Kilasan potret segaris senyummu dengan tatap sendu yang selalu saja kau lepas pada dunia lainmu tetiba terbesit begitu saja. Aku tak memintanya. Sungguh. Ia muncul mendadak tak pernah menyapa dan tak mengadu maaf, hanya sesuka hatinya. Membuat aku memutar kembali potret-potret burammu yang telah lama aku pendam, kini menguak keluar menyembur berlarian dari dalam otakku. Ah. Selalu saja begitu.
Di kursi yang sama.
Sebut saja aku Erin. Nama klasik yang pernah menghias ponselmu sebagai kontak pertamamu yang paling kau nantikan notifikasinya. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Jauh sebelum pada akhirnya kau berlari perlahan lalu melaju dengan kencangnya meninggalkan jejak pada duniaku dan kenanganku. Jauh sebelum pada akhirnya beberapa waktu kemudian kau menghilang tak berkabar sama sekali. Aku pun enggan dan acuh pada kabarmu. Kau aku biarkan pergi membawa rasa yang pernah kau hadirkan. Karena, begitulah aku. Meski terkadang aku hanya berpura tegar pada nyatanya tapi logikaku lebih jauh melaju meninggalkan rasaku, meski pada jalan selalu beradu kekuatan. Tapi, aku pastikan logika ku akan menang mendahului rasaku. Jadi, tenang saja. Aku ahli dalam mengiklaskan.
Kembali pada kursi di sudut kafe.
Kembali pada topik mengapa aku tiba-tiba teringat pada sosokmu di tengah kesibukan dan kesendirianku menikmati hidup dengan secangkir jus Alpukat yang mulai mendingin. Aku menatapnya lekat meski sesekali berpura-pura tidak menghiraukannya. Tapi, otakku terus saja berputar akan hal itu. Ya. Sebuah tulisan di cangkir jus Alpukat ku membuatku harus mengingat mu. Sebuah nama yang sudah lama aku lupakan. Sebuah inisial yang sangat ingin kuhapuskan pada setiap jejak hidupku. Tapi gagal kali ini.
"E_H"
Bagi orang lain ini bukan hal penting. Bahkan entah tak pernah dihiraukan sama sekali. Namun bagiku, dua huruf ini memiliki makna tersendiri dengan kisahnya yang menggunung pada kalbu. Entahkah Tuhan menakdirkan sore ini kedua huruf ini aku harus baca pada gelas yang entah mengapa menjadi pilihan pelayan cafe ini untuk disuguhkan kepadaku. Kadang, pikirku takdir Tuhan itu semudah dan sesimpel itu. Sangat sederhana dengan cara yang sangat sederhana dan di luar nalar.
Mataku terus tertuju pada cangkir itu. Entah bagaimana kabarnya kini. Terakhir aku mengetahui bahwa dia sudah menikah dengan seseorang gadis pilihan keluarganya. Kala itu aku tak menangis. Saat mendengar kabar itu dan melihat potret dirinya tersenyum manis dengan gadis yang kini menjadi istrinya, aku hanya tersenyum segaris tawa dengan hati yang entah mengapa terasa kosong. Aku masih ingat kala gambar dirinya bahagia dengan pilihannya itu, pada suatu sore saat tetiba aku teringat akan hal itu, aku menangis dan tak bersuara. Hanya air mataku tak dapat ku bendung. Membanjiri wajahku dengan tangan yang tak henti-hentinya menyeka. Terasa di hatiku ada kesakitan yang tak terkatakan. Ah. Takdir Tuhan begitu penuh kemisteriusan. Di dalam keindahan kasih-Nya ada duka yang harus dijalani untuk suatu bahagia lain yang sudah menanti.
Aku membolak-balik gelas itu kemudian.
Jus tinggal 1/4 cangkir lagi. Aku harus segera menghabiskannya dan bergegas pergi beranjak dari cafe itu. Pada hitungan detik, aku menyeruput jus itu dengan semangat dan habis. Yes. Saatnya pergi melupakan kenangan dan nama yang sejenak hadir itu. Aku bergegas berangkat dan meninggalkan tempat itu. Bukan hanya tempat itu. Kini inisial dan kenangan tentang dia pun sudah berlalu. Kenangan itu hanya akan menjadi bagian dalam hidup yang akan terus hadir, namun tak lagi menggangguku. Ia seperti sebuah inisial yang akan tetap menjadi inisial selamanya. Kini, masa yang lebih indah dan perjuangan yang semakin kuat dibutuhkan dan menanti. Pun aku yang kini masih sendiri menunggu takdir itu dipertemukan. Dan, bukan hanya sebagai inisial. Kelak akan menjadi nama yang terus menjadi diri.
*The End_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar