sinkronis, yang menganjurkan sebuah “kesatuan
psikis” dari semua pikiran manusia, telah dikritik karena tidak memperhitungkan
tindakan manusia individu historis.Dalam pemikiran strukturalis, ide-ide yang
bertentangan secara inheren ada dalam bentuk oposisi biner, namun konflik-konflik
ini tidak menemukan resolusi. Dalam pemikiran Marxis struktural, pentingnya
perubahan abadi dalam masyarakat adalah mencatat: “Ketika kontradiksi internal
antara struktur atau dalam struktur tidak bisa diatasi, struktur tidak
mereproduksi tetapi diubah atau berevolusi”.
Selanjutnya, yang lain telah mengkritik strukturalisme
karena kurangnya perhatian dengan individualitas manusia. Budaya relativis
sangat kritis terhadap ini karena mereka percaya struktural “rasionalitas”
melukiskan pemikiran manusia sebagai seragam dan seragam.Budaya selalu
mengandung unsur relative di dalamnya dan tidak bisa disamakan atau
diseragamkan.
Selain mereka yang memodifikasi
paradigma strukturalis dan kritik ada reaksi lain yang dikenal sebagai Meskipun
poststructuralists dipengaruhi oleh ide-ide strukturalis diajukan oleh
Levi-Strauss “pascastrukturalisme.”, Pekerjaan mereka memiliki lebih
berkualitas refleksif. Pierre Bourdieu adalah pascastrukturalis yang “… melihat
struktur sebagai sebuah produk ciptaan manusia, meskipun
para peserta mungkin tidak sadar akan struktur”. Daripada gagasan strukturalis
dari universalitas proses pemikiran manusia yang ditemukan dalam struktur
pikiran manusia, Bourdieu mengusulkan bahwa proses berpikir dominan adalah
produk dari masyarakat dan menentukan bagaimana orang bertindak.
Lain reaksi terhadap strukturalisme
didasarkan pada penyelidikan ilmiah.Dalam setiap bentuk penyelidikan yang
bertanggung jawab, teori harus difalsifikasi.analisis struktural tidak
memungkinkan ini atau untuk validasi eksternal.
BAB IV
KESIMPULAN
Pada bagian ini saya akan sedikit memberikan rangkuman atas
hasil pemaparan keseluruhan tulisan ini. Sekiranya ada dua hal yang ingin saya
tekankan.Pertama, yaitu bahwa argument utama strukturalisme adalah bahwa
dalam setiap budaya terdapat sebuah struktur yang universal, sama dimanapun dan
kapanpun. Banyak penelitian yang menggunakan teori strukturalisme
tersebut.Tujuannya untuk memahami pola dalam kebudayaan.
Kedua, nyatanya teori strukturalisme
mendapatkan banyak kritik dan sorotan yang tajam.Salah satunya yang mengena
adalah bahwa manusia merupakan makluk yang komplek.Kekomplekan itu juga terbawa
dalam perilaku budaya yang mereka hasilkan pula.Jika manusia kompleks maka
usaha untuk “menyeragamkan” manusia dengan sebuah struktur yang pasti sungguh
sangat terdengar naïf.Strukturalisme memang baik sebagai sebuah metodologi
memahami manusia dan budaya.Strukturalisme adalah alat dan bukan tujuan dalam
memahami manusia dengan segala kekomplekannya.
Strukturalisme adalah faham atau pandangan yang
menyatakan bahwa semua masyarakat dan kebudyaan
memiliki suatu struktur yang sama dan tetap.[1]Strukturalisme
juga adalah sebuah pembedaan secara tajam mengenai masyarakat dan ilmu
kemanusiaan dari tahun 1950 hingga 1970, khususnya terjadi di Perancis.[2] Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism;
latinstruere (membangung), structura berarti bentuk bangunan.[1] Trend metodologis yang menyetapkan riset sebagai tugas
menyingkapkan struktur objek-objek ini dikembangkan olerh para ahli humaniora.[1] Struktualisme berkembang pada abad 20, muncul sebagai
reaksi terhadap evolusionisme positivis dengan menggunakan metode-metode riset struktural
yang dihasilkan oleh matematika, fisika
dan ilmu-ilmu lain.[1]
Daftar
isi
|
Tujuan
dari Strukturalisme
Tujuan Strukturalisme adalah mencari
struktur terdalam dari realitas yang tampak kacau dan beraneka ragam di permukaan secara ilmiah (obyektif, ketat dan berjarak).[3] Ciri-ciri itu dapat dilihat
strukturnya:
- Bahwa yang tidak beraturan
hanya dipermukaan, namun sesungguhnya di balik itu terdapat sebuah
mekanisme generatif yang kurang lebih konstan.[3]
- Mekanisme itu selain bersifat
konstan, juga terpola dan terpola dan terorganisasi, terdapat blok-blok
unsur yang dikombinasikan dan dipakai untuk menjelaskan yang dipermukaan.[3]
- Para peneliti menganggap
obyektif, yaitu bisa menjaga jarak terhadap yang sebenarnya dalam
penelitian mereka.[3]
- Pendekatan dengan memakai sifat
bahasa, yaitu mengidentifikasi unsur-unsur yang bersesuaian untuk
menyampaikan pesan.[3] Seperti bahasa yang selalu terdapat unsur-unsur mikro
untuk menandainya, salah satunya adalah bunyi atau cara pengucapan.[3][4]
- Strukturalisme dianggap
melampaui humanisme, karena cenderung mengurangi, mengabaikan bahkan
menegasi peran subjek.[3]
Masa
Strukturalisme
Tahun 1966 digambarkan oleh Francois
Dosse dalam bukunya Histoire du Structuralism sebagai tahun memancarnya
strukturalisme di Eropa,
khususnya di Prancis.[5][4] Perkembangan strukturalisme pada tahun 1967-1978
digambarkan sebagai masa penyebaran gagasan strukturalisme dan penerangan
tentang konsep strukturalisme serta perannya dalam ilmu
pengetahuan.[5]
Ciri-ciri
Strukturalisme
Struktur Diamond, Keteraturan yang
indah
Ciri-ciri
strukturalisme adalah
pemusatan pada deskripsi keadaan aktual objek
melalui penyelidikan, penyingkapan tabiat, sifat-sifat yang terkait dengan
suatu hal melalui pendidikan.[1] Ciri-ciri itu bisa dilihat dari
beberapa hal; hirarki, komponen
atau unsur-unsur, terdapat metode,
modelteoritis
yang jelas dan distingsi
yang jelas.[1]
Para ahli strukturalisme menentang eksistensialisme dan fenomenologi yang mereka anggap terlalu individualistis dan kurang ilmiah.[3] Salah satu yang terkenal adalah pandangan Maurice
Meleau-Ponty yang menentang fenomenologi dan eksistensialisme tubuh manusia.[4] Pounty menekankan bahwa hal yang fundamental dalam
identitas manusia adalah bahwa kita adalah objek-objek fisik yang masing-masing
memiliki kedudukan yang berbeda-beda dan unik dalam ruang dan waktu.[4]
Tokoh-tokoh
dan sumbangan bidang strukturalisme
Sebagai penemu stuktur bahasa,
Saussure berargumen dengan melawan para sejarawan yang menang dalam pendekatan
filologi.[2] Dia mengajukan pendekatan ilmiah, yang didekati dari sistem terdiri dari elemen dan
peraturannya dalam pembuatannya yang bertujuan menolong komnunikasi
dalam masyarakat.[2] Dipengaruhi oleh Emile Durkheim dalam sebuah social fact, yang berdasar pada
objektivitas di mana psikologi dan tatanan sosial dipertimbangkan.[2] Saussure memandang bahasa sebagai gudang (lumbung) dari
tanda tanda diskusif
yand dibagikan oleh sebuah komunitas.[2] Bahasa bagi Saussure adalah modal interpretasi utama dunia,
dan menuntut suatu ilmu yang disebut semiologi.[1]
- Levi-Strauss dalam masyarakat.[1]
Metode Strauss adalah anthropologi
dan linguistik secara serempak.[1] Unsur-unsur yang digelutinya adalah
mengenai mitos, adat-istiadat, dan masyarakatnya sendiri.[1] Dalam proses analisisnya, manusia kemudian dipandang
sebagai suatu porsi dari struktur, yang tidak dikonstitusikan oleh analisis
itu, melainkan dilarutkan dengan analisis.[1] Perubahan penekanan dari manusia ke struktur merupakan ciri
umum pemikiran strukturalis.[1]
- L.S Vygostsky,
Jacques Lacan dan Jean Piaget dalam psikologi.[1]
Jacques Lacan (Freudian) dalam
psikologi menggambarkan pekerjaan Saussure dan Levi-Strauss untuk menekankan
pendapat Sigmund Freud dengan bahasa dan argumen yang, sebagai sebuah tatanan
kode, bahasa dapat mengungkapkan ketidaksadaran orang itu.[2] Hal ini masalah, bahwa bahasa selalu
bergerak dan dinamis, termasuk metafora, metonomi, kondensasi serta pergeserannya.[2] Jean Piaget sendiri menggambarkan Strukturalismenya sebagai
sebuah struktur yang terpadu, yaitu yang unsur-unsurnya adalah anggota dari
sistem di luar struktur itu sendiri.[5] Sistem itu ditangkap melalui kognisi
anggota masyarakat sebagai kesadaran kolektif.[5]
- Frege, Hillbert dalam meta-logikameta-matematika.[1]
- Roland Berthes menerapkan
analis strukturalis pada kritik sastra dengan menganggap berbagai macam ekspresi atau analisis bahasa sebagai bahasa yang berbeda-beda.[1] Tugas kritik sastra adalah terjemahan, yaitu
mengekspresikan sistem formal
yang telah dibentangkan penulisnya dengan suatu bahasa.[1] Hal ini terkait dengan kondisi zamannya.[1]
- Michel Foucault dalam filsafat.
Strukturalisme modern atau poststrukturalisme
dalam bidang filsafat adalah dengan mendekati subjektivitas dari generasi dalam
berbagai wacana epistemik dari tiruan maupun pengungkapannya.[2] Sebagaimana peran isntitusional dari
pengetahuan dan kekausaan dalam produksi dan pelestarian disiplin tertentu dalam lingkungan dan ranah sosial juga berlaku pendekatan itu.[2] Dalam disiplin ini, Focault menyarankan, di dalam perubahan
teori dan praktek dari kegilaan, kriminalitas, hukuman,
seksualitas, kumpulan catatan itu dapat
menormalisasi setiap individu dalam pengertian mereka.[2]
- Guenther Schiwy dalam kekristenan
Strukturalisme terkait kekristenan dalam atemporal
sturkturalisme sebenarnya cocok dengan penekanan eternalistik kekristenan.[1]
Keempat, strukturalisme Lévi-Strauss juga bukan hanya merupakan sebuah teori baru, tetapi – sebagaimana dikatakan oleh Lévi-Strauss sendiri – adalah juga sebuah epistemologi baru dalam ilmu-ilmu sosial-budaya. Oleh karena itu strukturalisme Lévi-Strauss tidak hanya penting bagi dan dalam antropologi, tetapi juga penting bagi ilmu-ilmu sosial-budaya lain. Tidak mengherankan, setelah kemunculan strukturalisme ini pandangan-pandangan antropologi kemudian mempengaruhi cabang-cabang ilmu sosial-budaya yang lain seperti sosiologi, sastra, dan filsafat.
Kelima, aliran pemikiran baru yang muncul setelah strukturalisme, seperti post-modernisme atau post-strukturalisme – ini nama-nama yang sebenarnya kurang tepat untuk menyebut sebuah aliran pemikiran – atau semiotika yang kini populer di Barat, tidak dapat dipahami dengan baik tanpa memahami strukturalisme.Bagaimanapun juga, kelahiran paradigma-paradigma baru ini tidak dapat dilepaskan dari munculnya strukturalisme itu sendiri. Tanpa memahami strukturalisme akan sulit memahami post-strukturalisme atau post-modernisme.
Itulah lima alasan utama mengapa dalam perbincangan tentang strukturalisme ini strukturalisme yang dirintis dan dikembangkan oleh Lévi-Strausslah yang akan ditampilkan di sini. Claude Lévi-Strauss adalah seorang ahli antropologi yang tetap konsisten menekuni dan mengembangkan paradigma struktural.Ditangannyalah strukturalisme kemudian dikenal oleh lebih banyak orang, oleh lebih banyak ilmuwan. Dengan memperbincangkan tentang strukturalisme ini diharapkan akan muncul ilmuwan-ilmuwan muda Indonesia yang akan bersedia mengembangkan lebih lanjut kerangka pemikiran tersebut.
Sebelumnya saya perlu minta maaf kepada publik jika dalam tulisan ini sosok saya terasa begitu menonjol dalam proses penyebaran strukturalisme Lévi-Strauss di Indonesia, karena saya tidak tahu orang lain di Indonesia yang telah membahas pemikiran Lévi-Strauss dengan cukup mendalam sebagaimana yang telah saya lakukan. Saya ingat, ketika saya masih kuliah antropologi di Universitas Indonesia di akhir tahun 1970an, teman-teman saya umumnya tidak menyukai teori-teori dari Lévi-Strauss, karena selalu sulit dan tidak biasa, sedang saya lumayan menyukai teori-teori tersebut karena terasa begitu menantang untuk memahaminya.
Sementara itu, dosen-dosen antropologi yang mengajar kami ketika itu juga tidak banyak yang paham dan menaruh minat pada strukturalisme Lévi-Strauss.Prof. Koetjaraningrat misalnya, yang mengajar kami teori-teori antropologi, tidak terlihat menyukai strukturalisme Lévi-Strauss, karena aliran ini kurang sejalan dengan kecenderungan teoritis beliau yang lebih positivistik. Dalam Sejarah Teori Antropologi II, Prof. Koentjaraningrat melontarkan kritik terhadap strukturalisme Lévi-Strauss, yang menurut saya kritik tersebut sebenarnya kurang tepat. Lebih dair itu, dosen-dosen antropologi yang lain – yang ketika itu belum Professor – seperti Dr. Parsudi Suparlan, Dr. Budi Santoso, Dr. Nico Kalangie, Dr. J. Danandjaja, terasa begitu dipengaruhi oleh ahli-ahli antropologi Amerika, seperti Clifford Geertz, Ward H. Goodenough, James P. Spradley, dan sebagainya, karena mereka melanjutkan pendidikan pascasarjana mereka di Amerika, walaupun mereka itu kemudian tidak mengembangkan aliran pemikiran antropologi tertentu di Indonesia. Antropologi Eropa (Inggris, Belanda, Prancis) sama sekali tidak terasa pengaruhnya dalam pemikiran-pemikiran dan analisis mereka tentang gejala sosial-budaya di Indonesia. Oleh karena itu, sangat dapat dimengerti apabila dari kalangan ahli antropologi tidak ada yang berupaya untuk memperkenalkan secara serius strukturalisme Lévi-Strauss.
2. Ilmu Sosial-Budaya Indonesia 1970-1990an : Mengapa Tidak Struktural?
Beberapa tahun setelah saya meninggalkan Indonesia untuk mengikuti pendidikan S-3, pada tahun 1994 saya kembali. Saya berharap ketika itu berbagai pemikiran yang saya kenal dari perkuliahan saya di jurusan Antropologi di Universitas Columbia akan dapat saya temukan di Indonesia, sehingga saya dapat segera membangun wacana tentang pemikiran-pemikiran tersebut di negeri sendiri. Namun, akhirnya saya harus kecewa, karena situasi dan kondisi pemikiran dalam ilmu sosial-budaya Indonesia ketika itu ternyata tidak seperti yang saya duga dan harapkan. Padahal, tokoh-tokoh ilmu sosial-budaya yang saya kagumi dan sebagian pernah menjadi guru saya ketika itu masih ada, dan masih aktif, seperti misalnya Fuad Hasan, Koentjaraningrat, Masri Singarimbun, Sartono Kartodirdjo, Parsudi Suparlan, James Danandjaja, Selo Soemardjan dan sebagainya. Saya bertanya-tanya dalam hati : Mengapa mereka tidak menulis mengenai aliran-aliran baru dalam antropologi atau bidang ilmu yang mereka tekuni ?
Dalam antropologi di Indonesia ketika itu, tidak telihat arus pemikiran strukturalisme dari Prancis, tidak ada aliran Etnosains dari Amerika Serikat, tidak terlihat Tafsir Kebudayaan seperti yang dikembangkan Clifford Geertz. Post-modernisme mulai terdengar, dan sempat populer dalam dua-tiga tahun, tetapi setelah itu seperti hilang ditelan bumi.Saya cukup heran dengan situasi dan kondisi seperti itu.Akan tetapi setelah beberapa tahun berada di Indonesia, akhirnya saya dapat memaklumi keadaan yang seperti itu, walaupun itu tidak berarti bahwa saya menyetujui dan menyukai keadaan tersebut.
Ketika saya datang pada awal tahun 1990an, strukturalisme Lévi-Strauss tidak terdengar gaungnya di kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia. Bagi saya ini adalah sebuah keanehan, karena kalau kita membaca jurnal dan buku-buku ilmu sosial-budaya di Barat di tahun 1970an, bahkan sampai tahun 1980an, strukturalisme masih tetap merupakan paradigma yang populer dan terasa kuat pengaruhnya. Saya mencoba untuk mengetahui apa kira-kira penyebab hal tersebut, karena biasanya ilmuwan Indonesia sangat mudah dan cepat menanggapi dan berusaha segera mempopulerkan paradigma-paradigma baru di Barat yang baru saja mereka kenal.
Beberapa tahun saya mencoba mengetahui hal ini.Ada beberapa faktor yang tampaknya telah membuat strukturalisme Prancis kurang begitu dikenal di Indonesia.Pertama, strukturalisme tersebut tumbuh dan berkembang di Prancis, sebuah negeri yang relatif kurang begitu dikenal oleh banyak orang Indonesia, karena bahasanya juga kurang populer di Indonesia, dibandingkan misalnya dengan bahasa Inggris dan Belanda.Tidak banyak ilmuwan sosial-budaya Indonesia di masa itu yang memperoleh pendidikan di Prancis, bahkan hampir tidak ada. Orientasi pendidikan ilmuwan sosial-budaya Indonesia di masa itu adalah Amerika Serikat, karena di tahun 1950an dan 1960an Indonesia adalah salah satu negeri yang banyak diteliti dan dibahas oleh ilmuwan sosial Amerika Serikat. Nama-nama beken sebagian ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat ketika adalah nama-nama mereka yang banyak meneliti masyarakat Indonesia.Nama ilmuwan Prancis yang meneliti Indonesia namun namanya hampir tidak terdengar di Indonesia adalah Christian Pelras (meneliti sejarah Indonesia).Nama Lévi-Strauss sebagai seorang teoritisi hampir tak dikenal.Hanya mahasiswa antropologi saja yang mengenal tokoh tersebut lewah kuliah dari Prof. Koentjaraningrat almarhum di tahun 1970-1980an. Lévi-Strauss yang kita kenal ketika itu adalah merk sebuah celana jeans.
Aliran pemikiran yang sangat mempengaruhi ilmuwan sosial-budaya Indonesia di masa itu adalah aliran fungsionalisme-struktural yang berasal dari Talcott Parsons, ahli sosiologi Amerika Serikat. Fungsionalisme-Struktural yang diwariskan oleh A.R. Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski di tahun 1940an dikembangkan lebih lanjut oleh Parsons dan berhasil menjadi sebuah aliran yang mendominasi pemikiran ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat di tahun 1960-1970an. Ilmuwan sosial-budaya Indonesia yang belajar di Amerika Serikat di masa itu otomatis sangat dipengaruhi oleh aliran pemikiran ini – bahkan sampai sekarang – . Aalagi ilmuwan sosial-budaya Amerika Serikat yang mempelajari Indonesia juga menggunakan paradigma tersebut.Lengkaplah sarana paradigma Fungsionalisme – Struktural untuk menyebar dan dikenal di Indonesia.
Kedua, strukturalisme Lévi-Strauss dalam antropologi, sebuah cabang ilmu yang kurang begitu populer di Indonesia. Memang, di tahun 1970an dan 1980an antropologi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan masih belum begitu dikenal di Indonesia. Orang masih sering mengacaukannya dengan arkeologi, yang di Amerika Serikat memang merupakan salah satu spesialisasi dalam antropologi.Kalau antropologi sebagai ilmu sudah tidak begitu dikenal, apalagi teori-teori yang ada di dalamnya.Kalau di kalangan ahli antropologi Indonesia saja strukturalisme di Lévi-Strauss sudah tidak begitu dikenal, apalagi oleh kalangan yang lebih luas.
Ketiga, strukturalisme banyak mendapat inspirasi dari ilmu bahasa dan mengambil ilmu tersebut sebagai modelnya.Sementara itu, ilmu bahasa atau linguistik bukanlah sebuah ilmu yang populer di Indonesia, dan teori-teorinya juga tidak begitu dikenal.Para ilmuwan sosial-budaya umumnya juga tidak mengenal linguistik, sehingga mereka tentunya mengalami kesulitan ketika berusaha memahami analisis-analisis strukturalisme Lévi-Strauss yang sangat banyak mendapat inspirasi dari linguistik.
Keempat, strukturalisme Lévi-Strauss adalah sebuah epistemologi baru, yang saya kira cukup besar perbedaannya dengan epistemologi yang dianut oleh sebagian besar ilmuwan sosial-budaya Indonesia, yakni epistemologi yang positivistik dan epistemologi yang historis.Sebagai epistemologi strukturalisme sangat berseberangan dengan epistemologi historisme, dan cukup besar perbedaannya dengan epistemologi positivisme. Untuk mereka yang terbiasa berfikir dengan menggunakan sebuah paradigma, atau yang didasarkan pada sebuah epistemologi saja, seperti halnya kebanyakan ilmuwan sosial-budaya Indonesia, munculnya sebuah paradigma atau epistemologi baru tidak akan memicu munculnya tanggapan yang positif. Sebaliknya, reaksi yang muncul biasanya adalah : menolak secara sembunyi-sembunyi, acuh tak acuh, atau menolak secara terang-terangan.
Kelima, analisis struktural dan bahasa yang digunakan oleh Lévi-Strauss dalam tulisan-tulisannya termasuk yang tidak mudah dipahami.Analisis struktural Lévi-Strauss banyak memanfaatkan data etnografi dan analisis serta interpretasi dilakukan atas informasi etnografis mengenai berbagai hal yang begitu kecil dan njlimet.Oleh karena itu pula analisis struktural yang dikerjakan Lévi-Strauss termasuk yang tidak mudah dipahami oleh orang-orang antropologi.Kesulitan memahami ini bertambah besar lagi di kalangan ketika Lévi-Strauss menggunakan bahasa yang juga relatif sulit dipahami.Lévi-Strauss termasuk ahli antropologi yang mampu menggunakan daya retorika yang bagus tetapi tidak mudah dipahami.Bahasa tulisannya memang belum nyastra sekali seperti Geertz, tetapi sudah termasuk nyastra atau sastrawi.
Itulah beberapa faktor yang menurut saya telah membuat strukturalisme Lévi-Strauss kurang begitu dikenal di Indonesia, walaupun aliran ini sangat kuat pengaruhnya dalam dunia pemikiran di Barat. Mengingat pentingnya strukturalisme Lévi-Strauss dalam perkembangan pemikiran di Barat, begitu tidak dikenalnya aliran pemikiran itu di Indonesia, serta sulitnya memahami paradigma itu sendiri, maka saya kemudian memberanikan diri untuk mengusung strukturalisme Lévi-Strauss ke Indonesia setelah saya menyiapkan diri dengan lebih baik di Amerika Serikat, dengan mengumpulkan artikel dan buku-buku yang relevan.
3. Mengusung Strukturalisme Lévi-Strauss : 1980an dan 1990an
Generasi saya adalah generasi baru pelajar ilmu sosial-budaya yang mulai mengenal pemikiran dari Eropa Daratan, karena saya mendapat pendidikan lanjutan di Belanda. Di sinilah saya berkenalan lebih dekat dengan strukturalisme Prancis, karena antropologi di Belanda di masa lampau sudah lebih dulu mengenal strukturalisme, dan kemudian mendapat pengaruh kuat dari strukturalisme Prancis.Meskipun demikian, saya tidak serta-merta tertarik pada strukturalisme Prancis, walaupun saya terus-terang tertarik pada kecanggihan pemikiran Lévi-Strauss.Ketika itu teman sayalah yang kemudian menggunakan paradigma struktural – yang merupakan campuran strukturalisme Prancis dan Belanda – untuk menulis tesis S-2 nya, yakni P.M. Laksono.Kami berdua adalah mahasiswa Indonesia yang dipengaruhi oleh pemikiran struktural ketika itu. Yang lain tidak tertarik, bahkan cenderung bersikap negatif dan sinis terhadap aliran strukturalisme yang ketika itu diajarkan oleh P.E. de Josselin de Jong kepada kami. Saya tidak tahu mengapa demikian, tetapi seingat saya karena mereka umumnya menganggap pendekatan tersebut “statis”, tidak dapat digunakan untuk memahami dan menganalisis perubahan.
a. Periode 1980an
Laksono menerapkan analisis struktural lebih awal daripada saya. Tesis pascasarjananya, yang kemudian diterbitkan menjadi buku, adalah mengenai struktur yang ada dalam Tradisi Ageng dan Tradisi Alit masyarakat Jawa.Dengan menggunakan analisis struktural Laksono (1986) mencoba menunjukkan bahwa Tradisi Ageng Jawa di Kraton adalah transformasi dari Tradisi Alit Jawa di daerah pedesaan.Dalam hal ini Laksono membandingkan struktur budaya pada masyarakat Jawa di Bagelen dengan struktur budaya Jawa di Kraton Mataram.Buku ini memang tidak mendapat banyak perhatian dari ilmuwan sosial-budaya Indonesia.Mungkin, karena pendekatannya terasa tidak lazim; mungkin juga sulit dimengerti oleh mereka yang belum mengenal strukturalisme; mungkin pula karena kurang promosi.Yang jelas buku ini setahu saya merupakan analisis kebudayaan secara struktural yang pertama dilakukan oleh ahli antropologi Indonesia. Oleh karena penulisan buku tersebut berada di bawah bimbingan P.E. de Josselin de Jong, ahli antropologi struktural dari Universitas Leiden, Belanda, maka tidak terlalu mengherankan apabila pengaruh strukturalisme Belanda lebih terlihat di situ daripada pengaruh strukturalisme Prancis.
Setelah selesai kuliah di Universitas Leiden, Belanda, saya mengajar di jurusan antropologi, dan kesempatan itu saya gunakan untuk menebar paradigma strukturalisme di kalangan mahasiswa antropologi UGM.Satu-dua orang mahasiswa mulai tertarik dengan pendekatan ini dan mulai menerapkannya untuk penulisan skripsi.Walaupun masih dalam taraf yang sangat sederhana namun minta mereka untuk menggunakan sebuah paradigma yang belum lazim diterima dan cukup sulit, patut dihargai. Para mahasiswa antropologi UGM ketika itu mulai mengenal namaLévi-Strauss serta teori-teorinya dengan cukup baik. Bukan hanya karena kuliahnya lebih terfokus, tetapi juga karena buku-buku dan artikel-artikel antropologi struktural dapat mereka peroleh secara langsung, yaitu dengan memfotocopy buku-buku dan artikel-artikel yang saya bawa dari luar.
Secara kebetulan waktu itu di majalah Basis muncul sebuah artikel mengenai Lévi-Strauss dan strukturalismenya, yang ditulis oleh Radrianarisoa. Setelah membaca artikel itu saya berpendapat bahwa apa yang ada dalam artikel tersebut tidak seluruhnya tepat atau seperti yang saya ketahui. Oleh karena itu sayapun menulis sebuah artikel yang isinya merupakan tanggapan, tambahan dan “pelurusan” beberapa pendapat dalam artikel tersebut (Ahimsa-Putra, 1984). Semenjak itu, saya merasa bahwa nama saya hampir selalu dihubungkan dengan strukturalisme atau antropologi struktural.
Pengetahuan mengenai strukturalisme tidak dapat saya tebar lebih lama di UGM, karena setelah dua tahun saya mengajar saya memperoleh kesempatan melanjutkan studi S-3 antropologi ke Universitas Columbia di New York, Amerika Serikat. Ketika itu pengajaran teori antropologi, termasuk di dalamnya strukturalisme Lévi-Strauss, dilanjutkan oleh dosen kami yang paling senior di UGM, Pak Kodiran, yang saat itu masih belum guru besar. Laksono tidak dapat menggantikan, karena dia sudah lebih dulu pergi ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studi.Untuk beberapa tahun, saya tidak mengetahui perkembangan strukturalisme di kalangan mahasiswa antropologi UGM, sampai ketika saya pulang kembali ke UGM setelah menyelesaikan S-3 saya.
b. Periode 1990an
Pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss yang sudah mulai terlihat di tahun 1980an di Indonesia mulai terasa menguat setelah saya memberikan kuliah mengenai strukturalisme lagi selama beberapa tahun di jurusan Antropologi UGM, dan menulis beberapa artikel dengan menggunakan paradigma tersebut. Setelah saya kembali ke UGM, saya kebetulan diminta Prof. Baroroh Baried – yang ketika itu menjadi ketua program pascasarjana sastra – untuk mengampu matakuliah mitologi. Permintaan tersebut saya terima dan secara kebetulan saya mendapat dana penelitian, yang saya gunakan untuk melakukan penelitian atas mitos orang Bajo. Laporan penelitiannya kemudian saya tulis kembali menjadi artikel yang kemudian diterbitkan oleh majalah Kalam (Ahimsa Putra, 1995).
Artikel ini rupanya semakin menguatkan citra saya sebagai orang yang tahu strukturalisme Lévi-Strauss lebih dari yang lain, karena – sebagaimana kita ketahui – majalah Kalam adalah majalah yang banyak dibaca oleh mereka yang berminat pada sastra, seni dan filsafat, dan diluar lingkaran antropologi setahu saya belum ada orang lain yang berbicara mengenai aliran pemikiran tersebut. Analisis struktural ala Lévi-Strauss atas mitos sama sekali belum dikenal di Indonesia ketika itu. Nama Lévi-Strauss dan strukturalisme tetap belum akrab di kalangan terpelajar di Indonesia.
Pendapat bahwa saya adalah orang yang tahu tentang strukturalisme Lévi-Strauss itu rupanya telah mendorong pihak penerbit LKIS meminta saya menulis kata pengantar untuk buku yang akan mereka terbitkan, yang berasal dari buku Octavio Paz mengenai strukturalisme Lévi-Strauss. Sayapun menyanggupi permintaan tersebut. Dalam kata pengantar itu saya kembali menyampaikan berbagai hal mengenai strukturalisme Lévi-Strauss yang belum banyak diketahui, serta memberikan tanggapan terhadap pendapat-pendapat Paz yang menurut saya kurang tepat, atau perlu dijelaskan lagi agar tidak menimbulkan salah pengertian (Ahimsa-Putra, 1997). Ketika itu saya merasa bahwa strukturalisme mulai menarik perhatian kalangan intelektual muda, terutama di Yogyakarta, karena kalau tidak ada ketertarikan tersebut, tentu buku Paz tidak akan diterjemahkan dan diterbitkan.
Sementara itu, melalui perkuliahan di S-1 dan S-2 antropologi serta S-2 sastra, saya terus menyebarkan strukturalisme ke kalangan mahasiswa.Beberapa mahasiswa kemudian tertarik untuk menulis tesis dengan menggunakan pendekatan struktural. Oleh karena tidak ada dosen lain yang dipandang lebih memahami strukturalisme, maka pembimbingan penulisan skripsi atau tesis semacam ini boleh dikatakan selalu diserahkan kepada saya. Ketika satu-dua tesis struktural mulai dapat ditulis dan diujikan dengan hasil yang baik (banyak yang mendapat nilai A), semakin banyak mahasiswa yang tertarik untuk menyusun tesis atau skripsi struktural.Gaung strukturalisme sebagai sebuah paradigma semakin luas terdengar di kalangan mahasiswa, terutama jurusan antropologi di UGM, tetapi saya tidak tahu bagaimana gaung tersebut di luar UGM.Mudah-mudahan ada yang bersedia memberikan informasi mengenai bagaimana strukturalisme (Lévi-Strauss) dipandang dan dipahami oleh para mahasiswa – antropologi maupun bukan – di luar UGM.
Selain melalui perkuliahan, saya juga menulis makalah-makalah untuk seminar dengan tema struktural, baik itu yang analitis maupun teoritis.Melalui forum seperti inilah saya dapat menyebarkan strukturalisme.Saya menawarkan pendekatan struktural untuk menganalisis fenomena arkeologis (Ahimsa – Putra, 1998a; 1999c; 2000a). Saya juga menawarkan pendekatan tersebut untuk menganalisis karya-karya sastra kontemporer yang mungkin tidak pernah terpikirkan untuk dianalisis secara struktural, seperti karya-karya Umar Kayam (Ahimsa – Putra, 2002c), sedang kepada para peneliti fenomena keagamaan saya juga menunjukkan bahwa strukturalisme dapat digunakan untuk memahami fenomena keagamaan seperti sinkretisme (Ahimsa – Putra, 2000b).
Paradigma strukturalisme Lévi-Strauss menjadi lebih dikenal lagi setelah terbitnya buku Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra (Ahimsa – Putra, 2001).Buku ini saya kira telah membuat peneliti dan pelajar sastra menengok para strukturalisme Lévi-Strauss, yang berbeda dengan strukturalisme yang selama ini mereka kenal dalam analisis sastra.Buku ini pula yang membuat banyak orang mulai menyadari bahwa sekat-sekat keilmuan sebenarnya sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Strukturalisme Lévi-Strauss yang muncul dan berkembang dengan baik dalam antropologi ternyata sangat dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra, dan analisis semacam ini dapat mengungkapkan dimensi tertentu dari karya sastra yang tidak dapat diungkapkan melalui pendekatan yang lain. Dengan demikian, para peneliti sastra sebaiknya juga menengok dan mempelajari paradigma-paradigma yang berkembang di luar kajian sastra.Dengan terbitnya buku tersebut, strukturalisme Lévi-Strauss mulai dikenal di luar lingkaran antropologi.
Langkah yang saya tempuh untuk memperkenalkan paradigma antropologi struktural di Indonesia dengan menulis artikel dan menerbikan buku didasarkan pada pandangan bahwa orang tidak akan tertarik pada suatu pendekatan atau paradigma bilamana dia belum mengetahui tentang paradigma tersebut, tentang cara menggunakannya, dan manfaat apa yang akan diperoleh dari penggunaan tersebut. Lewat berbagai makalah dan artikel itulah saya berupaya menunjukkan bahwa strukturalisme adalah sebuah cara baru untuk memandang gejala sosial-budaya. Melalui paradigma tesebut ada aspek-aspek lain dari gejala sosial-budaya. Melalui paradigma tersebut ada aspek-aspek lain dari gejala sosial-budaya yang dapat diungkapkan, yang tidak akan dapat diungkap melalui paradigma yang lain. Dari makalah dan artikel tersebut orang dapat menilai keampuhan paradigma struktural untuk memahami gejala sosial-budaya lewat sudut pandang yang berbeda.Sejak itu, strukturalisme Lévi-Strauss semakin dikenal di Indonesia, dan tidak terbatas di kalangan pelajar antropologi saja.
4. Strukturalisme Lévi-Strauss di Indonesia : 2009
Bagaimana strukturalisme di Indonesia sekarang, setelah saya menganalisis mitos Bajo secara struktural dan mulai memberi kuliah strukturalisme 15 tahun yang lalu? Strukturalisme Lévi-Strauss kini sudah lebih dikenal di Indonesia, dan semakin banyak mahasiswa antropologi yang menggunakan pendekatan ini untuk memahami berbagai gejala sosial-budaya dalam masyarakat Indonesia.Meskipun demikian saya tetap tidak mengetahui bagaimana perkembangan paradigma strukturalisme Lévi-Strauss atapun strukturalisme pada umumnya di luar UGM.Memang, saya sering mendengar nama-nama Barthes dan Foucault disebut-sebut dalam beberapa diskusi, namun belum pernah saya mendengar orang membahas pemikiran-pemikiran Barthes dan Foucault secara serius, baik itu secara formal lewat seminar, ataupun dalam diskusi-diskusi informal. Oleh karena itu, di sini saya hanya akan memaparkan pengaruh-pengaruh strukturalisme, terutama strukturalisme Lévi-Strauss sebagaimana yang saya ketahui dari karya-karya ilmiah yang bisa saya peroleh.
a. Metode Analisis
Pengaruh strukturalisme terlihat terutama pada metode analisis, dan di sinilah memang terletak kekuatan strukturalisme Lévi-Strauss sebagai sebuah paradigma. Kalau paradigma antropologi sebelumnya jarang sekali menampilkan metode analisisnya, strukturalisme Lévi-Strauss justru terlihat membedakan dirinya dari yang lain melalui metode analisis ini. Strukturalisme Lévi-Strauss mulai terlihat digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kebudayaan yang belum pernah dianalisis secara struktural.Ini terlihat pada tesis dan disertasi di jurusan antropologi UGM.
Analisis struktural telah digunakan untuk mengungkap struktur yang ada pada rumah Limas Palembang (Purnama, 2000), rumah tradisional Sumba (Purwadi, 2002).Kalau Dadang H. Purnama mengungkapkan struktur rumah Limas Palembang dan mengaitkannya dengan struktur pemikiran orang Palembang, Purwadi lebih tertarik untuk mengungkap prinsip-prinsip struktural yang ada di balik rumah tradisional Suma di Umaluhu.Oleh karena itu, analisis Purnama kemudian menuntut digunakannya konsep transformasi, dan dengan konsep ini pula dia dapat menyajikan rangkaian transformasi yang ada dalam budaya masyarakat Palembang.
Pendekatan struktural juga digunakan oleh Nasrullah (2008), yang berasal dari suku Dayak Bakumpai di Sungai Barito, Kalimantan, untuk menganalisis konsepsi orang Bakumpai tentang ruang.Orang Dayak Bakumpai mengenal istilah-istilah ngaju, ngawa, ngambu dan liwa untuk menunjuk arah, dan konsepsi arah yang terkait dengan ruang ini juga terkait erat dengan sungai, karena sungai merupakan ruang yang sangat penting dalam kehidupan orang Dayak Bakumpai.
Struktur ruang juga dianalisis oleh Gerda Numbery (2008) yang melakukan penelitian di kalangan orang Dani di Papua.Dalam hal ini Numbery telah berhasil menunjukkan keterkaitan struktural yang erat antara struktur ruang yang dikenal oleh orang Dani dengan organisasi sosial mereka.Sepengetahuan saya, analisis struktural yang dikerjakan oleh Numbery merupakan analisis struktural ala Lévi-Strauss yang pertama kali dimanfaatkan oleh ilmuwan sosial Indonesia untuk memahami struktur organisasi sosial orang Dani dan pandangan mereka tentang ruang beserta strukturnya.
Analisis struktural juga telah diterapkan pada budaya material, yakni patung (Ahimsa-Putra, 1999c; Subiantoro, 2009) dan makanan tradisional orang Minang (Maryetti, 2007).Ahimsa-Putra misalnya menerapkan analisis struktural pada arca ganesya, yang sebelumnya telah diteliti secara seksama oleh Edi Sedyawati, ahli arkeologi UI. Walaupun analisisnya belum sepenuhnya tuntas, namun analisis tersebut telah memberi inspirasi pada sejumlah ahli arkeologi lain untuk mencoba menerapkannya pada artefak-artefak atau benda arkeologis lainnya. Selain arca ganesya, analisis patung secara struktural juga telah dilakukan oleh Slamet Subiantoro, yang menempatkan patung loro-blonyo dalam konteks kebudayaan yang lebih luas, yakni kosmologi Jawa.Sementara itu, Maryetti lebih tertarik untuk menganalisis dan mengungkapkan struktur yang ada di balik berbagai macam makanan tradisional yang disajikan dalam ritual-ritual (Subiantoro, 2009).
Lebih dari itu, ternyata pendekatan struktural juga dapat menjelaskan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia tidak lama setelah meletusnya peristiwa G-30-S, yakni banyaknya orang Tionghoa Indonesia yang masuk agama Katholik dan bagaimana perilaku mereka setelah mereka memeluk agama tersebut (Radjabana, 2000). Beberapa contoh kajian ini menunjukkan bahwa strukturalisme sebagai sebuah paradigma ternyata dapat digunakan untuk menganalisis beraneka-macam gejala sosial-budaya.Dalam hal ini para mahasiswa pascasarjana antropologi UGM (S-2) merupakan orang-orang yang cukup besar sumbangannya, karena dengan adanya tesis-tesis tersebut maka paradigma Strukturalisme dari Lévi-Strauss menjadi lebih dikenal dan jelas-jelas dapat digunakan dalam berbagai penelitian.
b. Pemahaman tentang “Struktur” (Structure)
Meskipun strukturalisme memberikan penekanan utama pada struktur, namun ternyata pemahaman tentang struktur ini tidak selalu dapat ditangkap. Dari pengalaman berdiskusi, memberikan kuliah dan membimbing penulisan karya ilmiah saya merasa ide Lévi-Strauss mengenai struktur termasuk yang tidak mudah dimengerti dan diketahui adanya dalam gejala sosial-budaya yang dianalisis.Pengertian struktur sebagai sebuah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami gejala yang dipelajari, namun tidak ada hubungan empirisnya dengan gejala sosial-budaya tersebut, dan pengertian struktur sebagai sistem relasi, ternyata tidak selalu mudah dipahami.Meskipun demikian, dengan adanya kuliah mengenai strukturalisme Lévi-Strauss secara khusus, pengertian struktur tersebut kini mulai dapat dimengerti.
Diskusi yang lebih teoritis dan konseptual tentang strukturalisme belum dapat diharapkan dapat muncul dari kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia, karena tradisi membahas secara kritis pemikiran-pemikiran yang berasal dari Barat masih belum tumbuh dan berkembang di kalangan mereka.Kita masih jauh dari suasana akademik dan intelektual yang seperti itu.Masih sangat sedikitnya buku dan artikel jurnal ilmiah yang membahas strukturalisme secara kritis di Indonesia merupakan bukti yang paling jelas masih belum berkembangnya tradisi tersebut.
Konsep turunan yang berasal dari “struktur”, yakni “struktur sosial” menurut padangan Lévi-Strauss (yang berbeda dengan “struktur sosial” menurut Radcliffe-Brown), juga belum dapat dimengerti dengan baik. Bahwa ternyata struktur sosial adalah juga sebuah model dari seorang ahli antropologi mengenai suatu masyarakat atau suku bangsa juga masih sulit diterima, karena para ilmuwan dan pelajar Indonesia masih lebih mudah memahami konsep-konsep yang lebih jelas acuannya, yang lebih mudah dilihat dan mudah ditemukan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Bahkan, konsep-konsep penting tidak selalu dapat dipahami fungsinya dalam analisis.
c. Stukturalisme : Cara Pandang Transformasional, A-historis
Konsep yang sangat penting dalam analisis struktural adalah transformasi. Konsep ini tampaknya lebih mudah dipahami oleh para mahasiswa daripada konsep struktur atau struktur sosial, dan kebanyakan telah dapat menerapkan konsep ini dengan baik dalam analisis, walaupun implikasi teoritisnya tidak selalu mudah dipahami.Sebagaimana kita tahu konsep transformasi berasal dari ilmu bahasa juga, namun banyak contoh yang dapat diberikan untuk menjelaskan makna transformasi sebagaimana digunakan dalam analisis struktural.Hal ini tampaknya telah membuat konsep transformasi menjadi lebih mudah dipahami dan digunakan dalam analisis.
Lebih sulit dari itu adalah membedakan makna transformasi dengan change (perubahan), karena ini menuntut kemampuan memandang gejala sosial-budaya dengan cara yang berbeda, yang a-historis. Kita umumnya memiliki pola pikir yang linier, yang historis, diakronis.Segala sesuatu selalu kita pandang dalam hubungan sebab-akibat sehingga penjelasan tentang sesuatu tersebut selalu mengacu pada sebab-sebabnya, dan itu berarti kepada masa lampaunya.Kebiasaan ini membuat kita mengalami kesulitan jika harus memandang dan menjelaskan gejala sosial-budaya tidak melalui sudut pandang kausalitas.
Kesulitan tersebut juga menambah orang semakin kurang berminat memandang gejala sosial-budaya dari perspektif strukturalisme, ketika dikatakan bahwa strukturalisme tidak dapat digunakan untuk menjelaskan gejala-gejala perubahan sosial dan kebudayaan, bahwa strukturalisme tidak menyejarah (a-historis).Mereka yang menerima begitu saja kritik ini sebenarnya telah melupakan faktor-faktor yang mendorong munculnya pendekatan struktural, yakni keterbatasan pendekatan sejarah ketika digunakan untuk memahami dan menganalisis gejala-gejala sosial-budaya yang memang tidak ada data sejarahnya.
Seperti halnya pada konsep struktur dan struktur sosial, diskusi teoritis dan filosofis mengenai konsep transformasi ini juga masih belum ada.Sulit rasanya mengharapkan munculnya pembahasan seperti itu di kalangan ilmuwan sosial-budaya yang memang tidak ada data sejarahnya.
Seperti halnya pada konsep struktur dan struktur sosial, diskusi teoritis dan filosofis mengenai konsep transformasi ini juga masih belum ada.Sulit rasanya mengharapkan munculnya pembahasan seperti itu di kalangan ilmuwan sosial-budaya Indonesia dalam waktu yang relatif dekat ini.
5. Penutup
Apa yang saya paparkan di sini adalah apa yang saya ketahui mengenai strukturalisme di Indonesia di masa kini, yang setahu saya sudah mulai banyak dikenal dan digungakan sebagai paradigma dalam penelitian. Pengaruh ini terlihat terutama di jurusan Antropologi di Universitas Gadjah Mada. Saya tidak tahu apakah di jurusan-jurusan antropologi lain di Indonesia paradigma ini telah diajarkan. Yang jelas saya belum pernah mendengar sama sekali bahwa paradigma ini telah diajarkan di UGM (dulu). Mungkin karena di jurusan-jurusan antropologi yang lain tidak ada orang yang merasa menguasai dan dapat mengajarkan dengan baik strukturalisme sebagai sebuah paradigma; mungkin juga karena paradigma ini dianggap terlalu banyak kelemahannya, terutama karena tidak dapat digunakan untuk memahami dinamika dan perubahan kebudayaan.
Di UGM pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss terasa terutama di kalangan mahasiswa antropologi, tingkat pascasarjana.Di luar UGM pengaruh tersebut tetap masih belum terasa, atau mungkin ada tetapi saya tidak mengetahuinya.Tidak sebagaimana halnya post-modernisme dan cultural studies, wacana serius tentang strukturalisme (Lévi-Strauss) setahu saya tidak pernah muncul di Indonesia. Kalau pada awal kemunculan post-modernisme dan cultural studies saya sempat diundang dalam diskusi dan seminar di Indonesia tentang dua trend keilmuan tersebut, tidak demikian halnya dengan strukturalisme. Belum pernah saya diundang dalam seminar, diskusi atau lokakarya yang secara khusus membahas strukturalisme (Lévi-Strauss) sebagai sebuah trend pendekatan baru dalam ilmu sosial-budaya.Hal ini tentu sangat mengherankan, jika tidak memprihatinkan.
Mengapa demikian?Mungkin beberapa faktor yang telah saya sebutkan di atas adalah diantaranya. Faktor-faktor yang lain mungkin sekali juga menjadi penyebabnya seperti misalnya : langkanya buku mengenai strukturalisme itu sendiri, tidak adanya kuliah khusus mengenai strukturalisme di universitas-universitas di Indonesia, tidak adanya ilmuwan sosial-budaya yang khusus menekuni strukturalisme dan kemudian memperkenalkannya kepada publik Indonesia.
Kalau dalam antropologi saja strukturalisme (Lévi-Strauss) sampai saat ini masih belum sangat dikenal, maka aspek filosofis dari aliran pemikiran ini tentu lebih belum dikenal lagi.Walaupun Lévi-Strauss tidak pernah menganggap strukturalisme yang dikembangkannya sebagai sebuah filsafat, namun sebenarnya sebagai sebuah epistemologi strukturalisme adalah sebuah aliran pemikiran filsafati, dan ini sebenarnya sudah terlihat sejak awal.Sisi filosofis inilah yang belum diserap oleh kalangan intelektual atau ilmuwan Indonesia.Mungkin karena sisi ini lebih sulit untuk ditangkap dan dipahami oleh ahli filsafat Indonesia, mungkin pula karena ahli filsafat Indonesia tidak ada yang tertarik untuk membahasnya.Namun, itulah tantangan dari strukturalisme yang hingga kini di Indonesia masih belum ada yang bersedia menghadapi dan dapat menakhlukannya.
Dari paparan di atas kita dapat mengatakan bahwa (a) strukturalisme yang dikenal di Indonesia adalah strukturalisme yang dikembangkan oleh Lévi-Strauss, sementara strukturalisme yang berasal dari Foucault dan Barthes tidak begitu terlihat pengaruhnya di kalangan kaum terpelajar Indonesia; (b) strukturalisme Lévi-Strauss masih terbatas dikenal di kalangan pelajar antropologi, terutama di UGM, karena di jurusan antropologi UGM strukturalisme Lévi-Strauss diajarkan secara khusus selama satu semester, di tingkat pascasarjana; (c) beberapa konsep penting dalam strukturalisme yang mulai dikenal dan dimengerti adalah konsep struktur, struktur sosial, dan transformasi, di samping konsep-konsep seperti nirsadar, oposisi biner, sintagmatik-para digmatik, sign, signified, signifier, dan sebagainya; (d) pembahasan kritis atas pemikiran-pemikiran antropologis dan filosofis belum terlihat, dan tampaknya belum akan muncul dalam waktu dekat, karena hal semacam ini menuntut pemahaman yang mendalam atas berbagai paradigma dan pandangan filosofis yang berkembang dalam antropologi dan filsafat. Oleh karena itu pula, pengaruh strukturalisme Lévi-Strauss terhadap pemikiran-pemikiran ilmuwan sosial-budaya Indonesia masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat meninggalkan bekas yang cukup dalam serta mudah dikenali dalam karya-karya ilmiah mereka.
SKRIPSI ANALISIS ATAS NOVEL
AYAT-AYAT CINTA KARYA HABIBURRAHMAN EL SHIRAZY (SEBUAH PENDEKATAN
STRUKTURALISME)
SKRIPSI
ANALISIS PENOKOHAN DALAM NOVEL PUDARNYA PESONA CLEOPATRA KARYA HABIBURRAHMAN EL
SHIRAZY BERDASARKAN TEORI KEPRIBADIAN SIGMUND FREUD - KAJIAN PSIKOLOGI
SASTRA
unsur komunisme,Citra Sosial Budaya Jawa,
sangat bermanfaat :D
BalasHapus