Senin, 24 Februari 2020

Hidupku adalah belas kasih, Matiku adalah anugerah.

Jika dipikir-pikir, apa guna hidup tanpa mengenal "apa artinya hidup". Bahkan, kematian adalah akhir sesungguhnya. Juga, mati adalah kesendirian. Lalu, pertanyaan dalam diri, "seberapa siapkah aku untuk itu? Bisakah aku mempertanggungjawabkan semua anugerah yang sudah aku terima dari-Nya? Sedangkan aku selagi hidup sibuk dan asik mencari kesenangan diri. Terlalu kurang seluruh anugerah yang ada hingga diri terus merasa tersiksa dan haus semakin haus akan kesenangan semu, hingga lupa diri dan waktu, tetiba akhir usia menutup". Aku terkejut.

Melebihi seperempat abad, aku sudah menjelajahi bagianku. Sebenarnya bukan waktu singkat. Terlebih ketika melaluinya tahap demi tahap, kataku dalam hati "TANPA PERTOLONGAN TUHAN, AKU TIDAK MUNGKIN MAMPU MELEWATINYA". Terlalu berat rasanya ketika cobaan yang diizinkan-Nya menimpa. Tanpa hati yang kuat pada ketegaran akan percaya suatu saat kelak hidup akan berubah, bahwa Tuhan tidak sedang tidur, bahwa hidupku adalah anugerah, bahwa pula tidakkan mungkin Tuhan mengizinkan aku hadir di muka bumi ini tanpa arti, dan tidak hanya untuk menderita.

Perih.
Luka yang tidak akan pernah pulih jika aku tidak melihat bahwa kasih-Nya yang benar-benar memulihkan semua lukaku. Luka yang diberi tanpa sengaja dalam keluarga yang hancur, luka pada masa perjuangan seorang diri, luka pada masa kegagalan demi kegagalan. Bahkan, terakhir kali ketika apa yang didoakan setulus hati, apa yang diinginkan demi kebaikan pada Sang Pencipta (pikirku) menjadi tak pernah berwujud. Kekecewaan demi kekecewaan membuat beberapa waktu diri menjadi takut. Menjadikan kekecewaan sebagai amarah yang tak terluapkan. "Ya, aku pernah marah pada Tuhan". Ya, aku kecewa. Cukup sangat kecewa. Hingga berbulan-bulan aku hampir tidak menikmati waktu teduh bersama-Nya lagi. Aku hampir lupa bagaimana caranya berdoa dari kesungguhan. Hanya ada rasa kecewa, marah berbalut pasrah. Kemudian, kekecewaan demi kekecewaan aku lampiaskan pada kepasrahan memilih tanpa berpikir dan tanpa benar-benar mendoakannya, meminta petunjuk-Nya pada pilihan hidup. Beberapa kali juga Tuhan membiarkan memberikan pembelajaran, akibatnya diri harus menanggung kesalahan itu dengan kecewa yang lebih dan tangis yang tak terhitung. Aku tahu rasanya hancur. Semenjak itu aku akrab dengan hati yang patah. Bahkan, aku sudah merasa bagianku adalah selalu salah. Pikiran yang seharusnya tidak pernah ada dalam diri.

Kali ini, aku berpikir "apa hidupku?". Jika aku terlalu memusingkan diri pada duniawi ini, bukankah bagianku hanya kesendirian dalam kematian kelak? Bukankah kelak Tuhan tidak akan mempertanyaakan mengenai segala yang aku pusingkan ini? Wahai diri, mawas dirilah selalu. Wahai diri, jalanilah hidupmu tanpa harus berpikir akan hari esok. "Kesusahan sehari cukuplah sehari". Wahai diri ada Tuhan yang senantiasa mencintaimu meski dunia bahkan meninggalkan dan mengecewakanmu, nikmatilah kasih-Nya yang hakiki. Ia memanggilmu begitu lembut. Datanglah dan minumlah air hidup dari-Nya yang akan menyejukkan batinmu.

Bertahanlah_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar