H A T I H A T I
Terasa
lelah aku berjalan menaungi permukaan bumi yang luas dibawah langit ini.
Jejakku semakin memudar dari butir-butir pasir yang pertama kali aku pijak.
Ahh,.. hidup ini melelahkan ternyata, hidup ini membuat ku semakin ingin
menguburkan masa lalu kelam ku yang sangat membekas didalam batin dan jiwaku
bahkan bekas luka yang ditinggalkan juga sangatlah berbentuk, berbentuk melukai
dan merongrong pertumbuhan psikis ku, hingga aku dewasa dan kini sudah
menginjakkan kakiku di Universitas Riau ini.
Aku
memiliki seorang ayah dan seorang ibu. Ayahku terlahir dari keluarga yang
sebenarnya dicukupkan dalam hal keuangan, tetapi ia kekurangan kasih sayang,
ketika umurnya lima tahun, ia sudah ditinggal pergi oleh ibunya yang lebih
tepat aku panggil nenek ke alam baka. Ayahku tumbuh dengan cacian, amarah,
kekhuatiran, keegoisan yang diberikan kakekku secara tidak sengaja kepada
anak-anaknya. Hingga ia yang masih remaja saat itu langsung dinikahkan dengan
ibuku di usia yang sangat muda, yaitu 18 tahun. Aku tidak tahu mengapa orang
jaman dulu menyukai hal itu, tetapi andai saja aku berada saat itu mungkin aku
akan menjadi orang yang menentang kejadian dan keputusan itu. Bagaimana tidak,
hal itulah yang menyebabkan aku dan adik-adikku menderita dan merasakan hal
yang tidak seharusnya kami alami. Cacian, makian dan hinaan selalu menyelimuti
hari-hariku.
Mungkin
adik-adikku tidak begitu merasakan penderitaan yang menyesakkan dada tersebut.
Tetapi, aku sebagai anak pertama dan sekaligus anak yang saat itu sudah
mengerti akan hal-hal demikian, sakit dan susahnya mengalami Broken home tidak
ingin kuingat dan kualami lagi.
“apakah
kamu tidak malu memiliki ayah seperti dia? Apakah kamu masih bisa senang-senang
dan tertawa melihat ayahmu itu? Cobalah, jangan main-main, untunglah jika nanti
kalian kalau tidak dijual oleh ayahmu karena utang-utangnya..!!” kata-kata itu
yang setiap hari kudengar dari ibuku, ibu yang sudah melahirkan aku dan
memperjuangkan agar kami ber-4 anaknya mendapat makan, itu saja! Itu saja yang
selalu dikatakannya agar kami lebih serius dan melihat kenyataan serta
mempersiapkan diri kami untuk setiap kemungkinan yang akan terjadi dikemudian
hari. Kemungkinan-kemungkinan yang terjadi bila ayahku tidak lagi menjadi
manusia yang menganggap kami anak-anaknya ada, kemungkinan-kemungkinan yang
terjadi bila suatu saat mata ayahku sudah tidak bisa melihat tangisan dan air
mata kami, tidak lagi dapat menerima keadaan dan tidak dapat lagi merasakan
jeritan hati kami, tidak lagi dapat menyentuh kami dengan senyumannya..
Saat itu aku berumur 8 tahun, saat usia yang
seharusnya dipenuhi kasih sayang, saat usia yang seharusnya penuh dengan masa
kanak-kanak yang menggembirakan dan selalu disambut dengan senyuman.. hal ini
berbeda, kami ternyata berada di dunia yang berbeda, hal ini berbeda, sangat
berbeda sekali bahkan kontras dari kenyataan disekelilingku, pada
kenyataan-kenyataan anak-anak yang kulihat, pada anak-anak yang bersamaku dan
sebenarnya aku iri sekali pada mereka. Pertanyaan yang sering aku teriakan
dalam hati “kenapa aku tidak bisa tertawa bebas seperti mereka???!!!, kenapa
aku dilahirkan dari keluarga dan orang tua yang seperti ini??!!, dosa apakah
hingga aku menjadi anak yang disudutkan, dosa apakah hingga aku dihina oleh
mereka??!!”
Tangisan
sudah bukan hal yang mengherankan, tangisan sudah bukan hal yang aneh... justru
kalau tidak ada air mata disetiap hariku, maka aku bukanlah diriku. Entah sejak
kapan aku memiliki pemikiran-pemikiran yang jahat, aku mulai memiliki pemikiran
bagaimana kalau aku menentang kodrat Tuhan, aku ingin pergi meninggalkan dunia
ini, aku ingin membunuh tubuh dan nyawa didalamnya agar mereka puas, agar aku
tidak lagi menangis agar aku tidak lagi dihina dan segera berakhirlah cerita
dan kisah hidupku di usia ini..
Lagi-lagi
aku ragu, aku ragu apakah aku diterima oleh-Nya jika nanti aku meninggalkan
dunia dengan cara yang salah seperti ini, meninggal dengan memaksakan
kehendakku, ya Tuhan, rasanya titik jenuhku memuncak saat itu..
Aku
sangat mengagumi sosok ibuku, benar pepatah yang mengatakan bahwa “surga ada dibawah telapak kaki ibu” melihat
usaha ibuku yang setiap hari menjadi seorang yang tegar kelihatannya, ia
berusaha tersenyum, ia tidak menitikkan air mata didepan kami hal itu tidak
pernah aku lihat. Hingga tiba saat aku pulang dari sekolah sore itu, melewati
kamar rumah kami yang hanya ada dua dalam itu, aku melihat sosoknya, aku
melihatnya menyibakkan kain-kain yang terdapat dalam tas, kulihat ia duduk
bersandar di tempat tidur sambil meneteskan air mata, kulihat ia menangis,
kulihat ia, kulihat dengan jelas.. perih sobat, ketika tetesan air matanya
jatuh setitik demi setitik menuruni lereng hati dukanya, seketika aku merasakan
tulang-tulangku melemas dan kurasakan hatiku hancur sehancur-hancurnya. Sumpah!
Itu hal yang paling membunuhku ketika ia diam-diam dan kembali mengusap air
matanya dengan pelan. Aku beralih pergi dan melanjutkan langkahku ke
kebelakang. Saat itu aku bersumpah tidak akan membiarkan ia menangis karena
aku. Aku ingin ia menyukuri dan bahagia dengan adanya aku, aku ingin ia selalu
tersenyum, aku ingin...aku ingin..ingin..ingin..
Setiap
hari aku berdoa, aku tidak pernah melupakannya, melupakan saat ia menangis,
apapun di dunia ini akan kuberikan bahkan jiwaku ketika itu untuk ibuku, untuk
orang yang satu-satunya menjadi alasanku untuk tetap bertahan...
Perasaannku
sangat sulit untuk kudefenisikan terhadap ayahku saat itu. Aku marah, aku
benci, aku kesal, bahkan kesalahan ku terbesar adalah menginginkan ia pergi
dari kehidupan kami. Saat itu aku berpikir bahwa kami akan bahagia tanpanya,
tanpa seorang ayah, tanpa dia kami tidak akan merasakan amarah lagi, tidak akan
merasakan cacian lagi, tidak akan merasakan pukulan keras darinya lagi yang
sering dilakukannya saat ia marah. Aku melihatnya dengan bengis, terkadang aku bantah
perkataannya ketika ia marah, tetapi setelah itu aku makin dimarah dan dipukul.
Kesalahan sepertinya selalu bermuara kepadaku, kekesalan sepertinya selalu
bermuara kepadaku, semuanya seperti di neraka. Panas hati, panas keadaan rumah
dan tidak ada lagi keharmonisan didalam rumah, tidak ada lagi manja kepada
orang tua seperti halnya yang aku lihat didalam keluarga teman-temanku.
Keluarga kami seperti keluarga yang terkena karma. Ada-ada saja hal yang
membuatku semakin hari semakin muak dengan keadaannya, sampai-sampai keinginan
untuk sekolahpun tidak ada. Aku lebih baik tidak bersekolah jika di manapun aku
berada selalu kegelisahan yang kurasakan. Selalu amarah yang keluar dalam hati
dan perkataan.
Kegelisahan
itu juga masih terbawa-bawa dibangku perkuliahan saat ini. Terkadang aku
menangis dan menyukuri semuanya. Menyukuri ketika aku dituduh mengambil uang,
menyukuri ketika aku diejek oleh teman-teman sekelas, dijadikan bual-bualan
oleh mereka yang tidak suka terhadap aku dan keluargaku. Aku kecewa, aku menyesalkan
semuanya.. menyesal, benci..benci.. dan benci...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar