Bahasa dan Politik
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah alat yang digunakan
manusia untuk berkomunikasi, bahasa itu hidup di dalam masyarakat dan dipakai
untuk berkomunikasi. Kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia
di dalam kemasyarakatan. Kelangsungan hidup sebuah bahasa itu sangat ditentukan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu, dengan kata lain
budaya yang di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan keberadaan dari
bahasa tersebut. Dengan itu kebahasaan berfungsi sebagai sarana berlangsungnya
interaksi manusia itu di dalam masyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial yang dimana setiap
kegiatannya pasti membutuhkan peranan individu lain untuk dapat hidup
bermasyarakat yang damai dan sejahtera. Untuk mencapai suatu kehidupan
bermasyarakat ini maka Manusia memerlukan Bahasa untuk dapat berkomunikasi,
karena yang paling penting dalam kehidupan adalah berkomunikasi untuk mencapai
suatu tujuan dan supaya tidak terjadi salah paham diantara manusia yang
melakukan komunikasi tersebut. Menurut Keraf (1997: 3) bahasa memiliki
fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni
sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi,
sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan
atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukankontrol sosial.Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa memang sangat penting digunakan.
Karena bahasa merupakan simbol yang dihasilkan menjadi alat ucap yang digunakan
oleh sesama masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktifitas kita
menggunakan bahasa. Baik menggunakan bahasa secara lisan maupun secara tulisan
dan bahasa tubuh.
Bahasa
merupakan elemen yang sangat penting dari berbagai cabang ilmu yang ada termasuk bahasa Indonesia. Segala bidang ilmu selalu disampaikan melalui bahasa termasuk juga politik positivistic.
Politik mengandaikan pertikaian
kepentingan berbagai lapisan kelompok sosial masyarakat. Di dalam dunia politik
inilah bahasa tidak dapat lepas dari manipulasi politik yang dengan berbagai
cara memanipulasi bahasa pula. Atau dengan kata lain, bahasa dijadikan alat
manipulasi.
Asumsi dalam tulisan ini mengandaikan
bahwa bahasa an sich dilepaskan dari fungsi dasarnya sebagai media
komunikasi manusia. Bahasa menjadi tidak otonom. Sama seperti kemanusiaan
manusia yang tidak otonom bila telah menjadi alat penindas demi suatu
kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu bahasa menjadi tidak bebas nilai bila
jatuh ke dalam kancah pertikaian politik kolektif. Setiap pernyataan politik
selalu mempunyai tendensi tertentu. Manipulasi adalah kegiatan yang tidak bisa
dihindarkan setiap institusi dan pribadi untuk mencapai tujuan dan kepentingan.
Bahasa menjadi alat manipulasi.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah hubungan Bahasa dan Politik?
2.
Apakah hubungan Bahasa dan konflik?
3.
Apakah pengertian Bahasa sebagai
alat manipulasi politik?
4. Apakah yang dimaksud dengan Gejala
Eufemisme?
5.
Bagaimanakah Contoh Penggunaan Bahasa dalam Politik?
1.3 Tujuan Penelitian
1.
Mendeksripsikan hubungan Bahasa dan Politik?
2.
Mendeksripsikan hubungan Bahasa dan konflik?
3.
Mendeksripsikan Bahasa sebagai alat manipulasi politik?
4. Mendeksripsikan Gejala Eufemisme?
5.
Mendeksripsikan Contoh Penggunaan Bahasa dalam Politik?
1.4
Manfaat
Penelitian
1. Mengetahui hubungan
Bahasa dan Politik?
2. Mengetahui hubungan
Bahasa dan konflik?
3. Mengetahui Bahasa
sebagai alat manipulasi politik?
4. Mengetahui Gejala Eufemisme?
5. Mengetahui Contoh Penggunaan
Bahasa dalam Politik?
BAB
II PEMBAHASAN
2.1 Bahasa dan Politik
Bahasa dalam politik adalah sebuah
senjata, para politikus sudah menguasai bahasanya untuk alasan penting yaitu
kekuasaan, karena siapapun menguasai bahasa akan mempunyai kekuasaan. Bahasa
yang digunakan dalam bidang politik supaya membuat kesan yang dapat dipercaya
baik untuk politikus tersendiri maupun seluruh organisasi politik. Kesan yang
baik sangat penting untuk karir politikus, mengunakan bahasa yang salah atau
buruk dapat menyebabkan seseorang tidak dipercaya oleh masyarakat.
Bahasa juga alat yang paling penting untuk menyebarkan pesan politik kepada
masyarakat. Selama kampanye pemilu para politikus dan aktivis menggunakan
semboyan-semboyan tertentu supaya meyakinkan masyarakat mengenai isu-isu yang
sedang hangat dibicarakan. Bahasa yang digunakan selama saat ini adalah
ringkas, berani dan mudah diingat. Kadang-kadang pemerintahan akan dipilih
karena semboyan yang sangat baik. Dengan adanya semboyan yang baik, maka rakyat
akan memberikan kepercayaan kepada politikus tersebut.
Bahasa bisa mengubah cara orang-orang
berpikir. Lewat propaganda pemerintah atau media massa yang menguasai pendapat
umum, atau di sisi lain lewat bahasa perlawanan terhadap pemerintah digunakan
para aktivis, bahasa emosi bisa mengubah pendapat masyarakat. Dalam perjuangan
politik di antara pihak yang berbeda, bahasa adalah alat yang penting sekali.
Politik juga mempengaruhi bahasa. Banyak kata dan ungkapan yang baru dikenalkan
bidang politik, dan ada suatu kata-kata yang artinya dirubah kalau digunakan
pemerintah. Misalnya, kalau politikus mengunakan kata dalam semboyannya,
pengertian tambahan akan mengubah dan segera kata itu akan mengandung yang
berbeda. Bahasa digunakan dalam bidang politik untuk banyak alasan dan dalam
bermacam-macam cara. Bahasa bisa digunakan baik orang dalam politik maupun
orang yang di luar struktur politik utama dan karena oleh itu, bahasa adalah
terpenting alat dalam politik yang dapat dicapai kebanyakan orang.
Ungkapan Simbolik Secara singkat kita
dapat mengatakan bahwa ungkapan simbolik menunjuk pada pesan bersifat verbal
ataupun non verbal dengan makna-makna tertentu yang sangat lekat dengan
nilai-nilai kultural serta filosofis. Tulisan ini lebih menitikberatkan pada ungkapan
simbolik yang berupa bahasa verbal, yakni pernyataan-pernyataan dengan menggunakan
kosakata tertentu yang dikemukakan oleh para elit politik Indonesia di berbagai
kesempatan, terutama dalam kampanye dan wawancara dengan media massa.
Kaitan politik dan bahasa
adalah kenyataan bahwa politik itu adalah kegiatan berbicara (baca: berbahasa).
Seorang ilmuwan politik, Mark Roelofs (The Language of Modern Politics,
1967), mengatakan dengan sederhana, “Politik adalah pembicaraan, atau lebih
tepat lagi berpolitik adalah berbicara.” Menurutnya politik tidak hanya
pembicaraan, dan sebaliknya tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi
hakekat pengalaman politik adalah kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.
Sudah barang tentu politik
mempunyai dimensi moral-etiknya sendiri, karena politik pada dasarnya adalah
kegiatan orang yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi kenflik
kepentingan dan tujuan. Setiap setting politik senantiasa ditandai
dengan perselisihan dan konflik.
Demikian pula halnya dengan
bahasa. Bahasa mempunyai kekuatan dan dimensi emansipatoris, transformatif, dan
terbuka di dalam penilaian moral-etis. Bahasa dapat menjadi jahat dan buruk.
Bahasa dapat menindas, membelenggu dan menjajah kesadaran seseorang. Terutama
bila digunakan sebagai sarana manipulasi dan indoktrinasi. Bahasa menjadi baik
bila digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan
membebaskan kesadaran manusia dari belenggu kebodohannya. Fenomena bahasa
memiliki cakupan sosial politik. Itu sebabnya tidak bisa dipungkiri bahwa
fenomena bahasa mempunyai dampak yang langsung dan kuat terhadap realitas
sejarah politik manusia.
2.2 Bahasa dan Konflik Politik
Banyak idiom dan jargon politik
yang tadinya digunakan sebagai lambang dan simbol dari kondisi politik yang
stabil berubah menjadi lambang dan simbol keadaan politik yang labil bersamaan
dengan terjadinya gejolak dan perubahan politik suatu negara.
Plato bahkan mengatakan bahwa
kalau penguasa menjadi otoriter, maka bahasa pasti akan menjadi kacau-balau.
Kekacauan timbul akibat dari konflik kepentingan penguasa dan oposan. Oleh
karena itu sumber kekacauan ada pada penguasa dan kaum oposan. Untuk melanggengkan
struktur dan status quo, penguasa akan melakukan manipulasi politik melalui
bahasa. Sebaliknya, kaum oposan yang menentang kebijaksanaan tersebut
menciptakan manipulasi yang berseberangan dengan penguasa. Dari sinilah awal
timbulnya kekacauan bahasa. Selanjutnya terjadi polarisasi bahasa yang tidak
berasal dari bahasa itu sendiri, melainkan dari realitas pergolakan politik
yang kemudian tercermin di dalam bahasa.
Kekacauan ini dapat diamati
dalam perdebatan yang menggunakan jargon dan idiom antara pemerintah yang
berkuasa dengan kaum oposan yang berada di luar pemerintahan. Contoh yang
paling sering diperdebatkan misalnya: buruh-pekerja, breidel-pencabutan SIUP,
kenaikan harga-penyesuaian harga, perempuan-wanita, PHK-pecat, dan
lain-lainnya. Di dalam hal ini pihak pemerintah dan kaum oposan menggunakan
terminologi, jargon ataupun idiomnya masing-masing sebagai ciri hubungan peran
di antara mereka.
2.3 Bahasa Sebagai Alat Manipulasi
Politik
Bahasa adalah sarana untuk
menyingkap realitas personal dan komunal. Bahasa dapat memperdaya,
menggusarkan, menggairahkan dan juga melumpuhkan manusia. Manusia bisa
tersesat, kalah, menang dan selamat dengan atau di dalam bahasa. Dengan bahasa
orang mendapatkan kesesuaian satu dengan yang lainnya sehingga tercipta harmoni
dan kedamaian. Namun, dengan bahasa pula kedamaian dan harmoni dihancurkan
lewat kesalahpahaman, makian, dan bahkan peperangan. Penggunaan bahasa tidak
bisa dilepaskan dari tindakan manusia.
Di dalam politik manipulasi
bahasa selalu terjadi. Kemampuan berbahasa sangat diperlukan dalam
memanipulasi. Setiap manusia senantiasa memanipulasi dirinya dan orang lain
bila ia terdesak oleh kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena
itu memanipulasi itu baik adanya bila ditujukan bagi kepenitngan dan tujuan
yang baik pula.
Memanipulasi pada dasarnya
memang melanggar martabat dan kebebasan manusia. Akan tetapi manipulasi
mempunyai dimensi etisnya sendiri, yaitu tidak boleh menggangu dan melanggar
landasan martabat dan kebebasan manusia. Manusia di dalam kebebasannya
bertanggung jawab bagi dan kepada diri sendiri.
Manipulator bahasa memang
dominan ada pada politikus, karena seorang politikus dituntut untuk
memperjuangkan kepentingan dan tujuan masyarakat yang telah mempercayakan dan
memberikan kekuasaan kepadanya. Mereka dapat kita katakan sebagai seorang
manipulator bahasa dan orator yang ulung. Hal ini dimungkinkan karena mereka
mempunyai kinerja bahasa yang tinggi.
2.4 Gejala Eufemisme
Dalam hal ini akan menarik
kiranya apabila kita mengaitkannya dengan penggunaan eufemisme di dalam
politik. Eufemisme merupakan suatu gaya bahasa yang indah, yang bisa memperkaya
khasanah kosa kata bahasa dan dapat pula menimbulkan pesona puitis. namun
bahaya lain yang ditimbulkan oleh penggunaan eufemisme yang berlebihan untuk
kepentingan politik adalah menjadi buta dan teralienasinya masyarakat terhadap
realitas makna yang sesungguhnya. Di dalamnya terjadi deviasi makna. Di sini
pula terjadi penjajahan kesadaran, cara berpikir, cara melihat dan cara
menilai. Masyarakat diarahkan dan digiring menuju keseragaman bahasa atau kata
oleh penguasa. Makna kata yang kasar, brutal, bombastis dan lugas disembunyikan
di dalam eufemisme. Eufemisme menjalankan fungsi kontrol sosial-politiknya
sehingga terjadi keterpedayaan sosio-politik di dalam masyarakat (Fransiskus
Borgias, Basis, September 1994).
Manipulasi bahasa pada
kenyataannya digunakan juga sebagai kontrol sosial-politik. Kontrol
sosial-politik lewat bahasa oleh penguasa dilakukan dengan cara persuasif.
Misalnya dengan membuat jargon-jargon pembangunan dan eufemisme yang dengan
gencar diucapkan oleh para pejabat negara di dalam setiap kesempatan. Kemudian
media massa menggemakan dan menggaungkannya ke masyarakat. Dampak negatif yang
ditimbulkan adalah terjajah dan terbelenggunya kesadaran dan pemikiran
masyarakat akibat indoktrinasi bahasa pihak penguasa melalui media massa tanpa
ada reservenya. Dengan keseragaman bahasa diharapkan pula stabilitas politik
tetap terjaga, karena bahasa yang diucapkan masyarakat menjadi cermin dan
indikator “keterpesonaan dan keterpedayaan”.
Sehubungan
dengan itu, di dalam politik, bahasa adalah sebuah senjata, para politikus
sudah menguasai bahasanya untuk alasan penting yaitu kekuasaan, karena siapapun
menguasai bahasa akan mempunyai kekuasaan. Bahasa yang digunakan dalam bidang
politik supaya membuat kesan yang dapat dipercaya baik untuk politikus
tersendiri maupun seluruh organisasi politik. Kesan yang baik sangat penting
untuk karir politikus, mengunakan bahasa yang salah atau buruk dapat menyebabkan
seseorang tidak dipercaya oleh masyarakat. Bahasa juga alat yang paling penting
untuk menyebarkan pesan politik kepada masyarakat. Selama kampanye pemilu para
politikus dan aktivis menggunakan semboyan-semboyan tertentu supaya meyakinkan
masyarakat mengenai isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Bahasa yang
digunakan selama saat ini adalah ringkas, berani dan mudah diingat.
Kadang-kadang pemerintahan akan dipilih karena semboyan yang sangat baik.
Dengan adanya semboyan yang baik, maka rakyat akan memberikan kepercayaan
kepada politikus tersebut.
Bahasa bisa mengubah cara orang-orang
berpikir. Lewat propaganda pemerintah atau media massa yang menguasai pendapat
umum, atau di sisi lain lewat bahasa perlawanan terhadap pemerintah digunakan
para aktivis, bahasa emosi bisa mengubah pendapat masyarakat. Dalam perjuangan
politik di antara pihak yang berbeda, bahasa adalah alat yang penting sekali.
Politik juga mempengaruhi bahasa. Banyak kata dan ungkapan yang baru dikenalkan
bidang politik, dan ada suatu kata-kata yang artinya dirubah kalau digunakan
pemerintah. Misalnya, kalau politikus mengunakan kata dalam semboyannya,
pengertian tambahan akan mengubah dan segera kata itu akan mengandung yang
berbeda. Bahasa digunakan dalam bidang politik untuk banyak alasan dan dalam
bermacam-macam cara. Bahasa bisa digunakan baik orang dalam politik maupun
orang yang di luar struktur politik utama dan karena oleh itu, bahasa adalah
terpenting alat dalam politik yang dapat dicapai kebanyakan orang.
2.5 Contoh penggunaan Bahasa dalam Politik
Bahasa adalah alat yang digunakan
manusia untuk berkomunikasi, bahasa itu hidup di dalam masyarakat dan dipakai
untuk berkomunikasi. Kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia
di dalam kemasyarakatan. Kelangsungan hidup sebuah bahasa itu sangat ditentukan
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu, dengan kata lain
budaya yang di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan keberadaan dari
bahasa tersebut. Kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di
dalam kemasyarakatan. Hubungan antara bahasa dan budaya seperti sebuah koin
yang mempunyai dua sisi, mereka tidak dapat dipisahkan. Dengan itu kebahasaan berfungsi
sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia itu di dalam masyarakat.
Politik dapat dikenali melalui dua wajah
yang saling inheren antara satu dengan lainnya. Pertama, dalam kalkulasi yang
riil, politik merupakan persoalan siapa memperoleh apa Politik dalam pengertian
ini, pada dasarnya berkenaan dengan penjatahan sumber daya. Dalam pandangan
demikian politik lalu diyakini sebagai urusan kekuasaan (power). Dari sisi ini
politik nampak sebagai upaya atau proses komunikasi dengan menggunakan
simbol-simbol atau kata lainnya adalah bahasa, penjatahan sumber daya serta
bahasa. Dengan demikian, menjadi dua kunci pokok dalam setiap perbincangan
mengenai politik dan dengan sendirinya, juga kekuasaan.
Dalam hubungan ini bahasa berfungsi
sebagai alat yang digunakan oleh para aktor politik, terutama elite politik,
untuk mencapai kondisi di mana penjatahan sumber daya dapat diterima oleh
kalangan luas masyarakat, setidaknya sampai periode atau kurun waktu tertentu.
Pada saat pemilu penggunaan bahasa politik begitu banyak. Periode ini rakyat
dapat memilih Presiden dan wakil presiden secara langsung, mencermati “debat”
calon presiden, dan berpartisipasi dalam pemilihan (memberikan suara) secara
relatif bebas. Selanjutnya, periode ini juga ditandai oleh suatu hal yang
menarik, yakni kesan bahwa penggunaan bahasa Indonesia oleh para elite politik,
setidaknya sampai tingkat tertentu menunjukkan pergeseran ke arah semakin
mengurangnya penggunaan ungkapan simbolik bahasa Jawa sementara kata-kata dari
bahasa Inggris dan Arab nampaknya lebih banyak digunakan.
Hal demikian terutama disebabkan oleh
keragaman latar belakang sosial dan kultural elite politik, termasuk para
kandidat presiden dan wakil presiden serta yang duduk di jajaran kepengurusan
partai politik. Tulisan singkat ini dimaksud hendak mendiskusikan bagaimana para
elite politik kita menggunakan ungkapan-ungkapan simbolik dalam bahasa
Indonesia di berbagai kesempatan serta bagaimana kemungkinan implikasi yang ada
sehingga pembaca dapat mengetahui bahasa dalam politik.
Ungkapan simbolik sangat banyak
digunakan dalam politik. Murray Edelman bahkan mengatakan bahwa “the most
conspicuously democratic institution are largely symbolic and expressive in
function” (Rotunda dalam Pawito, 2011:2). Hal demikian disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, ungkapan simbolik dapat digunakan untuk mengungkapkan gagasan-gagasan,
pemikiran-pemikiran, dan persepsi-persepsi. Barangkali dapat dikatakan bahwa fungsi
ini adalah fungsi yang paling umum dan mendasar. Kedua, Ungkapan simbolik dapat
membawa signifikasi yang besar pada tataran individual. Misalnya ungkapan
“partainya wong cilik”, ternyata dengan mudah menjadi rujukan yang melahirkan
loyalitas yang dasyat di kalangan para pendukung PDI-P di bawah kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri. Ketiga, ungkapan simbolik dapat digunakan oleh para
pemimpin dan elite politik untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa sesuatu atau
mungkin banyak hal telah dilakukan. Hal ini sangat penting untuk tetap menjaga
legitimasi sistem maupun yang lebih penting lagi yaitu kepemimpinan mereka.
Dalam konteks Indonesia, Pawito (2011:5)
mengamati bahwa ada semacam proses jawanisasi terhadap bahasa Indonesia,
terutama dalam hal penggunaan ungkapan simbolik sebagai kendaraan yang otonom
untuk mengangkut gagasan-gagasan dan aspirasi.
Dalam pengamatan Pawito, proses termaksud
mencakup beberapa faset. Pertama, pengkramaan, yakni penggunaan kata-kata
bahasa jawa krama untuk menunjuk berbagai hal seperti sapta marga untuk tujuh
prinsip etik yang harus dipatuhi oleh setiap prajurit, dan satya lencana untuk
penghargaan atas pengabdian kepada negara. Kedua, penggunaan kata-kata bahasa
jawa ngoko untuk berbagai praktek atau kecenderungan sosial-politik, secara
bobrok, gontok-gontokan, dan berkiprah. Ketiga, netralisasi simbol-simbol
revolusioner. Netralisasi ini pada dasarnya dilakukan dengan mengasimilasi
simbol-simbol revolusi dengan simbol-simbol lain yang tidak/kurang berkaitan
dengan revolusi. Dalam hal ini rupanya ada dua cara, menurut Pawito, yakni (a)
mengubur kata-kata yang jelas mensimbolkan kekuatan revolusi, seperti revolusi,
sosialisme, dan demokrasi seraya mengintrodusir istilah atau
singkatan-singkatan (acronyms) seperti Jarek, Resopim, dan Usdek; dan (b)
mengambil hakikat dari tindakan atau proses sehingga, misalnya, kata revolusi
tidak identik dengan revolution, dan demokrasi tidak identik dengan democracy. Kecenderungan
demikian suatu ketika mencuat melalui retorika Presiden Soekarno bahwa revolusi
belum selesai. Dalam hubungan ini revolusi dimaknai bukan sebagai suatu proses
sosial (social process) yang ditandai oleh sifat radikal, illegal, dan
kebebasan (bahkan Soekarno menolak kebebasan) sebagaimana konsep revolution
dalam bahasa Inggris biasa difahami (Schouls dalam Pawito, 2011:7), tetapi
adalah sebagai suatu mentalitas (mentality) – yakni mentalitas terus
mengupayakan perubahan, eksperimen, pembangunan dan penyempurnaan. Istilah
revolusi dalam hubungan ini memiliki makna esoterik yang bersifat lokal. Keempat,
image politik orang-orang jawa, menunjukkan kecenderungan proses yang bersifat
siklis dan bukan linier.
Kendati waktu terus mengalir dan zaman
terus berubah, namun bagi banyak orang jawa, perubahan yang ada atau terjadi
memiliki pola yang relatif tetap: dari periode waktu yang penuh kegelapan
(Zaman Edan, Age of Madness) lalu berubah menjadi penuh kegemilangan lagi, dan
begitu seterusnya. Pandangan demikian membawa implikasi pemikiran bahwa politik
dan kekuasaan berubah atau bergerak dalam pola siklis. Anderson mengamati pula
bahwa bahasa politis Indonesia menuju proses asimilasi dan perubahan kharakter,
dimana kosakata dari bahasa Belanda semakin tidak digunakan [oleh para elite
politik], dan kesenjangan antara Jawa beserta tradisi-tradisinya dengan bahasa
Indonesia bernuansa revolusioner serta aspirasi-aspirasinya cenderung menyempit.
Di atas sudah dikemukakan bahwa
penggunaan ungkapan simbolik oleh elite politik Indonesia pada saat Pemilu
menunjukkan gejala semakin ekstensifnya penggunaan kata-kata bahasa Inggris dan
Arab sementara kosakata bahasa Jawa, kendati masih sering digunakan, terkesan
semakin mengurang. Kian banyaknya ungkapan dalam bahasa Inggris oleh elite
politik Indonesia menggantikan penggunaan ungkapan dalam bahasa Belanda oleh
elite politik Indonesia periode menjelang dan awal proklamasi hingga akhir
dekade 1960-an ini dicontohkan beberapa ungkapan yang digunakan oleh para elite
politik.
1. Reward and punishment
Ungkapan
simbolik dari bahasa Inggris ini tergolong populer dan kerap digunakan oleh para elite politik
Indonesia periode Pemilu 2004. Wiranto, kandidat persiden dari partai golkar,
misalnya, pada kesempatan wawancara dengan wartawan Tempo Dimas Adityo
mengatakan mengenai bagaimana cara memilih orang yang menduduki jabatan di
lembaga-lembaga hukum: “Yang terpenting justru setelah kita pilih, setelah ia
bersumpah dan mulai menjalankan tugasnya. Di situlah saya akan menilai apakah
mereka benar-benar aparat yang bersih, yang bertanggungjawab. Itulah saat untuk
memulai reward and punishment. Siapa yang menunjukkan dedikasi dan itikad baik untuk
menjadi pejabat yang jujur, kita hargai; siapa yang tidak mampu menunjukkan
itu, kita beri sanksi, bahkan hukuman”. Dapat dikatakan bahwa ungkapan ini
kalau dilaksanakan secara konsisten, memungkinkan dihargainya prestasi serta
dapat ditegakkannya keadilan.
2. Reformasi belum selesai
Ungkapan
ini disampaikan oleh Amien Rais, kandidat presiden dari Partai Amanat Nasional,
kepada Imam Prihadiyoko (wartawan Kompas) di kantornya Amien Rais mengatakan
demikian dalam konteks menanggapi pandangan bahwa reformasi “semakin
menyengsarakan rakyat.” Amien Rais dalam hubungan ini mengatakan bahwa gerakan
reformasi bukan tanpa hasil.” Kebebasan pers, kebebasan politik, kebebasan
menyampaikan pendapat dan pikiran, serta amandemen UUD 1945 merupakan sebagian
dari hasil reformasi.” Ungkapan di atas mengingatkan kita akan pernyataan
Soekarno dipenghujung dekade 1950 an dan awal 1960 an bahwa revolusi belum
selesai seperti sudah disinggung sebelumnya. Amin Rais dalam hubungan ini
terkesan bermaksud hendak menegaskan perlunya terus diupayakan perubahan-perubahan,
keluar dari masa lampau yang kelam atau bobrok, menuju kondisi-kondisi yang
lebih baik, yang lebih adil, dan lebih bermartabat; dan untuk itulah ia
mencalonkan diri ikut berkompetisi dalam pemilu.
Kata
reformasi dengan demikian memiliki makna esoterik yakni mentalitas dan upaya
untuk terus melakukan perubahan. Betapapun kata reformasi ini berasal dari kata
bahasa Inggris reformation yang dalam konteks polittik, biasanya dimaknai
sebagai upaya melakukan perubahan menyeluruh (general overhaul) baik dikalangan
pemerintahan maupun sistem yang ada. Kebebasan pers, kebebasan politik,
kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran seperti dikemukakan oleh Amin Rais
sebenarnya merupakan pilar dari demokrasi. Demokrasi tidak akan terwujud kalau
tidak ada kebebasan seperti dimaksudkan tadi.
3. Pemerintahan yang efektif
Ungkapan
ini disampaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, kandidat presiden dari Partai
Demokrat (didukung oleh partai Bulan Bintang dan partai Keadilan dan Persatuan
Indonesia), ketika menjawab pertanyaan wartawan kompas Budiarto Shambazy
“Akhirnya suara itu dari rakyat, bukan dari partai karena sistem pemilihan
langsung. Maka apabila saya terpilih yang segera saya lakukan adalah membentuk
pemerintahan yang efektif yang sifatnya presidensial. Bagi saya bukannya dari
mana yang bersangkutan berasal tetapi masalah kapasitas, intergritas, dan
pengalaman,” demikian Yudhoyono mengatakan.
Ungkapan
pemerintahan yang efektif bagi Yudhoyono adalah pemerintahan yang diwarnai
dengan menggunakan istilah dari Yudhoyono sendiri, checks and balances….
Betul-betul perform, stable, dan mencapai sasaran….” (ibid). Untuk upaya ini
Yudhoyono merencanakan akan membentuk pemerintahan koalisi terbatas dengan
partai lain dan menggalang koalisi di parlemen, atau mengutip kata-kata
Yudhoyono, “governing coalition dan parliamentary coalition…”. Susilo Bambang
Yudhoyono, sebagaimana dikenal banyak orang, bukan sekedar manusia jawa, terapi
adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan AMN (lulusan terbaik th
1973), serta penah mengikuti pendidikan di Command and General Staff College di
Fort Leavenworth, Kansas AS.
Susilo
juga pernah bertugas ke Bosnia-Herzegovina, bergabung dengan pasukan
pemeliharaan perdamaian PBB. Penggunaan ungkapan tadi menunjukkan kapasitas
serta komitmennya sebagai kandidat presiden yang harus memiliki Plat form
jelas. Check and Balances pada umumnya dipahami sebagai suatu kecenderungan dan
mekanisme yang seimbang antara eksekutif (presiden) dan legislatif
(parlemen-parlemen) sebagaimana dipersyaratkan dalam sistem politik demokratis.
4. Strong leader
Ungkapan
ini dikemukakan oleh Wiranto. Menurut Wiranto, strong leader tidak identik
dengan militer kendati di jajaran militer istilah ini memang dikenal. Strong
leader bagi Wiranto adalah pemimpin yang memiliki dua kemampuan sekaligus: pemikir
dan komandan (pengatur pelaksana). Pemikir adalah pembuat rencana-rencana strategis
termasuk penentu/perumus tujuan jangka menengah dan panjang, sementara komandan
adalah pelaksana rencana-rencana bersangkutan. “Strong Leader mesti konsisten,
transparan, dan membangun kepastian dalam mengambil keputusan”.
Pada
kesempatan lain, Wiranto mengatakan bahwa strong leader adalah “pemimpin yang
berani mengambil keputusan pahit, yang mungkin saja tidak popular” (Tempo edisi
pemilihan presiden, 30 juni 2004:30-31). Ungkapan simbolik strong leader
walaupun per definisi, seperti baru saja dikemukakan, tidak harus selalu
diasosiasikan dengan laki-laki, namun dapat memiliki implikasi bias gender
dalam setting budaya Indonesia, termasuk dalam konteks kompetisi calon presiden.
Kata strong (kuat dalam bahasa Indonesia) lebih banyak, walau tidak selalu
berasosiasi dengan laki-laki ketimbang dengan perempuan. Pemaknaan ungkapan
strong leader yang mencerminkan kecurigaan sebagai implikasi dari kemungkinan
adanya bias jender, misalnya dari Megawati Soekarnoputri. Kandidat presiden
dari PDI-P ini mengatakan bahwa “kalau ada yang mengatakan kita perlu strong leader,
saya jawab, “Kalau begitu saya memang tidak bisa’. Soalnya perempuan selalu dikonotasikan
lembek, lemah lembut, ngomong-nya pelan…” (Kompas, 2 juni 2004:11).
5. Kekuasaan adalah amanah
Ungkapan
ini dikemukakan oleh banyak sekali elite politik kita, termasuk Amin Rais. Amin
Rais, misalnya, mengatakan bahwa kekuasaan adalah bukan kesempatan untuk
memerintah, tetapi “merupakan amanah dan tanggung jawab yang harus dijalankan
dengan jujur, berani, dan cerdas. Amanah melayani masyarakat untuk menjamin
serta menyejahterakan orang yang dipimpin” Kompas,4 juni 2004). Kata amanah
berasal dari kata bahasa Arab yang kurang-lebih berarti titipan tanggung jawab.
Dalam Al-Quran (2:30) misalnya, disebutkan bahwa Sang Maha Kuasa menitipkan amanah
kholifah (tanggung jawab memimpin, mengelola, memakmurkan) di bumi kepada
manusia. Dapat dimengerti bahwa Amin Rais banyak menggunakan kata amanah ini,
bahkan partai yang dipimpinnya bernama Partai Amanat Nasional (PAN), karena
Amin memiliki latar belakang sebagai pemimpin organisasi sosio-kultural
Muhammadiyah. Kendati pun demikian, Amin Rais adalah bukan hanya orang yang
memiliki latarbelakang ethnis Jawa dan lama berkecimpung serta pernah memimpin
Muhammadiyah, tetapi ia juga seorang ahli ilmu politik (bergelar Ph D) tamatan
Universitas Chicago,AS.
6. Insya Allah
Ungkapan
simbolik ini merupakan kata-kata bahasa Arab yang paling banyak digunakan oleh
para elit politik Indonesia periode Pemilu 2004. Yusuf Kalla (kandidat wakil
Presiden bersama Yudhoyono), misalnya menggunakan ungkapan ini pada ksempatan
berkampanya di lapangan Benu Kendari hari minggu 6 juni 2004.”Saya dan Pak
Susilo Bambang Yudhoyono kalau diberi kepercayaan untuk memimpin bangsa ini,
Insya Allah akan membawa bangsa ini ke arah yang lebih maju” (Republika, Senin
7 juni 2004:9). Agum Gumelar, kandidat wakil presiden bersama Hamsah Haz, juga menggunakan
ungkapan ini pada kesempatan pengukuhan kandidat di Lapangan Tenis Indoor,
Senayan Jakarta Rabu 12 Mei 2004. Ketika itu Agum mengatakan:”Insya Allah, bersama-sama
Pak Hamzah dan saudara-saudara, saya siap membawa bangsa ini; hari ini lebih
baik daripada kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini (Republika,13
Mei 2004:1).
Ungkapan
ini secara umum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: sekiranya Allah menghendaki.
Kendati demikian makna dari ungkapan ini adalah merefleksikan akhlak mulia
berkhitmad kepada Sang Maha Kuasa: bahwa segala sesuatu terjadi atas kuasaNya, dan
yang dapat diperbuat oleh manusia adalah sebatas berupaya dan berdo’a. Ungkapan
ini dapat dikatakan memiliki implikasi sikap rendah hati dan bukan congkak,
seraya mengharap pertolongan Sang Maha Kuasa menyertai upaya dan do’anya.
7. Amar ma’ruf nahi mungkar
(mengajak kepada kebajikan mencegah kemungkaran)
Penggunaan
ungkapan simbolik bahasa Arab ini sebenarnya sudah lama mewarnai rethorika
elite politik Indonesia. Muhammadiyah sebagai suatu organisasi sosio-kultural memiliki
semboyan ini. Dalam konteks Pemilu 2004, ungkapan ini tidak hanya digunakan
oleh elite politik dari PAN semata tetapi juga elite politik dari partai lain.
KH Nur Muhammad Iskandar SQ Ketua Tim Sukses Mega-Hasyim Banyumas, misalnya, menggunakan
ungkapan ini pada kesempatan pernyataan dukungan 100 pengasuh pondok pesantren
Banyumas untuk Mega-Hasyim Jum’at 28 Mei 2004. “Kita ingin menegaskan bahwa
pasangan Mega-Hasyim tetap akan memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar. Selama
ini kan seperti ada anggapan kalau PDI-P itu begini-begitu, tetapi kita lihat
sekarang sudah ada perbaikan”, demikian ia mengatakan (Kompas,30 Mei 2004:11).
8. Ijtihad (perbedaan pendapat
untuk mencari keputusan)
Ungkapan
berasal dari bahasa Arab ini memang tidak terlalu sering digunakan oleh elit
politik Indonesia periode pemilu 2004 dibandingkan dengan ungkapan bismillah
(dengan menyebut nama Allah), atau ungkapan bahasa Arab lain seperti di atas
telah dikemukakan. Namun demikian, ungkapan ini suatu ketika menjadi sangat
esensial sifatnya terutama dalam konteks persoalan internal Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Partai yang dikenal sangat disiplin ini tiba saatnya harus
membuat keputusan memberikan dukungan resmi kepada salah satu pasangan kandidat
Amin Rais-Siswono Yudohusodo. Keputusan ini terkesan agak terlambat sehingga
sebagian para pendukung dan simpatisan nyaris mengambil keputusan sendiri-sendiri,
seperti misalnya Sekjen Anis Matta yang condong kepada pasangan Wiranto-Solahuddin
Wahid. Menanggapi keputusan ini, Anis Matta mengatakan: “Masalah ini adalah
ijtihad (mencari keputusan) politik yang bebas dilakukan asal sesuai dengan
prosedur”. Dalam hubungan ini Anis Matta menegaskan selanjutnya bahwa “keputusan
PKS tersebut tidak akan menimbulkan perpecahan dan sama sekali tidak menunggu
hubungan personal maupun mekanisme organisasi.
9.
Habluminallah, habluminannas (jalinan hubungan dengan Allah dan jalinan
hubungan dengan manusia)
Ungkapan
ini banyak digunakan oleh elite politik Indonesia yang berlatar belakang
sosio-kultural Islam. Hamzah Haz, misalnya menggunakan ungkapan ini pada kesempatan
wawancara dengan Setiyardi, wartawan Tempo. Menjawab pertanyaan tentang apakah
Hamzah Haz akan menerapkan syariat Islam apabila memenangkan pemilu, Hamzah
mengatakan: “Bagi saya, ideologi Pancasila sudah final. Itu tidak bisa diganggu
gugat lagi. PPP memang sangat kental dengan Islam. Tapi Pancasila juga punya
“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itu merupaka dasar untuk kita berhabluminallah dan
ber-habluminannas. Jadi, tidak ada masalah antara Pancasila dan Islam”
(Tempo,edisi pemilihan presiden,30 Juni 2004:131). Beberapa Implikasi Dari
contoh-contoh diatas kita memperoleh kesan bahwa latar belakang ethnis (suku) tidak
dengan sendirinya mempengaruhhi pola penggunaan ungkapan simbolik para elite politik;
tetapi latar belakang sosial dan kultural kiranya yang lebih berpengaruh.
Amin
Rais dan Susilo Bambang Yudhoyono pada dasarnya memang tokoh berasal dari
ethnis atau suku Jawa; tetapi karena memiliki pendidikan dan pengalaman
pergaulan antar bangsa maka didalam berbahasa Indonesia di berbagai kesempatan
kerapkali menggunakan ungkapan simbolik bahasa Ingggris. Ungkapan simbolik yang
berasal dari bahasa Jawa relatif kurang mereka gunakan. Hal demikian mirip
dengan pola berbahasa Indonesia para founding fathers dan elite politik
Indonesia periode sebelum dan awal proklamasi sampai akhir dekade 1960-an yang
kerap kali diwarnai dengan penggunaan ungkapan simbolik dalam bahasa Belanda. Soekarno,
misalnya menggunakan ugkapan-ungkapan dalam bahasa Belanda (di samping ungkapan
dalam bahasa Jawa, Arab dan Inggris), seperti zonder weerga (tiada bandingnya),
op leven en dood ([persoalan tentang] hidup dan mati), vereenig en regeer (bersatu
dan berkuasa, sebagai tandingan dari verdeel en heers, memecah belah dan
menguasai atau divide et impera) (periksa, misalnya IR. Soekarno, 1965).
Selanjutnya,
karena Amin Rais, Anis Matta, dan juga Hamzah Haz, pada dasarnya adalah tokoh-tokoh
yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan kultural Islam, maka di dalam berbahasa
Indonesia mereka sering menggunakan ungkapan simbolik dalam bahasa Arab, di
samping bahasa Inggris. Bahasa yang digunakan dalam Al Qur’an-kitab suci agama Islam,
seperti kita ketahui adalah bahasa Arab. Banyaknya ungkapan bahasa Inggris dan
Arab dalam bahasa Indonesia yang digunakan oleh elite politik Indonesia seiring
dengan mengurangnya penggunaan ungkapan bahasa Jawa kiranya, setidaknya sampai
tingkat tertentu, dapat dikatakan sebagai pertanda bagi semakin berkembangnya
demokrasi pada masyarakat kita. Demokrasi mensyaratkan kesederajadan (equality)
(lihat misalnya Modelski 1992:1353-1367). Bahasa Inggris dan Arab, sebagaimana
kita ketahui bersama, lebih mengkondisikan sifat kesederajadan dibandingkan
dengan bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki hierarki yang meliputi krama inggil,
krama madya, dan ngoko. Kata dalam bahasa Indonesia kamu atau engkau, misalnya,
ke dalam bahasa Jawa dapat diterjemahkan menjadi kowe (kalau digunakan untuk berbicara
dengan orang yang sederajat), sampeyan (untuk orang yang dihormati), dan
panjenengan (untuk orang yang sangat dihormati).
Sementara
itu, kata kamu dikenal dengan you dalam bahasa Inggris, dan anta dalam bahasa
Arab. Kalau sekiranya hipotesa yang mengatakan bahwa bahasa yang digunakan
menentukan cara berfikir (hipotesa Sapir-Whorf) dan cara berfikir pada
gilirannya menentukan cara bersikap dan bertindak, maka kecenderungan demikian
juga akan berimplikasi terhadap pola-pola hubungan dan komunikasi dalam masyarakat.
Jalinan hubungan antar idividu akan semakin ditandai oleh sifat egalitarian, dan
pola komunikasi akan semakin bersifat trasaksional. Media massa dalam pada itu akan
relatif semaki independent dalam mendefinisikan peristiwa serta isu-isu, dan khalayak
secara relatif akanlebih memiliki kebebasan untuk mentafsirkan dan merespon pemberitaan-pemberitaan
media. Kendati pun demikian, kecenderungan demikian secara potensial juga dapat
membawa konsekuensi semakin terkikisnya nilai-nilai ethika budaya Jawa yang
sudah sering dikeluhkan lewat ungkapan wong jowo ilang Jawane. Kecenderungan
diatas dapat dilihat melalui semakin kentalnya nuansa ekspresi yang serba
eksplisit (jelas, tegas), langsung kepada sasaran (to the point), dan provan
(lugas, tanpa basa-basi), baik dalam menyampaikan kritik, maupun dalam
menyampaikan aspirasi-aspirasi.
BAB
III PENUTUP
3.1
Simpulan
Ungkapan simbolik bahasa Inggris dan Arab
dalam bahasa Indonesia yang digunakan oleh elite politik menunjukkan bahwa bahasa
politis Indonesia, seperti dikatakan oleh Aderson di atas masih sedang menuju proses
asimilasi dan perubahan kharakter. Ungkapan-ungkapan simbolik bahasa Belanda tidak
digunakan lagi, dan penggunaan ungkapan bahasa Jawa semakin mengurang.
Ungkapan simbolik bahasa Indonesia
(Melayu) yang bersifat revolusioner (seperti gugur satu tumbuh seribu, semangat
menggelora, dan api perjuangan) juga terkesan semakin memudar, mungkin karena
kehilangan relevansi.
Ungkapan simbolik dalam bahasa politik
diantaranya ialah mikul dhuwur mendhem jero, jer basuki mawa beyo, diobok-obok,
grusa-grusu (tidak berfikir cermat), muluk-muluk (utopia, tidak realistis), digodog
(dikaji,diproses), dan anjlok (turun drastis), ”Marilah kita memilih presiden
dengan pikiran yang jernih, dengan mata hati, tidak grusa-grusu, karena
taruhannya panjang, lima tahun ke depan. Saya sudah bekerja keras selama tiga
tahunan terakhir, apakah tidak dilihat kemajuan dibandingkan dengan ketika saya
masih menjabat sebagai wakil presiden?”, Dibutuhkan kesiapan mental serta jalan
keluar untuk mengantisipasi perubahan sehubungan dengan kecenderungan pola
hubungan antar individu yang lebih egaliter dan komunikasi yang transaksional.
Nuansa guyub akan semakin memudar, dan sebagai gantinya yang lebih dominan
adalah nuansa pamrih, yang secara sederhana dapat diungkapkan:”okey, kalau saya
mau begitu, saya mendapat apa?”.
3.2
Saran
Dalam makalah
ini penyusun memberi saran kepada pembaca bahwa untuk memperluas wawasan
pembaca dalam memahami hubungan bahasa dengan politik dan berbagai macam bahasa
dalam politik, tidaklah hanya berpedoman pada makalah ini, karena masih banyak
dari sumber-sumber lain yang menjelaskan tentang berbagai materi di atas. Kunci
daripada orang sukses adalah membaca, karena dengan membaca kita bisa tahu yang
mungkin tidak kita ketahui.
bgs
BalasHapus