Menjajaki Sejarah
Bandar Senapelan Asal Mula Kota Pekanbaru
Oleh Ernimawati Halawa
Rasa ingin tahu yang tinggi, kepedulian
dan kebersamaan adalah motivasi utama yang terlihat memancar dari wajah-wajah
mahasiswa-mahasiswi Program studi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia serta
program studi pendidikan bahasa Inggris Universitas Riau, Sabtu, 04 Januari
2014.
Bertempat di Ruang H5
Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Drs. Elmustian Rahman, M.A., dan Abdul
Jalil, M.Pd, selaku dosen mata kuliah memberikan pengarahan dan gambar
perjalanan menjelajah bandar Senapelan yang akan dilakukan keesokan harinya.
Dalam penjelasan tersebut dijelaskan delapan cluster yang akan dikunjungi.
Selain itu, Drs. Elmustian Rahman, M.A. juga menjelaskan beberapa
adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya masyarakat Pekanbaru pada jaman dahulu
hingga sekarang ini. Mahasiswa terlihat antusias dan mengajukan beberapa
pertanyaan untuk mengetahui hal-hal mengenai penjelasan tersebut. Hari itu
ditutup dengan melakukan permainan rakyat daerah yang bertujuan untuk mengingat
kembali dan menerapkan permainan rakyat agar tidak memudar dari zamannya serta
tetap dapat diingat oleh generasi muda sekarang ini.
Kampung Bandar
Senapelan merupakan cikal bakal kota Pekanbaru. Menurut situs resmi kota Pekanbaru,
dahulu Pekanbaru dikenal dengan sebutan Senapelan, dipimpin seorang kepala suku
disebut batin. Mulanya Senapelan berupa ladang yang lambat laun berubah jadi
perkampungan. Kemudian perkampungan Senapelan pindah ke daerah baru yaitu dusun
Payung Sekaki yang terletak di muara Sungai Siak. Namun nama Payung Sekaki
tidak dikenal pada masanya dan tetap disebut sebagai Senapelan.
Sultan Siak
Sri Indrapura bernama Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian mendirikan istana di
Kampung Bukit berdekatan dengan perkampungan Senapelan. Sultan pun berinisiatif
mendirikan sebuah pekan di Senapelan namun tak berkembang. Usaha Sultan
dilanjutkan putranya bernama Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yakni di
sekitar pelabuhan sekarang.
Selanjutnya
pada 23 Juni 1784 berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima
Puluh, Tanah Datar, dan Kampar) nama Senapelan diganti menjadi Pekan Baharu
atau Pekanbaru dalam penyebutan sehari-hari. Berdasarkan SK Kerajaan,
yaitu Besluit van Her Inlanche Zelf Destuur van Siak No.1 tanggal 19
Oktober 1919, Pekanbaru menjadi bagian dari Kesultanan
Siak dengan sebutan distrik.
Pada tahun
1931 Pekanbaru dimasukkan ke dalam wilayah Kampar Kiri yang dikepalai seorang
controleur. Setelah pendudukan Jepang tanggal 8 Maret 1942, Pekanbaru dikepalai
seorang gubernur militer yang disebut gokung. Setelah
Indonesia merdeka, berdasarkan ketetapan gubernur Sumatera di Medan tanggal 17
Mei 1946 No. 103, Pekanbaru dijadikan sebagai daerah otonom yang disebut haminte atau
kota besar.
Setelah itu berdasarkan
UU No.22 tahun 1948, kabupaten Pekanbaru diganti menjadi Kabupaten Kampar dan
Kota Pekanbaru diberikan status kota kecil. Status ini semakin disempurnakan
dengan keluarnya UU No.8 tahun 1956. Kemudian status kota Pekanbaru dinaikkan
dari kota kecil menjadi kota praja setelah keluar UU No.1 tahun 1957.
Berdasarkan Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959,
Pekanbaru resmi menjadi ibukota Propinsi Riau.
Cluster pertama yang
dikunjungi adalah Kim-Teng. Kimteng dikenal sebagai
kedai tempat ngopi di Pekanbaru. Kimteng sesungguhnya merupakan nama orang.
Siapa Kim Teng? TANG Kim Teng lahir di sebuah rumah
sederhana di pinggir kota Singapura pada Maret 1921. Nama kecilnya A Ngau.
Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan ibunya Tan Mei Liang. Ia anak ketiga dari 5
bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu, Tiongkok. Kim Teng pernah
tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru. Ia berasal dari
keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari kehidupan lebih baik.
Tahun 1935
Kim Teng pindah ke Pekanbaru. Usianya 14 tahun ketika itu. Di Pekanbaru, ia
tinggal bersama kakak keduanya, Tang Tjun Lan dan abang iparnya (suami kakak
kedua), Bok Tong An yang sudah lebih dulu tinggal di Pekanbaru. Di Pekanbaru,
Kim Teng disekolahkan oleh abang iparnya. Ia bersekolah di Pek Eng, sebuah
sekolah Tionghoa milik Chung Hwa Chung Hui. Tahun 1943, saat berusia 22 tahun,
Kim Teng menikah dengan seorang gadis asal Dabo Singkep, Pulau Bangka bernama
Tjang Fei Poan.
Usaha kedai
kopi makin berkembang. Tahun 2002, Kedai Kopi Segar, yang lebih dikenal dengan
nama ‘Kedai Kopi Kimteng’ dipindahkan ke Jalan Senapelan. Kini, Kedai Kopi
Kimteng sudah punya enam cabang di Pekanbaru: Jalan Senapelan (pusat), Mall
Ciputra Lantai 2, Mall SKA, Perpustakaan Soeman HS Lantai Dasar, RS Awal Bros
Pekanbaru dan Suzuya Departemen Store Senapelan Pekanbaru Lantai 2. Di kedai
kopi Kimteng jalan Senapelan inilah tepat pukul 7 pagi mahasiswa-mahasiswi
Jurusan Bahasa dan senin ini berkumpul dan sarapan terlebih dahulu. Kimteng
sebagai sponsor kegiatan penjelajahan bandar senapelan ini juga menyediakan
minuman kopi gratis bagi seluruh mahasiswa.
Selanjutnya,
setelah dari Kimteng, perjalanan dimulai dengan membagi kelompok menjadi tiga
kelompok. Kelompok pertama di bimbing oleh Bapak Anas Aismanah. Kelompok dua
dipimpin oleh Drs. Elmustian Rahman, M.A., dan kelompok ketiga dipimpin oleh
Abdul Jalil, M.Pd.
Dari Kimteng,
melintasi sebuah rumah berpagar dan mewah, terlihat rumah kediaman tuan Jafar, seorang tuan tanah kota Pekanbaru, menurut
Elmustian, tuan Jafar ini adalah seorang yang kaya raya di kota Pekanbaru.
Setelah kediaman tuan Jafar tujuan selanjutnya adalah Surau Al-Irhaash.
Surau Al-Irhaash tempat bersejarah pertama yang kami kunjungi. Ia berada
di Jalan Senapelan. Sebelum memasuki surau bercat hijau ini, ada dua gapura
kecil dengan kubah bulat diatasnya. Sebuah catatan sejarah tertempel di bagian
luar surau. Ada cerita singkat soal sejarah surau serta foto surau sebelum
renovasi. Surau Al-Irhaash didirikan sekitar tahun 1925, dibangun di atas lahan
yang diwakafkan oleh masyarakat Kampung Bukit. Pada zaman perang kemerdekaan
surau difungsikan sebagai markas besar pejuang tentara Fisabilillah. Awalnya
bangunan surau berbentuk segi empat. Setelah berfungsi sebagai tempat ibadah,
ditambah ruang mihrab, tepatnya tahun 1970-an.
Dahulu surau
dimanfaatkan sebagai tempat menyiarkan Islam (ceramah) dan mengaji bagi
anak-anak. Untuk mengikuti syiar Islam masyarakat Kampung Bukit membuat
alat pertanda masuknya waktu sholat. Alat tersebut bernama ketuntung terbuat
dari kayu. Pada tahun 1970-an alat tersebut dirubah bentuk menggunakan bahan
dari drum yang bagian luarnya dilapisi kulit rusa, dinamakan tabuh.
Renovasi
pertama dilakukan tahun 2005 menggunakan bantuan dana dari Gubernur Riau untuk
membangun kamar mandi/WC, tempat wudhu dan penambahan jendela. Tahun 2007
dilakukan renovasi total menggunakan dana donatur yaitu keluarga besar H.
Awaloeddin. Bangunan baru masih mempertahankan keaslian bentuk atap dan ukiran.
Setelah
bangunan bersejarah Surau AL-Irhaash, tempat bersejarah yang dilewati adalah
Rumah Honolulu. Rumah ini sudah tidak terlihat lagi wujud asli dari bangunannya
dikarenakan sudah rata dengan tanah dan hancur dimakan sang waktu. Terlihat
tidak adanya perbaikan ataupun perawatan yang dilakukan oleh masyarakat maupun
pemerintah setempat akan tempat ini. Sisa-sisa batu yang terlihat dari jalan
dan rumput ilalang yang tinggi semakin menutupi tempat itu.
Berangkat
dari Rumah Honolulu, tempat yang
dilewati adalah Jembatan Siak tiga. Selanjutnya tidak jauh dari jembatan itu
terdapat tempat bersejarah
lainnya adalah terminal lama kota Pekanbaru di tepian Sungai Siak. Letaknya
tepat di bawah Jembatan Siak III. Situs terminal yang tersisa hanya dinding
beratap dari batu. Jembatan Siak III
sendiri diresmikan pada 3 Desember 2011 dengan nama Jembatan Sultan Muhammad
Ali Abdul Jalil Muazzamsyah oleh Gubernur Riau. Jembatan ini jadi penghubung
wilayah Pekanbaru kota dengan Kecamatan Rumbai yang dibelah Sungai Siak.
Jembatan Siak III berwarna kuning dengan panjang total 520 meter dan panjang
bentang 170 meter. Terminal lama kota Pekanbaru tak terawat. Lumut menempel di
tiap bagian hingga menghitam. Jika hujan, rumput di sekitar kawasan terminal
akan terendam air. Coretan-coretan menghiasi dinding batu.
Sekitar
limapuluh meter dari terminal lama, ada bangunan tua dari kayu. Dindingnya dari
papan bercat kuning beratap limas. Bangunannya berbentuk panggung dengan ukiran
khas melayu. Dua puluh dua tiang sebagai penyangga rumah, tiga pintu dan 14
jendela terdapat dirumah itu. Rumah ini dibangun pada 23 Juli 1928, seperti
tertera di tangga batunya. Ini rumah singgah Tuan Qadhi H Zakaria. Ia seorang
pimpinan yang mengelola tiga aspek pemerintahan pada masanya: pimpinan adat,
pim-pinan agama dan pimpinan sosial. Rumah ini terletak di pinggir Jalan
Perdagangan, di tepi Sungai Siak.
Rumah singgah tersebut tampak kurang
baik pengelolaannya. Beberapa jendela ditutup dengan palang papan dari luar.
Pintu masuk juga digembok seadanya. Dari keadaan sekitar terlihat kurangnya
perhatian terhadap situs sejarah yang mungkin akan menghilang dimakan sang
waktu jika masyarakat tetap mengabaikannya.
Merasa cukup
puas akan keingintahuan akan rumah singgah, mahasiswa seluruhnya bersama
pembimbing menuju ke rumah Tenun.
Berbentuk rumah panggung dari kayu berwarna cokelat berarsitektur melayu. Rumah
disertai tujuh anak tangga yang terbuat dari batu ini memiliki sebuah catatan
kecil ditulis tangan Drs. H.A. Tanwir Ayang, M.Si tokoh budayawan Pekanbaru
tertempel di dekat pintu rumah. Catatan tersebut menjelaskan riwayat rumah H.
Yahya.
Rumah
didirikan tahun 1887. Pada awalnya digunakan untuk basis pejuang Fisabilillah
sekaligus Gudang Logistik dan Dapur Umum. Tahun 1958 pasca kemerdekaan rumah
tersebut dijadikan tempat tinggal Tentara Nasional Indonesia Pusat di era
penumpasan pemberontakan PRRI Sumatera Bagian Tengah khususnya Riau.
Saat ini
rumah H. Yahya digunakan untuk kegiatan kelompok Swadaya Masyarakat Tenun Kain
Songket di Kampung Bandar Senapelan. Ada jendela kayu dengan dua daun jendela
di setiap ruangan rumah H Yahya. Jendela bisa dibuka dengan cara mendorong ke
arah luar. Begitu dibuka, udara tepian Sungai Siak berhembus masuk ruangan.
Lantai bagian bawah digunakan sebagai gudang penyimpanan barang.
Rumah H Yahya
sudah ada sejak tahun 1887 .“Dalam adat melayu, bentuk rumah menentukan strata
sosial si empunya rumah,” kata Elmustian. Dalam catatan Tanwir Ayang tertulis
H. Yahya seorang tauke getah karet. “Terbukti ini rumah orang kaya. Lihat saja
rumahnya tinggi dan tangganya dari batu, banyak pula anak tangganya,” lanjut
Elmustian.
Cukup puas
memotret sana dan sini, kembali penelusuran dilanjutkan menuju Tugu Nol Pekanbaru. Elmustian mengatakan
bahwa sejarah tak seharusnya diubah. “Contohnya
ini, di sini sebenarnya titik nol kota Pekanbaru,” papar Elmustian. Saat
itu jelajah rombongan sudah tiba di tugu titik nol kota Pekanbaru. Ia berada di
Gudang Pelabuhan Indonesia I (Pelindo I) Kelurahan Kampung Dalam Kecamatan
Senapelan. Tugu titik nol berupa batu persegi sertinggi 70 senti meter. Ia
kelihatan kokoh namun sudah menghitam, bahkan terkesan tidak terlihat lagi
dikarenakan sudah tertutupi lumut dan menghitam.
Pada batu
tertulis “Pad 313, Bkn 65, Pb 0”. Tulisan tersebut menyatakan jarak dari
Pekanbaru ke Padang 313 kilo meter dan dari Pekanbaru ke Bangkinang 65 kilo
meter. Di bawahnya terdapat lambang dinas Pekerjaan Umum. Namun sejak tahun
1986, batu ini tak lagi dianggap sebagai kilo meter nol Pekanbaru. Kini ia
tampak tak terawat lagi.
Tidak jauh dari
tugu titik nol Pekanbaru, tepatnya beberapa meter dari sebelah tugu tersebut,
kami melihat sebuah rumah tingkat dua berdinding papan dan triplek. Dilihat
dari luar, lantai dua rumah dipenuhi kain jemuran. “Itu dulu kedai pertama Kimteng,” kata Elmustian. Kimteng dikenal
sebagai kedai tempat ngopi di Pekanbaru.
Terminal tempat muat bongkar barang
kapal tersebut cukup luas terlihat dikarenakan tempat itu sudah tidak berfungsi
lagi selayaknya sebuah terminal pada umumnya. Tempat ini hanya digunakan oleh
masyarakat setempat untuk lalu lintas saja atau bahkan untuk sekedar menikmati
pemandangan yang ada.
Berangkat
dari situ, penjelajahan dilanjutkan melewati Pasar Bawah, sebuah pasar di
pekanbaru yang bertingkat dan ramai dikunjungi. Melewati itu pula melalui
Kampung Tengah, kami menuju jembatan
siak IV, sebelumnya kami melintasi sungai Sago yang disebut-sebut oleh pak
Anas selaku budayawan setempat yang lebih mengenal asal-usul kota pekanbaru dan
sejarahnya, ia mengatakan bahwa dahulunya kerajaan Siak berada diantara Sungai
Sago dan sungai Limau sebelum akhirnya dipindahkan ke kota Siak. Sungai Limau
terletak dibawah jembatan siak IV yang masih dalam tahap penyelesaian.
Diseberangnya terdapat kampung Tanjung Ruh.
Penjelajahan
dengan menelusuri setiap jalan dengan berjalan kaki ini tidak hanya sampai
disitu. Dengan semangat yang membara, para mahasiswa kompak dan berlarian ingin
mendahului untuk menelusuri jalan dan mendapatkan informasi lebih dari
pembimbing masing-masing tanpa melupakan sesi berfoto sebagai bahan
dokumentasi.
Melewati
pasar Tengah, kami menuju Mesjid Alam
Nur Alam yang masih dalam tahap penyelesaian pembangunannya, namun sudah
dipakai untuk beribadah kaum muslimin setempat. Tepat disebelah mesjid
tersebut, terdapat Makam Sultan Abdul
Jalil Alamsyah dan anaknya serta panglima dan yang lainnya. Makam Sultan yang lebih dikenal dengan
sebutan sultan Bukit ini telah mengalami beberapa renovasi dan pertentangan
didalamnya, antara budayawan yang ingin mempertahankan keasliannya salah
satunya adalah pak Anas dan pemerintah.
Tempat
bersejarah yang terakhir dikunjungi adalah Kediaman
tetap Tuan Qadhi H Zakaria. Rumah ini berada di Jalan Senapelan Gang
Pinggir, tepat di belakang kompleks Masjid Raya Pekanbaru. Bangunannya bergaya
Eropa klasik dicat putih. Amat kontras dengan rumah singgahnya yang
berarsitektur khas Melayu.
Sebagian
pekarangan ditanami aneka bunga dan rumput hias. Sebagian lagi berupa tanah
dengan bebatuan kecil. Bagian belakang rumah terdapat kamar dua lantai. Di
teras sampingnya ada dua kursi jati melengkung serta meja bulat. Sedangkan di
pintu depan, bagian kiri dan kanannya tergantung lampu hias. Rumah ini
dijadikan tempat persinggahan Sultan Siak yang datang.
Setelah
seharian menjelajahi asal-usul dan situs bersejarah pekanbaru, para mahasiswa
pun beristirahat sebentar dan menutup perjalan tersebut dengan kegiatan berfoto
dan pembagian tugas. Dengan rasa gembirapara mahasiswa dan dosen-dosen
pembimbing akhirnya pulang dengan pengetahuan yang didapat serta melihat
keberadaan situs bersejarah yang hampir punah dimakan waktu ini, harapan
bersama supaya kita dan masyarakat serta pemerintah memiliki rasa cinta
terhadap pertahanan tempat-tempat bersejarah tersebut sehingga anak cucu tetap
dapat melihat dan merasakannya.
Dokumentasi:
1.
Kedai Kopi
Kim Teng


2.
Kediaman
Tuan Jafar

3.
Surau
Al-Irhaas


4.
Rumah Singgah


5.
Rumah Tenun


6.
Tugu Nol
Pekanbaru

7.
Terminal

8.
Mesjid Alam
Nur Alam

9.
Makam Sultan
Abdul Jalil Alamsyah

10.
Kediaman
tetap Tuan Qadhi H Zakaria
Tidak ada komentar:
Posting Komentar