Bahkan, hujan pun bercerita tentangmu.
Sudah 2 tahun lebih. Kala hati masih terpaut. Kala jalinan masih menggema di udara. Aku masih ingat betul lukisan berdua terpatri di ingatan. Bahkan, tempat itu masih teringat dengan jelasnya di ingatan. Waktu itu, dia, kita masih sangat pemula dalam hal jalinan asmara. Bahkan, kita masih ditertawakan oleh anak remaja yang hubungannya sudah berulang kali terjalin. Kita masih sangat pemula dan pemalu. Bahkan untuk saling mengungkapkan rasa kagum masing-masing, kita perlu belajar dan butuh waktu yang sangat panjang hingga waktu memutuskan kita berakhir, tapi tak pernah terucap. Itulah salah satu hal yang aku sesali hingga kini.
Beberapa hari yang lalu, kembali kisah itu terkuak dan melambung di ingatan. Kita kembali menjalin komunikasi. Entahkah takdir atau sekedar pembuka kisah yang belum usai, waktu menyibakkan luka yang tergores. Aku sudah berdamai dengan masa itu. Dimana kamu pernah meninggalkan sesal dan sakit yang tak ku tahu kapan akan berakhir. Hingga waktu juga pada akhirnya menjawab tanyaku di ujung senja, hadir sosok baru yang pada awalnya tak aku inginkan hadirnya. Sekedar untuk mengenal ataukah ini sebenarnya amarah yang salah sasaran hingga aku menerima dia sebagai bentuk ke pasrahan dari rasa sakit darimu.
Waktu bergulir. Suka duka menggariskan jalannya pada kisahku dengannya. Ada penyesalan dan kesadaran setelah itu, mulai menakutkan rasanya, mulai bimbang akhirnya, pada apa yang kuputuskan waktu itu. Akhirnya, saat malam itu tiba, dengan derasnya air mata terucap doa yang tak henti-hentinya di ujung malam pada sudut kamar kecil, aku melantunkan syukur dan pinta pada Sang Khalik. Entahkah sebenarnya penyesalan dan rasa sakit menjadi satu, ataukah rasa takut dan memohon ampun kala itu. Yang pasti, aku mengingat dengan jelas bahwa saat itu, di penghujung malam ketika hanya suara deru angin malam yang terdengar, aku dengan jelas memohon ampun atas keputusan awalku, keputusan menerima dengan buru-buru dan melampiaskan amarah padamu dengan menerima orang lain. Ini sangat gegabah. Ini tidak baik.
Mulai berdesir rasa sakit dan takut kedepannya.
Maka, malam itu. Atau lebih tepatnya di tengah malam sunyi itu, aku memohon agar Tuhan memberiku yang terbaik. Satu pinta yang jelas aku ucap dan masih teringat jelas di benakku yakni, "Tuhan, jangan jatuhkan aku pada orang yang tidak membawa ku semakin mengalami Tuhan dan semakin memuliakan Tuhan. Jangan jatuhkan aku pada dia yang tidak memiliki visi hidup yang sama dan tidak mencintai Engkau sepenuh hatinya bahkan tidak mengasihi keluargaku.". Itu saja doaku. Pada akhir isak tangis itu ada kepasrahan yang begitu panjang.
Sekarang ini hujan turun dengan derasnya.
Aku mengingatmu.
Aku kembali terjatuh dimasa itu.
Masa dimana kamu dan aku, kita tertawa berdua dengan pikiran yang menerawang entah kemana. Cukup lelah memang berdiri, tapi itulah momen terbaik berdua.
Kini. Sudah beberapa tahun berlalu. Kembali ada rasa takut dalam harapan. Kembali ada rasa ragu pada pikir.
"Jika, berjodoh Tuhan pasti pertemukan".
Aku sedang ingin membuktikan kalimat ini.
Ya. Aku sedang ingin bertanding dan membuktikan teori ini.
Jika kita menjadi satu kelak, berarti teori ini benar. Namun, jika pada akhirnya hanya kau dan aku tidak ada kata "kita" pada akhir cerita ini, maka aku yakini bahwa Tuhan benar. Tuhan memberi yang terbaik selain aku dan kamu.
Ya. Karena kamu, teori ini sedang aku uji dan buktikan kebenarannya. Apakah doa dan penantian serta tangis berkepanjangan ini membawa aku pada kata "kita". Ataukah hanya sekedar kata "kamu dan aku". Tidak ada kata "kita" di dalamnya.
Mari kita saksikan.
He_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar