Jumat, 08 Mei 2020

Dialog Malam & Rindu_ (Cerpen)

Rindu :

Malam, ini menyiksa. Tiba mu begitu cepat. Mentari baru berarak naik menyatakan hangatnya kasih yang luas tak berbatas. Namun, senja tetiba menghampiri dan engkau pun beranjak menguasai, menenggelamkan wajah dan memupuk rasa kuatir. Engkau menyibakkan suka menjadi luka, luka yang terlalu dalam dan kini ia kembali hadir dengan hadirmu ia beriring.

Malam, goreskanlah satu kata yang mungkin bisa memastikan perihal rasa. Memastikan bahwa semua akan menjadi akan lebih baik, membahagiakan, dan akan mempertemukan. Gerak langkahmu menutup mata hati, menyesakkan dada, membanjiri diri dengan air mata. Karena aku _Rindu_.




Malam :

Rindu. Aku berpura-pura tegar pada langkah. Wajah menatap tajam, dan perihal mata cerah dengan senyum lepasku bukanlah sungguhan. Aku memilih terlihat bahagia hanya untuk tidak menutup masa dan menaruh luka lalu pergi. Aku memburu waktu untuk menjamu diri agar engkaupun tahu bahwa menutup luka dengan paksa adalah suatu kesakitan dan keputusan yang keras pada diri. Bahkan lamunan hanya akan terasa menyakitkan, sekalipun lamunan itu mengisahkan betapa bahagianya aku dengan keadaan saat ini, Rindu.


Aku selalu menggoreskan perihal namamu dalam setiap perjalananku. Entahkah terkadang dalam langkah, dalam rupa yang berwujud, bahkan terkadang dalam senyuman yang aku beri. Namamu memang senyata itu dalam diri, lekas membekas namun sakit untuk dilepas.

Apa???
Lupakan???!!

Semudah itu mungkin terdengar. Tapi, bukankah kamupun paham, bahwa kebencian didasarkan oleh sebuah pertemuan yang dipisahkan tanpa sebuah ketetapan. Pertemuan yang dibarengi sebuah senyuman namun diakhiri tanpa di dampingi sebuah kata. Juga, pertemuan yang diawali tatap dan ditinggalkan dengan ratap.

Hahahaha....
Rindu, kau dimana? Masihkah menetap?


Rindu :

Hatiku hancur.
Barangkali, Semesta memberi kita ruang. Yaitu terang yang kian menjadi kelam. Sementara dalam waktu itu, kita tidak menyadari bahwa kisah akan berakhir, dan entah kapan kah itu, hingga hanya air mata yang terlihat. Sesak di dadamu pun belum selesai, saat semesta mempertemukan kamu kembali dengannya, saat terang hampir menyapa dan kamu sedang bersiap menyambutnya. Tapi sayang, itu seperti membuatmu berada dalam lingkaran setan. Kamu hanya akan semakin tersakiti. Seandainya malam tetaplah malam, atau terang tak tergantikan malam, mungkin semua akan tetap sama. Namun, perlu kamu tahu dunia tak seperti yang kita harap. Cuaca berubah tanpa kamu sadari. Kadang hujan tak didahului mendung. Kadang terang tak selalu terlihat matahari. Kamu pun paham bahwa justru terkadang gelap tetiba datang tanpa tanda dari Semesta. Lantas, masihkah kamu bertahan pada semuanya, malam...

Malam :

Sudahlah.
Jangan lagi rindu.
Aku tak mau ada yang terluka. 

Dulu memang benar. Apapun akan aku lakukan untuk kita. Namun, ternyata aku salah selama ini. Aku pikir bahwa cinta adalah penerimaan ternyata aku salah, cinta adalah pilihan. Kamu memilih pilihan. Kamu menetap pada satu pilihan tanpa menunjukkan padaku arah jalan pulang. Tanpa menunjukkan bagaimana caranya melupakan, bagaimana caranya menutup tanpa menyentuh, dan bagaimana cara menghapus kenangan tanpa mengingatnya.

Tahukah kamu bagaimana aku berjuang mencari jalan pulang? Tahukah kamu aku meratap, berteriak, dan menjerit namun tak satupun yang mendengar. Betapa teganya kegelapan menemani tanpa secercah cahaya. Tahukah kamu bagaimana aku mencari cara untuk melupa sebuah kenangan yang kita sengaja buat mengira bahwa akan kekal selamanya. Dan apakah kamu tahu aku terus menggila untuk melupakan, tapi semakin aku berusaha semakin aku terluka dan kenangan itu semakin menyeruak membuat aku terpuruk dan hancur.

Sakitnya membekas hingga pagi menjelang.
Tapi hanya ada kata rindu.

_salam pada rindu_
_malam yang kau tunggu_
_Kisah yang kau tutup_



*Er/8/5/20

Senin, 04 Mei 2020

Selalu Ada Awal_

Tangan bertaut
Jari jemari bercengkrama dalam sunyi
Seuntai kata demi kata terlantun
Bibir mungilnya menderu dalam khusuk
Rintik hujan di pelupuk matanya berjatuhan
Itulah ranah seonggok tubuh mengadu
Dalam pekat
Gelap
Hidup yang menerkam
Ia menyerah dalam doa
Tangisnya pecah. Tatkala batin dan pikirnya bertemu dalam kisah kegagalannya
Ia meringis memohon ampun pada nista
Salah
Dan, noda hidup yang menghiasi

Selalu ada awal,,,

Saat hatimu mengadu
Batinmu merayu
Dan pikirmu meminta
Semesta akan memberi ampunan.

Kembalilah...
Jalan setapak demi setapak memang menyakitkan
Berujung nikmat kan kau dapat
Menyerah di pusara kehidupan bukanlah semestinya
Kau,
Lebih dari pemenang

Memulai baru_

Senin, 24 Februari 2020

Hidupku adalah belas kasih, Matiku adalah anugerah.

Jika dipikir-pikir, apa guna hidup tanpa mengenal "apa artinya hidup". Bahkan, kematian adalah akhir sesungguhnya. Juga, mati adalah kesendirian. Lalu, pertanyaan dalam diri, "seberapa siapkah aku untuk itu? Bisakah aku mempertanggungjawabkan semua anugerah yang sudah aku terima dari-Nya? Sedangkan aku selagi hidup sibuk dan asik mencari kesenangan diri. Terlalu kurang seluruh anugerah yang ada hingga diri terus merasa tersiksa dan haus semakin haus akan kesenangan semu, hingga lupa diri dan waktu, tetiba akhir usia menutup". Aku terkejut.

Melebihi seperempat abad, aku sudah menjelajahi bagianku. Sebenarnya bukan waktu singkat. Terlebih ketika melaluinya tahap demi tahap, kataku dalam hati "TANPA PERTOLONGAN TUHAN, AKU TIDAK MUNGKIN MAMPU MELEWATINYA". Terlalu berat rasanya ketika cobaan yang diizinkan-Nya menimpa. Tanpa hati yang kuat pada ketegaran akan percaya suatu saat kelak hidup akan berubah, bahwa Tuhan tidak sedang tidur, bahwa hidupku adalah anugerah, bahwa pula tidakkan mungkin Tuhan mengizinkan aku hadir di muka bumi ini tanpa arti, dan tidak hanya untuk menderita.

Perih.
Luka yang tidak akan pernah pulih jika aku tidak melihat bahwa kasih-Nya yang benar-benar memulihkan semua lukaku. Luka yang diberi tanpa sengaja dalam keluarga yang hancur, luka pada masa perjuangan seorang diri, luka pada masa kegagalan demi kegagalan. Bahkan, terakhir kali ketika apa yang didoakan setulus hati, apa yang diinginkan demi kebaikan pada Sang Pencipta (pikirku) menjadi tak pernah berwujud. Kekecewaan demi kekecewaan membuat beberapa waktu diri menjadi takut. Menjadikan kekecewaan sebagai amarah yang tak terluapkan. "Ya, aku pernah marah pada Tuhan". Ya, aku kecewa. Cukup sangat kecewa. Hingga berbulan-bulan aku hampir tidak menikmati waktu teduh bersama-Nya lagi. Aku hampir lupa bagaimana caranya berdoa dari kesungguhan. Hanya ada rasa kecewa, marah berbalut pasrah. Kemudian, kekecewaan demi kekecewaan aku lampiaskan pada kepasrahan memilih tanpa berpikir dan tanpa benar-benar mendoakannya, meminta petunjuk-Nya pada pilihan hidup. Beberapa kali juga Tuhan membiarkan memberikan pembelajaran, akibatnya diri harus menanggung kesalahan itu dengan kecewa yang lebih dan tangis yang tak terhitung. Aku tahu rasanya hancur. Semenjak itu aku akrab dengan hati yang patah. Bahkan, aku sudah merasa bagianku adalah selalu salah. Pikiran yang seharusnya tidak pernah ada dalam diri.

Kali ini, aku berpikir "apa hidupku?". Jika aku terlalu memusingkan diri pada duniawi ini, bukankah bagianku hanya kesendirian dalam kematian kelak? Bukankah kelak Tuhan tidak akan mempertanyaakan mengenai segala yang aku pusingkan ini? Wahai diri, mawas dirilah selalu. Wahai diri, jalanilah hidupmu tanpa harus berpikir akan hari esok. "Kesusahan sehari cukuplah sehari". Wahai diri ada Tuhan yang senantiasa mencintaimu meski dunia bahkan meninggalkan dan mengecewakanmu, nikmatilah kasih-Nya yang hakiki. Ia memanggilmu begitu lembut. Datanglah dan minumlah air hidup dari-Nya yang akan menyejukkan batinmu.

Bertahanlah_

Senin, 13 Januari 2020

RPP 1 LEMBAR_TEKS EKSPLANASI


RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)
No. KD 3.9-4.9/VIII/2020

Satuan Pendidikan    : SMP Kalam Kudus Pekanbaru
Mata Pelajaran          : Bahasa Indonesia
Kelas / Semester       : VIII / 2
Materi Pokok            : Teks Eksplanasi (Mengidentifikasi informasi isi teks)
Alokasi Waktu          : 1 pertemuan (3 JP)



1.     Tujuan Pembelajaran
-        Peserta didik dapat mengidentifikasi informasi dari teks eksplanasi berupa paparan kejadian suatu fenomena alam yang diperdengarkan atau dibaca.

2.     Langkah-Langkah Kegiatan Pembelajaran
2.1  Alat dan Bahan
2.1.1. Alat             : Proyekor, Laptop,
2.1.2. Bahan          : Video “Sebab Akibat Banjir”
2.1.3. Pertanyaan    : Apa sajakah ciri teks ekplanasi tentang fenomena alam yang dibaca/didengar?

2.2  Siswa berlatih praktik/mengerjakan tugas halaman buku 130 dan 132.

2.3  Siswa mempresentasikan hasil kerja kelompok/individu tentang menentukan ciri teks ekplanasi berdasarkan video fenomena alam “banjir” yang dibaca/didengar.

2.4  Menyimpulkan dan Penilaian Pembelajaran
2.4.1. Kesimpulan Pembelajaran
Peserta didik dan guru menyimpulkan materi pada tatap muka secara bersama-sama.

2.4.2. Penilaian (Terlampir)
1.   Sikap                  : Pengamatan (Jurnal)
2.   Pengetahuan      : Penugasan
3.   Keterampilan     : Kinerja proses





                                                                                                            Pekanbaru, Januari 2020
Mengetahui                                                                                      Guru Mata Pelajaran/Kelas
Kepala Sekolah


Elysabet Jainem, S.PAK.                                                                   Ernimawati Halawa, S.Pd.




Rabu, 08 Januari 2020

Esensi sebuah 'DOA'

Apa sih 'doa'?
Jika ditinjau dari katanya, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), doa adalah permohonan (harapan, permintaan, pujian) kepada Tuhan. Sedangkan, jika dilihat dari sudut pandang orang Kristen, maka doa adalah nafas hidup orang percaya. Lalu, kira-kira, apa itu doa sebagai permohonan kepada Tuhan maupun nafas hidup orang percaya? 

Sebagai sebuah permohonan, maka sudah pasti berdasarkan katanya, dapat diartikan bahwa doa selalu berisikan permohonan yang ditujukan kepada Tuhan. Sering sekali jika diamati pada semua manusia, akan banyak versi berdoa (yang isinya permohonan) ditujukan kepada Tuhan (sesuai kepercayaan masing-masing). Setiap lantunan doa itu berisikan harapan/pinta yang sedang disampaikan guna sebagai bentuk keinginan kepada Tuhan dan harapannya setiap manusia yang memohon, Tuhan akan kabulkan. 

Di sisi lain, sering terdengar bahwa doa adalah nafas hidup orang percaya. Mengapa dikatakan sebagai nafas hidup? Tentunya hal ini bukan di dasarkan pada sembarang makna. Nafas hidup artinya bahwa setiap orang percaya (Kristen) mengaku bahwa doa adalah seumpama bernafas. Manusia tanpa bernafas maka akan meninggal, dikarenakan nafas merupakan satu-satunya tanda bahwa manusia itu hidup dan dapat melangsungkan kehidupannya. Menurut setiap orang percaya, doa begitu sangat penting dalam kehidupan.

Doa adalah dasar dalam kehidupan. 
Sebagai makhluk ciptaan dan sebagai pribadi yang percaya, maka doa begitu sangat penting di dalam hidup. Di dalam melangsungkan kehidupannya, manusia tidak terlepas dari pada kekuatan spiritual, yang bagi orang percaya, kekuatan itu sumbernya adalah berasal dari Tuhan. Yesus yang dalam rupa manusia Tuhan menebus manusia dengan menjadi manusia dalam rupa-Nya. 

Kehidupan doa sangatlah penting. Penting sekali memulai hari dengan doa. Jika kehidupan ini begitu penting dan dianugerahkan Tuhan untuk menguasainya, maka bukankah sangat perlu memohon kekuatan dan hikmat dalam menjalani juga melakukannya setiap hari? Nah, berdasarkan hal itu, ada beberapa poin penjabaran mengapa doa sangat penting. Ada beberapa alasan, yakni:

1. Sebagai ucapan syukur
Sebagai manusia yang dianugerahkan kehidupan yang begitu baik dan diberikan kesempatan hidup sampai detik ini, maka sepatutnya ucapan syukur selalu kita berikan kepada Tuhan setiap waktu. Ucapan syukur itu kita berikan dalam doa-doa kita. 

2. Sarana komunikasi/kejujuran dari hati/meluapkan perasaan kepada Tuhan
Tidak dipungkiri lagi, doa merupakan komunikasi pribadi seseorang kepada Tuhan penciptanya. Kita akan sangat leluasa mencurahkan isi hati dan pikiran bahkan keinginan dan kekuatiran kita tanpa harus merasa dibatasi/terhakimi. Di dalam hidup kita, kita tidak akan pernah merasa ada orang lain yang semaksimal mungkin sebaik Tuhan kita yang akan mendengarkan kita kapanpun kita inginkan. Mengasikkan bukan?

3. Penenang hati
Ketika kita berdoa ketenangan akan kita rasakan di dalam hati. Ketika berdoa kita seperti melepaskan berbagai perasaan kepada Tuhan tanpa meragukan Tuhan, bahwa IA akan menuduh kita dan menyalahkan kita. Ketika semua kita lepaskan kepada Tuhan, kita curahkan sepenuhnya, maka hati kita akan merasa tenang dan lepas. Terlebih lagi jika perasaan kita benar-benar kita curahkan kepada-Nya dan menyerahkannya untuk Tuhan tolong.

4. Sebagai pemulihan jiwa
Dengan berdoa, secara tidak langsung kita akan dikuatkan dan akan mengalami pemulihan. Pemulihan akan segala luka yang kita rasakan. Kita akan belajar menyampaikan segala pinta, doa dan luka bahkan bahagia kepada Tuhan. Dengan demikian kita akan melepaskan pengampunan akan sesama, belajar untuk menurunkan ego, dan semakin bertumbuh dalam karakter kita untuk semakin dikuatkan dan berubah menjadi lebih baik ke depannya.

Teman-teman...
Melihat itu, ternyata DOA itu sangat menyenangkan dan bermanfaat. Let's try it. Coba aja dulu. 
Nikmati aja dulu.
Jika kamu masih suka malas-malas, atau masih menyimpan kekecewaan hingga membuat kamu malas berdoa dan masih marah sama Tuhan. Coba aja dulu...

Coba dan mulai hingga kamu tekun berdoa. 
Jadikanlah doa sebagai gaya hidup.
Jadikanlah Tuhan sebagai satu-satunya bagian dalam hidup kamu sebagai tempat curhat, tempat mengadu bahagia dan sedih mu, tempat percaya meski belum melihat kenyataan akan pekerjaan tangan Tuhan dalam hidup kamu.

_ayo berdoa
_aku mengasihi mu saudara di dalam Tuhan.
_GOD bless 😇🙏

Minggu, 01 Desember 2019

Sekuat hati_

Sesak.
Rasa berkecamuk di dalam dada. Pikir tak bisa diatur. Memang benar adanya, sekuat hatimu melawan bagaimana bisa kamu mengabaikannya? Sekuat batinmu menepis, bagaimana bisa rindu engkau tolak? Jika bayangnya selalu mengintaimu setiap waktu. Kita tak pernah salah. Hanya terkadang benar bahwa rindu tak pernah tahu diri, ia dengan begitu saja tiba tanpa sapa. Menjamu diri sendiri dalam sepinya waktu. Entah mengapa kenyataan membawa takdir pada suratan yang tak diinginkan. Menepisnya berulang kali hanya semakin melukai hati. Tak sanggup. Hanya ada kata rindu meski jauhnya jarak membentang. Wajah tersenyum namun hati menangis. Tidak mungkin melawan kenangan.




Razzaku_

Kamis, 21 November 2019

Cinta, Kita, dan Tinta_

Rona merah di wajahnya masih saja kental di ingatanku. Kala waktu masih milikku, dan seluruh kenyataan masih berpihak pada kesukaanku. Entah sudah berapa lama aku membayangkan wajahnya yang meneduhkan itu. Mungkin sudah beberapa menit, atau sudah beberapa jam lebih tepatnya aku di sini asik membuka kembali lembaran tentang dia yang sudah tidak sejalan denganku lagi. Sudah sangat lama. Ah, kebiasaan burukku masih saja aku pelihara. Sebentar sadar, beberapa waktu lagi aku masih mau mengingat kenyataan dulu itu. Getir memang.

Tintaku sudah hampir habis. Mataku mulai sembab tersebab air di pelupuk mata masih saja terus berderai tak hentinya. Setiap ingatan tentang dia hanya ada air mata pada setiap kilasnya. Inilah hal yang paling tak aku suka, juga paling aku rindukan. Tak suka jika kilas balik tentang dia dan kesakitan pada hati mengingat takdir tak memihak pada kami, terus bergulir. Di sisi lain, sejujurnya jauh pada lubuk hati, hanya melalui kenangan itulah diri bisa menemukan kembali sepenggal kisah dan bertatap mesra pada setiap kenangan lama itu. Ia, dia. Air mataku semakin membanjiri catatan kecilku yang tepat berada di bawah wajahku. Aku memang sengaja mengundangnya kembali hadir. Segetir itulah kenangan yang masih hidup sampai kini. Mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu rahasia itu hingga masa menutup waktunya untukku.

Setahun sudah. Aku kini bahagia pada sebuah sisi kehidupan yang penuh teka-teki ini. Kehadiran dia yang dahulu tak pernah aku doakan, yang tak pernah aku harapkan, kini telah mengubah segalanya. Dia adalah sosok yang paling aku butuhkan dan bukan yang aku inginkan. Mungkin itulah yang Tuhan kisahkan padaku.

Aku kembali goreskan sedikit demi sedikit pada setiap detik yang berlalu. Maju tak pernah menatap mundur. Beberapa detik kemudian berhenti di tempat untuk sekejap menarik napas panjang sebagai kekuatan di beberapa langkah ke depan, saat mata terbuka pada masa depan yang sudah di pelupuk mata. Ia menatap ke arah yang sama. Di depan sana. Ia menanti dengan begitu manis, tanpa spasi dan tanpa jarak pada kata. Hanya ada kedekatan yang berusaha untuk di rajut bersama. Ya. Dia yang membawa tangan beriringan belajar bersama. Dia yang kini menjamah wajah yang temaram dan mengganti luka menjadi suka. Dia yang dalam segala kekurangan nya membanjiri diri dengan air mata keberjuangan. Dia yang pada salam menjelma rumah sepanjang hayat.

"Kita"memang sedekat itu setelah menjadi jauh bahkan sangat jauh dengan tinta yang menggores kata "pernah", lalu menghadirkan kata "cinta" dalam perjalanan panjang. Langkah takkan pernah kau tahu lelahnya. Namun, jika masa membawamu berhenti dan memaksamu berhenti pula, maka berhentilah sejenak, sebelum kamu melangkahkan kaki maju dan takkan pernah mundur mengenang masa terburuk.

_E




Minggu, 17 November 2019

Rindu yang Salah_

Mahligai dari air mata.

Sejujurnya, langit tetap masih gelap. Bahkan pandanganku masih menaruh harap pada luasnya wajah bumi. Hatiku masih di sana. Tertinggal pada sebuah titik yang jauh tak tersentuh, bahkan tak terlihat oleh banyaknya mata. Jauh, di dasar kedalaman relung kasih. Masih tertinggal di titik yang sama. Masih terkekang oleh pusaran rasa yang telah menggunung begitu lama. Yang masih tertulis indah dalam goresan sebuah nama. Nama yang hanya akan tersimpan selamanya. Nama yang hanya akan tetap menjadi pengingat pada panjangnya lantunan doa yang menggema hingga ketetapan berkata lain. Semerbak wanginya masih tertinggal pada rasa yang masih ada. Masih....

Salamku terkadang hanya sebuah kata klise yang tak bergema, tak jua terdengar bahkan meski hanya sekadar gemingnya. Tak jua berbunyi.
Rindu.
Ya, aku rindu.
Merindukan senja yang pernah ku tatap dalam lekat yang tak bertepi.
Sangat merindukan senja yang pernah ku tunggu. Hingga penantianku berakhir pada malam yang gelap dan pekat. Tak berwajah. Hilang di telan kesunyian. Kekosongan hati dalam tatap sendu pernah ku lewati hanya untuk menjaga harapan yang pernah dan terus ku jaga, "mungkin akan datang" atau "mungkin, akan kembali". Ya. Sampai pada saat aku menyadari bahwa penantian ku di kala senja telah berlalu begitu lama. Tak ada kabar. Tak ada tanda. Tak ada pula hiruk sapa yang menenangkan. Hanya ada harap, cemas, dan kesedihan. Mungkin aku salah dalam menduga. Mungkin aku terlalu berharap. Mungkin aku lupa akan waktu itu, bahwasanya aku hanyalah seorang diri menanti senja, lalu lupa bahwa malam telah larut. Tangisku pecah...

Beberapa waktu telah menetap.
Rinduku memuncak.
Entah mengapa, malam-malam berlalu begitu terasa. Rindu seakan menakutkan bagiku. Berulang kali meneguhkan hati. Berulang kali rasa menyesal hadir. Semakin aku tatap masa yang lalu, semakin bayang yang merobek hati memburuku tanpa spasi. Ah, rinduku ini salah. Rindu yang salah. Akankah engkau cepat berakhir? Aku tak sanggup menahan setiap sesaknya menggelegar di dalam hati dan ingatan. Bahkan, untuk bisa menatapmu sejauh apapun takkan pernah bisa ku lakukan. Untuk mendengar suara yang tidak disengajapun aku tak lagi mampu. Mustahil.
Mustahil terjadi.

Doa-doaku kadang tak lagi aku percaya.
Seperti yakin namun ragu. Terkadang mampu namun jatuh. Jatuh hingga luka telah menetap di setiap bagian dari tubuhku. Membekas tak menghilang. Hanya untuk menantimu. Untuk meyakinkan hati bahwa rinduku ini tak salah alamat.

Sang Khalik, aku masih menunggu rahasia-Nya. Penasaranku membelenggu, apakah rahasia di balik ketetapan yang tak di restui ini. Rahasia di balik takdir yang tak berjodoh ini. Juga, jalan hidup yang menetapkan hal yang tak pernah terpikir. Masih mengunggu.
Di tempat ini sembari menahan sesaknya rindu yang salah. Sembari berharap, waktu kan menjawab pikir yang tak berdaya.
Rinduku membuncah.
Dan, mampuslah aku di koyak Rindu_

E_

Minggu, 25 Agustus 2019

Mengulang doa yang sama_

Sewindu telah berlalu.
Berpuluh malam telah meninggalkan jejak-jejak hitamnya yang tak beraturan hingga membekas pada sebentuk hati yang ia tapaki. Belasan bulan tak lagi terdengar hiruknya, hingga ketika rembulan malam menghiasi langit berbintang itu, harmoni yang sama kembali terdengar di telinga, bahkan aroma yang semerbak itu kembali merekah pada sepanjang sudut pada dinding hati. Hingga saat jejak pertama rembulan menghiasi langit malam itu, tampaklah sebuah harapan baru yang entah sampai kapan akan menetap. Mungkin saja selamanya, ataukah bisa saja hanya untuk kata ''sekadar" singgah.

Hatinya sesungguhnya tak lagi sekuat dulu. Ada harap dan cemas pada setiap kata yang terlontar dari bibir mungilnya. Ada genangan air mata yang setiap waktu siap untuk terjatuh mengurai penyesalan dan ketakutan. Ada sebongkah batu hitam pada dinding hati yang masih menunggu untuk dihempaskan. Namun, kenyataan batu itu tetap di sana, tatkala kenyataan yang terjadi memang tak sepaham dengan apa isi hati.

Masih tentang rahasia Sang Khalik.
Kerikil-kerikil tajam itu harus tetap ia jalani. Sungguh, ia pun tak sanggup. Banyak kata yang hendak ia tangisi pada waktu. "Akankah berakhir?". Bilakah masa itu mendapati dirinya tetap kuat dan tegar menopang batu besar pada hadapnya yang terkadang memaksanya mundur dan berhenti, karena ia tahu ia takkan sanggup. Sungguh, ia tak sanggup.

Janjinya, ia akan memberikan sekuntum mawar merah pertanda hati yang merona dan merekah pada dia yang berjuang menghancurkan penghalang jalannya. Batu besar itu. Doanya, seumur hidup memberikan masa dan kasih merah jambu pada dia yang hadir pada akhir perjuangannya. Itu goresan hati yang ia taruhkan pada janji yang ia lekatkan pada hati kecilnya. Ya. Itu. Dia yang sanggup membawanya keluar dari ketidakmampuannya. Dia yang sanggup hadir memegang tangannya dan berjalan menapaki jalan setapak berdua. Ia. Dia.

_August-Dream_

Senin, 08 Juli 2019

Usai_

Bara yang tak bisa kugenggam dan harus kulepas.
Duri yang ingin kumiliki namun tak mungkin bisa ku genggam.
Rembulan dan bintang yang terlihat, namun tak bisa kumiliki.

Demikianlah kisah dan ingin pada hatiku kepadamu.

Perlahan waktu memutar, seakan dengan begitu lembutnya ia menenggelamkan kita pada masa-masa yang melayang. Pupus kini semua doa-doa yang aku untaikan berjam-jam dan puluh kali itu. Sepersekian waktu yang hanyut bersama air mata yang mengisahkan betapa tak sanggupnya diri membendung emosi jiwa yang tak terkatakan dan tak terarahkan pada siapa hendak diri mengadu? pada siapa hendak cerita ini aku bagikan? akankah sang rembulan yang jauh tak tersentuh itu mendengarkan dan melihat betapa diri hancur sehancur-hancurnya? mata tak sanggup menguraikan lagi kisah yang hendak ia ceritakan pada sepinya malam ini. Batin menjerit, "mengapakah harus terjadi?! mengapakah begitu sulit?! oh... Tuhan...!".

Benar bahwa tak semua isi dunia akan bisa engkau genggam. Termasuk pada kisah yang tak pernah bisa kudapati berakhir bahagia ini. Malam dimana terakhir kalinya aku mendapati namamu terucap pada kata yang entah sudah menyerupai apa. Pada tangis yang entah sudah menyerupai apa. Juga, pada harap yang sudah membeku dan lenyap ditelan beribu kekecewaan. Dibungkam oleh jutaan tangisan penyesalan. Mengapakah harus bertemu? Mengapakah harus ada luka pada harap yang telah dipatahkan?!.

Menyerah dan tidak lagi mampu berjuang. Itulah diriku kini. Kudapati bahwa tumpukan penyesalan dan ketidakmungkinan ini membuat diri pasrah dan iklas. Mungkin memang sudah jalan kehidupan, bahwa meski kita bersikukuh, tapi jika takdir tak berpihak, maka semua akan kita dapati menutup jalan pada kisah.

Maaf,,,
Mungkin tak perlu lagi.
Aku berhenti mengharapkan semua ingin yang tak bisa menjadi nyata.
Seperti ilusi yang tak pernah berhenti menyelimuti pikir dan jiwa.

Maaf,,,
Maaf...
Maaf................................................!!!

Aku pergi.



Juli_Kesedihanku.




Selasa, 21 Mei 2019

Semeter persegi_ (Cerpen)

Di bawah langit yang sama*

Kilasan potret segaris senyummu dengan tatap sendu yang selalu saja kau lepas pada dunia lainmu tetiba terbesit begitu saja. Aku tak memintanya. Sungguh. Ia muncul mendadak tak pernah menyapa dan tak mengadu maaf, hanya sesuka hatinya. Membuat aku memutar kembali potret-potret burammu yang telah lama aku pendam, kini menguak keluar menyembur berlarian dari dalam otakku. Ah. Selalu saja begitu.

Di kursi yang sama.
Sebut saja aku Erin. Nama klasik yang pernah menghias ponselmu sebagai kontak pertamamu yang paling kau nantikan notifikasinya. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Jauh sebelum pada akhirnya kau berlari perlahan lalu melaju dengan kencangnya meninggalkan jejak pada duniaku dan kenanganku. Jauh sebelum pada akhirnya beberapa waktu kemudian kau menghilang tak berkabar sama sekali. Aku pun enggan dan acuh pada kabarmu. Kau aku biarkan pergi membawa rasa yang pernah kau hadirkan. Karena, begitulah aku. Meski terkadang aku hanya berpura tegar pada nyatanya tapi logikaku lebih jauh melaju meninggalkan rasaku, meski pada jalan selalu beradu kekuatan. Tapi, aku pastikan logika ku akan menang mendahului rasaku. Jadi, tenang saja. Aku ahli dalam mengiklaskan.

Kembali pada kursi di sudut kafe.
Kembali pada topik mengapa aku tiba-tiba teringat pada sosokmu di tengah kesibukan dan kesendirianku menikmati hidup dengan secangkir jus Alpukat yang mulai mendingin. Aku menatapnya lekat meski sesekali berpura-pura tidak menghiraukannya. Tapi, otakku terus saja berputar akan hal itu. Ya. Sebuah tulisan di cangkir jus Alpukat ku membuatku harus mengingat mu. Sebuah nama yang sudah lama aku lupakan. Sebuah inisial yang sangat ingin kuhapuskan pada setiap jejak hidupku. Tapi gagal kali ini. 

"E_H"

Bagi orang lain ini bukan hal penting. Bahkan entah tak pernah dihiraukan sama sekali. Namun bagiku, dua huruf ini memiliki makna tersendiri dengan kisahnya yang menggunung pada kalbu. Entahkah  Tuhan menakdirkan sore ini kedua huruf ini aku harus baca pada gelas yang entah mengapa menjadi pilihan pelayan cafe ini untuk disuguhkan kepadaku. Kadang, pikirku takdir Tuhan itu semudah dan sesimpel itu. Sangat sederhana dengan cara yang sangat sederhana dan di luar nalar.

Mataku terus tertuju pada cangkir itu. Entah bagaimana kabarnya kini. Terakhir aku mengetahui bahwa dia sudah menikah dengan seseorang gadis pilihan keluarganya. Kala itu aku tak menangis. Saat mendengar kabar itu dan melihat potret dirinya tersenyum manis dengan gadis yang kini menjadi istrinya, aku hanya tersenyum segaris tawa dengan hati yang entah mengapa terasa kosong. Aku masih ingat kala gambar dirinya bahagia dengan pilihannya itu, pada suatu sore saat tetiba aku teringat akan hal itu, aku menangis dan tak bersuara. Hanya air mataku tak dapat ku bendung. Membanjiri wajahku dengan tangan yang tak henti-hentinya menyeka. Terasa di hatiku ada kesakitan yang tak terkatakan. Ah. Takdir Tuhan begitu penuh kemisteriusan. Di dalam keindahan kasih-Nya ada duka yang harus dijalani untuk suatu bahagia lain yang sudah menanti.

Aku membolak-balik gelas itu kemudian. 
Jus tinggal 1/4 cangkir lagi. Aku harus segera menghabiskannya dan bergegas pergi beranjak dari cafe itu. Pada hitungan detik, aku menyeruput jus itu dengan semangat dan habis. Yes. Saatnya pergi melupakan kenangan dan nama yang sejenak hadir itu. Aku bergegas berangkat dan meninggalkan tempat itu. Bukan hanya tempat itu. Kini inisial dan kenangan tentang dia pun sudah berlalu. Kenangan itu hanya akan menjadi bagian dalam hidup yang akan terus hadir, namun tak lagi menggangguku. Ia seperti sebuah inisial yang akan tetap menjadi inisial selamanya. Kini, masa yang lebih indah dan perjuangan yang semakin kuat dibutuhkan dan menanti. Pun aku yang kini masih sendiri menunggu takdir itu dipertemukan. Dan, bukan hanya sebagai inisial. Kelak akan menjadi nama yang terus menjadi diri.

*The End_

Spasi_

Senja yang kau tunggu_

Pada sepertiga malam, masih saja kau genggam harap di pelupuk mata.

Sedangkan,

Di ujung jari-jemari kau juga masih berkelana mencari kata.
Seperti biasa, keengganan menjamu setiap kata yang hampir menyeruak dari relung kalbu yang telah menggunung hampir meledak dalam benteng pertahananmu.

 "Ya atau tidak".

Pada akhirnya malam tetaplah kelabu dan hening tak berbunyi.

Gelap beralih terang lalu menyambut senja. Pada caranya, selalu menduga.
Pada kisahnya tak pernah bersambut. Karena spasi menjadi pemisah pada kata.