Jumat, 08 Mei 2020

Dialog Malam & Rindu_ (Cerpen)

Rindu :

Malam, ini menyiksa. Tiba mu begitu cepat. Mentari baru berarak naik menyatakan hangatnya kasih yang luas tak berbatas. Namun, senja tetiba menghampiri dan engkau pun beranjak menguasai, menenggelamkan wajah dan memupuk rasa kuatir. Engkau menyibakkan suka menjadi luka, luka yang terlalu dalam dan kini ia kembali hadir dengan hadirmu ia beriring.

Malam, goreskanlah satu kata yang mungkin bisa memastikan perihal rasa. Memastikan bahwa semua akan menjadi akan lebih baik, membahagiakan, dan akan mempertemukan. Gerak langkahmu menutup mata hati, menyesakkan dada, membanjiri diri dengan air mata. Karena aku _Rindu_.




Malam :

Rindu. Aku berpura-pura tegar pada langkah. Wajah menatap tajam, dan perihal mata cerah dengan senyum lepasku bukanlah sungguhan. Aku memilih terlihat bahagia hanya untuk tidak menutup masa dan menaruh luka lalu pergi. Aku memburu waktu untuk menjamu diri agar engkaupun tahu bahwa menutup luka dengan paksa adalah suatu kesakitan dan keputusan yang keras pada diri. Bahkan lamunan hanya akan terasa menyakitkan, sekalipun lamunan itu mengisahkan betapa bahagianya aku dengan keadaan saat ini, Rindu.


Aku selalu menggoreskan perihal namamu dalam setiap perjalananku. Entahkah terkadang dalam langkah, dalam rupa yang berwujud, bahkan terkadang dalam senyuman yang aku beri. Namamu memang senyata itu dalam diri, lekas membekas namun sakit untuk dilepas.

Apa???
Lupakan???!!

Semudah itu mungkin terdengar. Tapi, bukankah kamupun paham, bahwa kebencian didasarkan oleh sebuah pertemuan yang dipisahkan tanpa sebuah ketetapan. Pertemuan yang dibarengi sebuah senyuman namun diakhiri tanpa di dampingi sebuah kata. Juga, pertemuan yang diawali tatap dan ditinggalkan dengan ratap.

Hahahaha....
Rindu, kau dimana? Masihkah menetap?


Rindu :

Hatiku hancur.
Barangkali, Semesta memberi kita ruang. Yaitu terang yang kian menjadi kelam. Sementara dalam waktu itu, kita tidak menyadari bahwa kisah akan berakhir, dan entah kapan kah itu, hingga hanya air mata yang terlihat. Sesak di dadamu pun belum selesai, saat semesta mempertemukan kamu kembali dengannya, saat terang hampir menyapa dan kamu sedang bersiap menyambutnya. Tapi sayang, itu seperti membuatmu berada dalam lingkaran setan. Kamu hanya akan semakin tersakiti. Seandainya malam tetaplah malam, atau terang tak tergantikan malam, mungkin semua akan tetap sama. Namun, perlu kamu tahu dunia tak seperti yang kita harap. Cuaca berubah tanpa kamu sadari. Kadang hujan tak didahului mendung. Kadang terang tak selalu terlihat matahari. Kamu pun paham bahwa justru terkadang gelap tetiba datang tanpa tanda dari Semesta. Lantas, masihkah kamu bertahan pada semuanya, malam...

Malam :

Sudahlah.
Jangan lagi rindu.
Aku tak mau ada yang terluka. 

Dulu memang benar. Apapun akan aku lakukan untuk kita. Namun, ternyata aku salah selama ini. Aku pikir bahwa cinta adalah penerimaan ternyata aku salah, cinta adalah pilihan. Kamu memilih pilihan. Kamu menetap pada satu pilihan tanpa menunjukkan padaku arah jalan pulang. Tanpa menunjukkan bagaimana caranya melupakan, bagaimana caranya menutup tanpa menyentuh, dan bagaimana cara menghapus kenangan tanpa mengingatnya.

Tahukah kamu bagaimana aku berjuang mencari jalan pulang? Tahukah kamu aku meratap, berteriak, dan menjerit namun tak satupun yang mendengar. Betapa teganya kegelapan menemani tanpa secercah cahaya. Tahukah kamu bagaimana aku mencari cara untuk melupa sebuah kenangan yang kita sengaja buat mengira bahwa akan kekal selamanya. Dan apakah kamu tahu aku terus menggila untuk melupakan, tapi semakin aku berusaha semakin aku terluka dan kenangan itu semakin menyeruak membuat aku terpuruk dan hancur.

Sakitnya membekas hingga pagi menjelang.
Tapi hanya ada kata rindu.

_salam pada rindu_
_malam yang kau tunggu_
_Kisah yang kau tutup_



*Er/8/5/20

Tidak ada komentar:

Posting Komentar