Jumat, 24 Oktober 2014

Cerpen

H A T I H A T I

Terasa lelah aku berjalan menaungi permukaan bumi yang luas dibawah langit ini. Jejakku semakin memudar dari butir-butir pasir yang pertama kali aku pijak. Ahh,.. hidup ini melelahkan ternyata, hidup ini membuat ku semakin ingin menguburkan masa lalu kelam ku yang sangat membekas didalam batin dan jiwaku bahkan bekas luka yang ditinggalkan juga sangatlah berbentuk, berbentuk melukai dan merongrong pertumbuhan psikis ku, hingga aku dewasa dan kini sudah menginjakkan kakiku di Universitas Riau ini.

Aku memiliki seorang ayah dan seorang ibu. Ayahku terlahir dari keluarga yang sebenarnya dicukupkan dalam hal keuangan, tetapi ia kekurangan kasih sayang, ketika umurnya lima tahun, ia sudah ditinggal pergi oleh ibunya yang lebih tepat aku panggil nenek ke alam baka. Ayahku tumbuh dengan cacian, amarah, kekhuatiran, keegoisan yang diberikan kakekku secara tidak sengaja kepada anak-anaknya. Hingga ia yang masih remaja saat itu langsung dinikahkan dengan ibuku di usia yang sangat muda, yaitu 18 tahun. Aku tidak tahu mengapa orang jaman dulu menyukai hal itu, tetapi andai saja aku berada saat itu mungkin aku akan menjadi orang yang menentang kejadian dan keputusan itu. Bagaimana tidak, hal itulah yang menyebabkan aku dan adik-adikku menderita dan merasakan hal yang tidak seharusnya kami alami. Cacian, makian dan hinaan selalu menyelimuti hari-hariku.

Mungkin adik-adikku tidak begitu merasakan penderitaan yang menyesakkan dada tersebut. Tetapi, aku sebagai anak pertama dan sekaligus anak yang saat itu sudah mengerti akan hal-hal demikian, sakit dan susahnya mengalami Broken home tidak ingin kuingat dan kualami lagi.

“apakah kamu tidak malu memiliki ayah seperti dia? Apakah kamu masih bisa senang-senang dan tertawa melihat ayahmu itu? Cobalah, jangan main-main, untunglah jika nanti kalian kalau tidak dijual oleh ayahmu karena utang-utangnya..!!” kata-kata itu yang setiap hari kudengar dari ibuku, ibu yang sudah melahirkan aku dan memperjuangkan agar kami ber-4 anaknya mendapat makan, itu saja! Itu saja yang selalu dikatakannya agar kami lebih serius dan melihat kenyataan serta mempersiapkan diri kami untuk setiap kemungkinan yang akan terjadi dikemudian hari. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bila ayahku tidak lagi menjadi manusia yang menganggap kami anak-anaknya ada, kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bila suatu saat mata ayahku sudah tidak bisa melihat tangisan dan air mata kami, tidak lagi dapat menerima keadaan dan tidak dapat lagi merasakan jeritan hati kami, tidak lagi dapat menyentuh kami dengan senyumannya..

 Saat itu aku berumur 8 tahun, saat usia yang seharusnya dipenuhi kasih sayang, saat usia yang seharusnya penuh dengan masa kanak-kanak yang menggembirakan dan selalu disambut dengan senyuman.. hal ini berbeda, kami ternyata berada di dunia yang berbeda, hal ini berbeda, sangat berbeda sekali bahkan kontras dari kenyataan disekelilingku, pada kenyataan-kenyataan anak-anak yang kulihat, pada anak-anak yang bersamaku dan sebenarnya aku iri sekali pada mereka. Pertanyaan yang sering aku teriakan dalam hati “kenapa aku tidak bisa tertawa bebas seperti mereka???!!!, kenapa aku dilahirkan dari keluarga dan orang tua yang seperti ini??!!, dosa apakah hingga aku menjadi anak yang disudutkan, dosa apakah hingga aku dihina oleh mereka??!!”

Tangisan sudah bukan hal yang mengherankan, tangisan sudah bukan hal yang aneh... justru kalau tidak ada air mata disetiap hariku, maka aku bukanlah diriku. Entah sejak kapan aku memiliki pemikiran-pemikiran yang jahat, aku mulai memiliki pemikiran bagaimana kalau aku menentang kodrat Tuhan, aku ingin pergi meninggalkan dunia ini, aku ingin membunuh tubuh dan nyawa didalamnya agar mereka puas, agar aku tidak lagi menangis agar aku tidak lagi dihina dan segera berakhirlah cerita dan kisah hidupku di usia ini..

Lagi-lagi aku ragu, aku ragu apakah aku diterima oleh-Nya jika nanti aku meninggalkan dunia dengan cara yang salah seperti ini, meninggal dengan memaksakan kehendakku, ya Tuhan, rasanya titik jenuhku memuncak saat itu..

Aku sangat mengagumi sosok ibuku, benar pepatah yang mengatakan bahwa “surga ada dibawah telapak kaki ibu” melihat usaha ibuku yang setiap hari menjadi seorang yang tegar kelihatannya, ia berusaha tersenyum, ia tidak menitikkan air mata didepan kami hal itu tidak pernah aku lihat. Hingga tiba saat aku pulang dari sekolah sore itu, melewati kamar rumah kami yang hanya ada dua dalam itu, aku melihat sosoknya, aku melihatnya menyibakkan kain-kain yang terdapat dalam tas, kulihat ia duduk bersandar di tempat tidur sambil meneteskan air mata, kulihat ia menangis, kulihat ia, kulihat dengan jelas.. perih sobat, ketika tetesan air matanya jatuh setitik demi setitik menuruni lereng hati dukanya, seketika aku merasakan tulang-tulangku melemas dan kurasakan hatiku hancur sehancur-hancurnya. Sumpah! Itu hal yang paling membunuhku ketika ia diam-diam dan kembali mengusap air matanya dengan pelan. Aku beralih pergi dan melanjutkan langkahku ke kebelakang. Saat itu aku bersumpah tidak akan membiarkan ia menangis karena aku. Aku ingin ia menyukuri dan bahagia dengan adanya aku, aku ingin ia selalu tersenyum, aku ingin...aku ingin..ingin..ingin..

Setiap hari aku berdoa, aku tidak pernah melupakannya, melupakan saat ia menangis, apapun di dunia ini akan kuberikan bahkan jiwaku ketika itu untuk ibuku, untuk orang yang satu-satunya menjadi alasanku untuk tetap bertahan...

Perasaannku sangat sulit untuk kudefenisikan terhadap ayahku saat itu. Aku marah, aku benci, aku kesal, bahkan kesalahan ku terbesar adalah menginginkan ia pergi dari kehidupan kami. Saat itu aku berpikir bahwa kami akan bahagia tanpanya, tanpa seorang ayah, tanpa dia kami tidak akan merasakan amarah lagi, tidak akan merasakan cacian lagi, tidak akan merasakan pukulan keras darinya lagi yang sering dilakukannya saat ia marah. Aku melihatnya dengan bengis, terkadang aku bantah perkataannya ketika ia marah, tetapi setelah itu aku makin dimarah dan dipukul. Kesalahan sepertinya selalu bermuara kepadaku, kekesalan sepertinya selalu bermuara kepadaku, semuanya seperti di neraka. Panas hati, panas keadaan rumah dan tidak ada lagi keharmonisan didalam rumah, tidak ada lagi manja kepada orang tua seperti halnya yang aku lihat didalam keluarga teman-temanku. Keluarga kami seperti keluarga yang terkena karma. Ada-ada saja hal yang membuatku semakin hari semakin muak dengan keadaannya, sampai-sampai keinginan untuk sekolahpun tidak ada. Aku lebih baik tidak bersekolah jika di manapun aku berada selalu kegelisahan yang kurasakan. Selalu amarah yang keluar dalam hati dan perkataan.


Kegelisahan itu juga masih terbawa-bawa dibangku perkuliahan saat ini. Terkadang aku menangis dan menyukuri semuanya. Menyukuri ketika aku dituduh mengambil uang, menyukuri ketika aku diejek oleh teman-teman sekelas, dijadikan bual-bualan oleh mereka yang tidak suka terhadap aku dan keluargaku. Aku kecewa, aku menyesalkan semuanya.. menyesal, benci..benci.. dan benci...  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar