Jumat, 24 Oktober 2014

Menjajaki Sejarah Bandar Senapelan Asal Mula Kota Pekanbaru
Oleh Ernimawati Halawa

Rasa ingin tahu yang tinggi, kepedulian dan kebersamaan adalah motivasi utama yang terlihat memancar dari wajah-wajah mahasiswa-mahasiswi Program studi Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia serta program studi pendidikan bahasa Inggris Universitas Riau, Sabtu, 04 Januari 2014.
Bertempat di Ruang H5 Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Drs. Elmustian Rahman, M.A., dan Abdul Jalil, M.Pd, selaku dosen mata kuliah memberikan pengarahan dan gambar perjalanan menjelajah bandar Senapelan yang akan dilakukan keesokan harinya. Dalam penjelasan tersebut dijelaskan delapan cluster yang akan dikunjungi. Selain itu, Drs. Elmustian Rahman, M.A. juga menjelaskan beberapa adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya masyarakat Pekanbaru pada jaman dahulu hingga sekarang ini. Mahasiswa terlihat antusias dan mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengetahui hal-hal mengenai penjelasan tersebut. Hari itu ditutup dengan melakukan permainan rakyat daerah yang bertujuan untuk mengingat kembali dan menerapkan permainan rakyat agar tidak memudar dari zamannya serta tetap dapat diingat oleh generasi muda sekarang ini.
Kampung Bandar Senapelan merupakan cikal bakal kota Pekanbaru. Menurut situs resmi kota Pekanbaru, dahulu Pekanbaru dikenal dengan sebutan Senapelan, dipimpin seorang kepala suku disebut batin. Mulanya Senapelan berupa ladang yang lambat laun berubah jadi perkampungan. Kemudian perkampungan Senapelan pindah ke daerah baru yaitu dusun Payung Sekaki yang terletak di muara Sungai Siak. Namun nama Payung Sekaki tidak dikenal pada masanya dan tetap disebut sebagai Senapelan.
Sultan Siak Sri Indrapura bernama Abdul Jalil Alamudin Syah kemudian mendirikan istana di Kampung Bukit berdekatan dengan perkampungan Senapelan. Sultan pun berinisiatif mendirikan sebuah pekan di Senapelan namun tak berkembang. Usaha Sultan dilanjutkan putranya bernama Raja Muda Muhammad Ali di tempat baru yakni di sekitar pelabuhan sekarang.
Selanjutnya pada 23 Juni 1784 berdasarkan musyawarah datuk-datuk empat suku (Pesisir, Lima Puluh, Tanah Datar, dan Kampar) nama Senapelan diganti menjadi Pekan Baharu atau Pekanbaru dalam penyebutan sehari-hari. Berdasarkan SK Kerajaan, yaitu Besluit van Her Inlanche Zelf Destuur van Siak No.1 tanggal 19 Oktober 1919, Pekanbaru menjadi bagian dari Kesultanan Siak dengan sebutan distrik.
Pada tahun 1931 Pekanbaru dimasukkan ke dalam wilayah Kampar Kiri yang dikepalai seorang controleur. Setelah pendudukan Jepang tanggal 8 Maret 1942, Pekanbaru dikepalai seorang gubernur militer yang disebut gokung. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan ketetapan gubernur Sumatera di Medan tanggal 17 Mei 1946 No. 103, Pekanbaru dijadikan sebagai daerah otonom yang disebut haminte atau kota besar.
Setelah itu berdasarkan UU No.22 tahun 1948, kabupaten Pekanbaru diganti menjadi Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru diberikan status kota kecil. Status ini semakin disempurnakan dengan keluarnya UU No.8 tahun 1956. Kemudian status kota Pekanbaru dinaikkan dari kota kecil menjadi kota praja setelah keluar UU No.1 tahun 1957. Berdasarkan Kepmendagri No. Desember 52/I/44-25 tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru resmi menjadi ibukota Propinsi Riau.
Cluster pertama yang dikunjungi adalah Kim-Teng. Kimteng dikenal sebagai kedai tempat ngopi di Pekanbaru. Kimteng sesungguhnya merupakan nama orang. Siapa Kim Teng? TANG Kim Teng lahir di sebuah rumah sederhana di pinggir kota Singapura pada Maret 1921. Nama kecilnya A Ngau. Ayahnya bernama Tang Lung Chiu dan ibunya Tan Mei Liang. Ia anak ketiga dari 5 bersaudara. Leluhurnya berasal dari kampung Kwanchiu, Tiongkok. Kim Teng pernah tinggal di Siak, Sungai Pakning, Bengkalis, dan Pekanbaru. Ia berasal dari keluarga amat sederhana. Mereka pindah-pindah untuk mencari kehidupan lebih baik.
Tahun 1935 Kim Teng pindah ke Pekanbaru. Usianya 14 tahun ketika itu. Di Pekanbaru, ia tinggal bersama kakak keduanya, Tang Tjun Lan dan abang iparnya (suami kakak kedua), Bok Tong An yang sudah lebih dulu tinggal di Pekanbaru. Di Pekanbaru, Kim Teng disekolahkan oleh abang iparnya. Ia bersekolah di Pek Eng, sebuah sekolah Tionghoa milik Chung Hwa Chung Hui. Tahun 1943, saat berusia 22 tahun, Kim Teng menikah dengan seorang gadis asal Dabo Singkep, Pulau Bangka bernama Tjang Fei Poan.
Usaha kedai kopi makin berkembang. Tahun 2002, Kedai Kopi Segar, yang lebih dikenal dengan nama ‘Kedai Kopi Kimteng’ dipindahkan ke Jalan Senapelan. Kini, Kedai Kopi Kimteng sudah punya enam cabang di Pekanbaru: Jalan Senapelan (pusat), Mall Ciputra Lantai 2, Mall SKA, Perpustakaan Soeman HS Lantai Dasar, RS Awal Bros Pekanbaru dan Suzuya Departemen Store Senapelan Pekanbaru Lantai 2. Di kedai kopi Kimteng jalan Senapelan inilah tepat pukul 7 pagi mahasiswa-mahasiswi Jurusan Bahasa dan senin ini berkumpul dan sarapan terlebih dahulu. Kimteng sebagai sponsor kegiatan penjelajahan bandar senapelan ini juga menyediakan minuman kopi gratis bagi seluruh mahasiswa.
Selanjutnya, setelah dari Kimteng, perjalanan dimulai dengan membagi kelompok menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama di bimbing oleh Bapak Anas Aismanah. Kelompok dua dipimpin oleh Drs. Elmustian Rahman, M.A., dan kelompok ketiga dipimpin oleh Abdul Jalil, M.Pd.
Dari Kimteng, melintasi sebuah rumah berpagar dan mewah, terlihat rumah kediaman tuan Jafar, seorang tuan tanah kota Pekanbaru, menurut Elmustian, tuan Jafar ini adalah seorang yang kaya raya di kota Pekanbaru. Setelah kediaman tuan Jafar tujuan selanjutnya adalah Surau Al-Irhaash.
Surau Al-Irhaash tempat bersejarah pertama yang kami kunjungi. Ia berada di Jalan Senapelan. Sebelum memasuki surau bercat hijau ini, ada dua gapura kecil dengan kubah bulat diatasnya. Sebuah catatan sejarah tertempel di bagian luar surau. Ada cerita singkat soal sejarah surau serta foto surau sebelum renovasi. Surau Al-Irhaash didirikan sekitar tahun 1925, dibangun di atas lahan yang diwakafkan oleh masyarakat Kampung Bukit. Pada zaman perang kemerdekaan surau difungsikan sebagai markas besar pejuang tentara Fisabilillah. Awalnya bangunan surau berbentuk segi empat. Setelah berfungsi sebagai tempat ibadah, ditambah ruang mihrab, tepatnya tahun 1970-an.
Dahulu surau dimanfaatkan sebagai tempat menyiarkan Islam (ceramah) dan mengaji bagi anak-anak.  Untuk mengikuti syiar Islam masyarakat Kampung Bukit membuat alat pertanda masuknya waktu sholat. Alat tersebut bernama ketuntung terbuat dari kayu. Pada tahun 1970-an alat tersebut dirubah bentuk menggunakan bahan dari drum yang bagian luarnya dilapisi kulit rusa, dinamakan tabuh.
Renovasi pertama dilakukan tahun 2005 menggunakan bantuan dana dari Gubernur Riau untuk membangun kamar mandi/WC, tempat wudhu dan penambahan jendela. Tahun 2007 dilakukan renovasi total menggunakan dana donatur yaitu keluarga besar H. Awaloeddin. Bangunan baru masih mempertahankan keaslian bentuk atap dan ukiran.
Setelah bangunan bersejarah Surau AL-Irhaash, tempat bersejarah yang dilewati adalah Rumah Honolulu. Rumah ini sudah tidak terlihat lagi wujud asli dari bangunannya dikarenakan sudah rata dengan tanah dan hancur dimakan sang waktu. Terlihat tidak adanya perbaikan ataupun perawatan yang dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah setempat akan tempat ini. Sisa-sisa batu yang terlihat dari jalan dan rumput ilalang yang tinggi semakin menutupi tempat itu.
Berangkat dari Rumah Honolulu, tempat yang dilewati adalah Jembatan Siak tiga. Selanjutnya tidak jauh dari jembatan itu terdapat tempat bersejarah lainnya adalah terminal lama kota Pekanbaru di tepian Sungai Siak. Letaknya tepat di bawah Jembatan Siak III. Situs terminal yang tersisa hanya dinding beratap dari batu. Jembatan Siak III sendiri diresmikan pada 3 Desember 2011 dengan nama Jembatan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah oleh Gubernur Riau. Jembatan ini jadi penghubung wilayah Pekanbaru kota dengan Kecamatan Rumbai yang dibelah Sungai Siak. Jembatan Siak III berwarna kuning dengan panjang total 520 meter dan panjang bentang 170 meter. Terminal lama kota Pekanbaru tak terawat. Lumut menempel di tiap bagian hingga menghitam. Jika hujan, rumput di sekitar kawasan terminal akan terendam air. Coretan-coretan menghiasi dinding batu.
Sekitar limapuluh meter dari terminal lama, ada bangunan tua dari kayu. Dindingnya dari papan bercat kuning beratap limas. Bangunannya berbentuk panggung dengan ukiran khas melayu. Dua puluh dua tiang sebagai penyangga rumah, tiga pintu dan 14 jendela terdapat dirumah itu. Rumah ini dibangun pada 23 Juli 1928, seperti tertera di tangga batunya. Ini rumah singgah Tuan Qadhi H Zakaria. Ia seorang pimpinan yang mengelola tiga aspek pemerintahan pada masanya: pimpinan adat, pim-pinan agama dan pimpinan sosial. Rumah ini terletak di pinggir Jalan Perdagangan, di tepi Sungai Siak.
Rumah singgah tersebut tampak kurang baik pengelolaannya. Beberapa jendela ditutup dengan palang papan dari luar. Pintu masuk juga digembok seadanya. Dari keadaan sekitar terlihat kurangnya perhatian terhadap situs sejarah yang mungkin akan menghilang dimakan sang waktu jika masyarakat tetap mengabaikannya.
Merasa cukup puas akan keingintahuan akan rumah singgah, mahasiswa seluruhnya bersama pembimbing menuju ke rumah Tenun. Berbentuk rumah panggung dari kayu berwarna cokelat berarsitektur melayu. Rumah disertai tujuh anak tangga yang terbuat dari batu ini memiliki sebuah catatan kecil ditulis tangan Drs. H.A. Tanwir Ayang, M.Si tokoh budayawan Pekanbaru tertempel di dekat pintu rumah. Catatan tersebut menjelaskan riwayat rumah H. Yahya.
Rumah didirikan tahun 1887. Pada awalnya digunakan untuk basis pejuang Fisabilillah sekaligus Gudang Logistik dan Dapur Umum. Tahun 1958 pasca kemerdekaan rumah tersebut dijadikan tempat tinggal Tentara Nasional Indonesia Pusat di era penumpasan pemberontakan PRRI Sumatera Bagian Tengah khususnya Riau.
Saat ini rumah H. Yahya digunakan untuk kegiatan kelompok Swadaya Masyarakat Tenun Kain Songket di Kampung Bandar Senapelan. Ada jendela kayu dengan dua daun jendela di setiap ruangan rumah H Yahya. Jendela bisa dibuka dengan cara mendorong ke arah luar. Begitu dibuka, udara tepian Sungai Siak berhembus masuk ruangan. Lantai bagian bawah digunakan sebagai gudang penyimpanan barang.
Rumah H Yahya sudah ada sejak tahun 1887 .“Dalam adat melayu, bentuk rumah menentukan strata sosial si empunya rumah,” kata Elmustian. Dalam catatan Tanwir Ayang tertulis H. Yahya seorang tauke getah karet. “Terbukti ini rumah orang kaya. Lihat saja rumahnya tinggi dan tangganya dari batu, banyak pula anak tangganya,” lanjut Elmustian.
Cukup puas memotret sana dan sini, kembali penelusuran dilanjutkan menuju Tugu Nol Pekanbaru. Elmustian mengatakan bahwa sejarah tak seharusnya diubah. “Contohnya ini, di sini sebenarnya titik nol kota Pekanbaru,” papar Elmustian. Saat itu jelajah rombongan sudah tiba di tugu titik nol kota Pekanbaru. Ia berada di Gudang Pelabuhan Indonesia I (Pelindo I) Kelurahan Kampung Dalam Kecamatan Senapelan. Tugu titik nol berupa batu persegi sertinggi 70 senti meter. Ia kelihatan kokoh namun sudah menghitam, bahkan terkesan tidak terlihat lagi dikarenakan sudah tertutupi lumut dan menghitam.
Pada batu tertulis “Pad 313, Bkn 65, Pb 0”. Tulisan tersebut menyatakan jarak dari Pekanbaru ke Padang 313 kilo meter dan dari Pekanbaru ke Bangkinang 65 kilo meter. Di bawahnya terdapat lambang dinas Pekerjaan Umum. Namun sejak tahun 1986, batu ini tak lagi dianggap sebagai kilo meter nol Pekanbaru. Kini ia tampak tak terawat lagi.
Tidak jauh dari tugu titik nol Pekanbaru, tepatnya beberapa meter dari sebelah tugu tersebut, kami melihat sebuah rumah tingkat dua berdinding papan dan triplek. Dilihat dari luar, lantai dua rumah dipenuhi kain jemuran. “Itu dulu kedai pertama Kimteng,” kata Elmustian. Kimteng dikenal sebagai kedai tempat ngopi di Pekanbaru.
Terminal tempat muat bongkar barang kapal tersebut cukup luas terlihat dikarenakan tempat itu sudah tidak berfungsi lagi selayaknya sebuah terminal pada umumnya. Tempat ini hanya digunakan oleh masyarakat setempat untuk lalu lintas saja atau bahkan untuk sekedar menikmati pemandangan yang ada.
Berangkat dari situ, penjelajahan dilanjutkan melewati Pasar Bawah, sebuah pasar di pekanbaru yang bertingkat dan ramai dikunjungi. Melewati itu pula melalui Kampung Tengah, kami menuju jembatan siak IV, sebelumnya kami melintasi sungai Sago yang disebut-sebut oleh pak Anas selaku budayawan setempat yang lebih mengenal asal-usul kota pekanbaru dan sejarahnya, ia mengatakan bahwa dahulunya kerajaan Siak berada diantara Sungai Sago dan sungai Limau sebelum akhirnya dipindahkan ke kota Siak. Sungai Limau terletak dibawah jembatan siak IV yang masih dalam tahap penyelesaian. Diseberangnya terdapat kampung Tanjung Ruh.
Penjelajahan dengan menelusuri setiap jalan dengan berjalan kaki ini tidak hanya sampai disitu. Dengan semangat yang membara, para mahasiswa kompak dan berlarian ingin mendahului untuk menelusuri jalan dan mendapatkan informasi lebih dari pembimbing masing-masing tanpa melupakan sesi berfoto sebagai bahan dokumentasi.
Melewati pasar Tengah, kami menuju Mesjid Alam Nur Alam yang masih dalam tahap penyelesaian pembangunannya, namun sudah dipakai untuk beribadah kaum muslimin setempat. Tepat disebelah mesjid tersebut, terdapat Makam Sultan Abdul Jalil Alamsyah dan anaknya serta panglima dan yang lainnya.  Makam Sultan yang lebih dikenal dengan sebutan sultan Bukit ini telah mengalami beberapa renovasi dan pertentangan didalamnya, antara budayawan yang ingin mempertahankan keasliannya salah satunya adalah pak Anas dan pemerintah.
Tempat bersejarah yang terakhir dikunjungi adalah Kediaman tetap Tuan Qadhi H Zakaria. Rumah ini berada di Jalan Senapelan Gang Pinggir, tepat di belakang kompleks Masjid Raya Pekanbaru. Bangunannya bergaya Eropa klasik dicat putih. Amat kontras dengan rumah singgahnya yang berarsitektur khas Melayu.
Sebagian pekarangan ditanami aneka bunga dan rumput hias. Sebagian lagi berupa tanah dengan bebatuan kecil. Bagian belakang rumah terdapat kamar dua lantai. Di teras sampingnya ada dua kursi jati melengkung serta meja bulat. Sedangkan di pintu depan, bagian kiri dan kanannya tergantung lampu hias. Rumah ini dijadikan tempat persinggahan Sultan Siak yang datang.
Setelah seharian menjelajahi asal-usul dan situs bersejarah pekanbaru, para mahasiswa pun beristirahat sebentar dan menutup perjalan tersebut dengan kegiatan berfoto dan pembagian tugas. Dengan rasa gembirapara mahasiswa dan dosen-dosen pembimbing akhirnya pulang dengan pengetahuan yang didapat serta melihat keberadaan situs bersejarah yang hampir punah dimakan waktu ini, harapan bersama supaya kita dan masyarakat serta pemerintah memiliki rasa cinta terhadap pertahanan tempat-tempat bersejarah tersebut sehingga anak cucu tetap dapat melihat dan merasakannya.



Dokumentasi:
1.        Kedai Kopi Kim Teng
IMG_7106.JPGIMG_7107.JPG

2.        Kediaman Tuan Jafar
Foto0244.jpg
3.        Surau Al-Irhaas
Foto0246.jpg
IMG_7121.JPG
4.         Rumah Singgah
Foto0263.jpg
Foto0260.jpg
5.        Rumah Tenun
Foto0273.jpg
Foto0288.jpg
6.        Tugu Nol Pekanbaru
IMG_7217.JPG
7.        Terminal
Foto0326.jpg
8.        Mesjid Alam Nur Alam
Foto0361.jpg
9.        Makam Sultan Abdul Jalil Alamsyah
Foto0362.jpg

10.    Kediaman tetap Tuan Qadhi H Zakaria

Tidak ada komentar:

Posting Komentar