Mahligai dari air mata.
Sejujurnya, langit tetap masih gelap. Bahkan pandanganku masih menaruh harap pada luasnya wajah bumi. Hatiku masih di sana. Tertinggal pada sebuah titik yang jauh tak tersentuh, bahkan tak terlihat oleh banyaknya mata. Jauh, di dasar kedalaman relung kasih. Masih tertinggal di titik yang sama. Masih terkekang oleh pusaran rasa yang telah menggunung begitu lama. Yang masih tertulis indah dalam goresan sebuah nama. Nama yang hanya akan tersimpan selamanya. Nama yang hanya akan tetap menjadi pengingat pada panjangnya lantunan doa yang menggema hingga ketetapan berkata lain. Semerbak wanginya masih tertinggal pada rasa yang masih ada. Masih....
Salamku terkadang hanya sebuah kata klise yang tak bergema, tak jua terdengar bahkan meski hanya sekadar gemingnya. Tak jua berbunyi.
Rindu.
Ya, aku rindu.
Merindukan senja yang pernah ku tatap dalam lekat yang tak bertepi.
Sangat merindukan senja yang pernah ku tunggu. Hingga penantianku berakhir pada malam yang gelap dan pekat. Tak berwajah. Hilang di telan kesunyian. Kekosongan hati dalam tatap sendu pernah ku lewati hanya untuk menjaga harapan yang pernah dan terus ku jaga, "mungkin akan datang" atau "mungkin, akan kembali". Ya. Sampai pada saat aku menyadari bahwa penantian ku di kala senja telah berlalu begitu lama. Tak ada kabar. Tak ada tanda. Tak ada pula hiruk sapa yang menenangkan. Hanya ada harap, cemas, dan kesedihan. Mungkin aku salah dalam menduga. Mungkin aku terlalu berharap. Mungkin aku lupa akan waktu itu, bahwasanya aku hanyalah seorang diri menanti senja, lalu lupa bahwa malam telah larut. Tangisku pecah...
Beberapa waktu telah menetap.
Rinduku memuncak.
Entah mengapa, malam-malam berlalu begitu terasa. Rindu seakan menakutkan bagiku. Berulang kali meneguhkan hati. Berulang kali rasa menyesal hadir. Semakin aku tatap masa yang lalu, semakin bayang yang merobek hati memburuku tanpa spasi. Ah, rinduku ini salah. Rindu yang salah. Akankah engkau cepat berakhir? Aku tak sanggup menahan setiap sesaknya menggelegar di dalam hati dan ingatan. Bahkan, untuk bisa menatapmu sejauh apapun takkan pernah bisa ku lakukan. Untuk mendengar suara yang tidak disengajapun aku tak lagi mampu. Mustahil.
Mustahil terjadi.
Doa-doaku kadang tak lagi aku percaya.
Seperti yakin namun ragu. Terkadang mampu namun jatuh. Jatuh hingga luka telah menetap di setiap bagian dari tubuhku. Membekas tak menghilang. Hanya untuk menantimu. Untuk meyakinkan hati bahwa rinduku ini tak salah alamat.
Sang Khalik, aku masih menunggu rahasia-Nya. Penasaranku membelenggu, apakah rahasia di balik ketetapan yang tak di restui ini. Rahasia di balik takdir yang tak berjodoh ini. Juga, jalan hidup yang menetapkan hal yang tak pernah terpikir. Masih mengunggu.
Di tempat ini sembari menahan sesaknya rindu yang salah. Sembari berharap, waktu kan menjawab pikir yang tak berdaya.
Rinduku membuncah.
Dan, mampuslah aku di koyak Rindu_
E_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar