Minggu, 28 Juni 2015

Bahasa dan Politik

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, bahasa itu hidup di dalam masyarakat dan dipakai untuk berkomunikasi. Kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam kemasyarakatan. Kelangsungan hidup sebuah bahasa itu sangat ditentukan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu, dengan kata lain budaya yang di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan keberadaan dari bahasa tersebut. Dengan itu kebahasaan berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia itu di dalam masyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial yang dimana setiap kegiatannya pasti membutuhkan peranan individu lain untuk dapat hidup bermasyarakat yang damai dan sejahtera. Untuk mencapai suatu kehidupan bermasyarakat ini maka Manusia memerlukan Bahasa untuk dapat berkomunikasi, karena yang paling penting dalam kehidupan adalah berkomunikasi untuk mencapai suatu tujuan dan supaya tidak terjadi salah paham diantara manusia yang melakukan komunikasi tersebut. Menurut Keraf (1997: 3) bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukankontrol sosial.Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa memang sangat penting digunakan. Karena bahasa merupakan simbol yang dihasilkan menjadi alat ucap yang digunakan oleh sesama masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktifitas kita menggunakan bahasa. Baik menggunakan bahasa secara lisan maupun secara tulisan dan bahasa tubuh.
Bahasa merupakan elemen yang sangat penting dari berbagai cabang ilmu yang ada termasuk bahasa Indonesia. Segala bidang ilmu selalu disampaikan melalui bahasa termasuk juga politik positivistic.
Politik mengandaikan pertikaian kepentingan berbagai lapisan kelompok sosial masyarakat. Di dalam dunia politik inilah bahasa tidak dapat lepas dari manipulasi politik yang dengan berbagai cara memanipulasi bahasa pula. Atau dengan kata lain, bahasa dijadikan alat manipulasi.
Asumsi dalam tulisan ini mengandaikan bahwa bahasa an sich dilepaskan dari fungsi dasarnya sebagai media komunikasi manusia. Bahasa menjadi tidak otonom. Sama seperti kemanusiaan manusia yang tidak otonom bila telah menjadi alat penindas demi suatu kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu bahasa menjadi tidak bebas nilai bila jatuh ke dalam kancah pertikaian politik kolektif. Setiap pernyataan politik selalu mempunyai tendensi tertentu. Manipulasi adalah kegiatan yang tidak bisa dihindarkan setiap institusi dan pribadi untuk mencapai tujuan dan kepentingan. Bahasa menjadi alat manipulasi.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah hubungan Bahasa dan Politik?                          
2. Apakah hubungan Bahasa dan konflik?                           
3. Apakah pengertian Bahasa sebagai alat manipulasi politik?     
4. Apakah yang dimaksud dengan Gejala Eufemisme?
5. Bagaimanakah Contoh Penggunaan Bahasa dalam Politik?               
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeksripsikan hubungan Bahasa dan Politik?                       
2. Mendeksripsikan hubungan Bahasa dan konflik?                        
3. Mendeksripsikan Bahasa sebagai alat manipulasi politik?     
4. Mendeksripsikan Gejala Eufemisme?
5. Mendeksripsikan Contoh Penggunaan Bahasa dalam Politik?
1.4    Manfaat Penelitian
1. Mengetahui hubungan Bahasa dan Politik?                     
2. Mengetahui hubungan Bahasa dan konflik?                      
3. Mengetahui Bahasa sebagai alat manipulasi politik?     
4. Mengetahui Gejala Eufemisme?
5. Mengetahui Contoh Penggunaan Bahasa dalam Politik?











BAB II PEMBAHASAN
2.1 Bahasa dan Politik
Bahasa dalam politik adalah sebuah senjata, para politikus sudah menguasai bahasanya untuk alasan penting yaitu kekuasaan, karena siapapun menguasai bahasa akan mempunyai kekuasaan. Bahasa yang digunakan dalam bidang politik supaya membuat kesan yang dapat dipercaya baik untuk politikus tersendiri maupun seluruh organisasi politik. Kesan yang baik sangat penting untuk karir politikus, mengunakan bahasa yang salah atau buruk dapat  menyebabkan seseorang tidak dipercaya oleh masyarakat. Bahasa juga alat yang paling penting untuk menyebarkan pesan politik kepada masyarakat. Selama kampanye pemilu para politikus dan aktivis menggunakan semboyan-semboyan tertentu supaya meyakinkan masyarakat mengenai isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Bahasa yang digunakan selama saat ini adalah ringkas, berani dan mudah diingat. Kadang-kadang pemerintahan akan dipilih karena semboyan yang sangat baik. Dengan adanya semboyan yang baik, maka rakyat akan memberikan kepercayaan kepada politikus tersebut.
Bahasa bisa mengubah cara orang-orang berpikir. Lewat propaganda pemerintah atau media massa yang menguasai pendapat umum, atau di sisi lain lewat bahasa perlawanan terhadap pemerintah digunakan para aktivis, bahasa emosi bisa mengubah pendapat masyarakat. Dalam perjuangan politik di antara pihak yang berbeda, bahasa adalah alat yang penting sekali. Politik juga mempengaruhi bahasa. Banyak kata dan ungkapan yang baru dikenalkan bidang politik, dan ada suatu kata-kata yang artinya dirubah kalau digunakan pemerintah. Misalnya, kalau politikus mengunakan kata dalam semboyannya, pengertian tambahan akan mengubah dan segera kata itu akan mengandung yang berbeda. Bahasa digunakan dalam bidang politik untuk banyak alasan dan dalam bermacam-macam cara. Bahasa bisa digunakan baik orang dalam politik maupun orang yang di luar struktur politik utama dan karena oleh itu, bahasa adalah terpenting alat dalam politik yang dapat dicapai kebanyakan orang.
Ungkapan Simbolik Secara singkat kita dapat mengatakan bahwa ungkapan simbolik menunjuk pada pesan bersifat verbal ataupun non verbal dengan makna-makna tertentu yang sangat lekat dengan nilai-nilai kultural serta filosofis. Tulisan ini lebih menitikberatkan pada ungkapan simbolik yang berupa bahasa verbal, yakni pernyataan-pernyataan dengan menggunakan kosakata tertentu yang dikemukakan oleh para elit politik Indonesia di berbagai kesempatan, terutama dalam kampanye dan wawancara dengan media massa.
Kaitan politik dan bahasa adalah kenyataan bahwa politik itu adalah kegiatan berbicara (baca: berbahasa). Seorang ilmuwan politik, Mark Roelofs (The Language of Modern Politics, 1967), mengatakan dengan sederhana, “Politik adalah pembicaraan, atau lebih tepat lagi berpolitik adalah berbicara.” Menurutnya politik tidak hanya pembicaraan, dan sebaliknya tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi hakekat pengalaman politik adalah kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.
Sudah barang tentu politik mempunyai dimensi moral-etiknya sendiri, karena politik pada dasarnya adalah kegiatan orang yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi kenflik kepentingan dan tujuan. Setiap setting politik senantiasa ditandai dengan perselisihan dan konflik.
Demikian pula halnya dengan bahasa. Bahasa mempunyai kekuatan dan dimensi emansipatoris, transformatif, dan terbuka di dalam penilaian moral-etis. Bahasa dapat menjadi jahat dan buruk. Bahasa dapat menindas, membelenggu dan menjajah kesadaran seseorang. Terutama bila digunakan sebagai sarana manipulasi dan indoktrinasi. Bahasa menjadi baik bila digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan membebaskan kesadaran manusia dari belenggu kebodohannya. Fenomena bahasa memiliki cakupan sosial politik. Itu sebabnya tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena bahasa mempunyai dampak yang langsung dan kuat terhadap realitas sejarah politik manusia.
2.2 Bahasa dan Konflik Politik
Banyak idiom dan jargon politik yang tadinya digunakan sebagai lambang dan simbol dari kondisi politik yang stabil berubah menjadi lambang dan simbol keadaan politik yang labil bersamaan dengan terjadinya gejolak dan perubahan politik suatu negara.
Plato bahkan mengatakan bahwa kalau penguasa menjadi otoriter, maka bahasa pasti akan menjadi kacau-balau. Kekacauan timbul akibat dari konflik kepentingan penguasa dan oposan. Oleh karena itu sumber kekacauan ada pada penguasa dan kaum oposan. Untuk melanggengkan struktur dan status quo, penguasa akan melakukan manipulasi politik melalui bahasa. Sebaliknya, kaum oposan yang menentang kebijaksanaan tersebut menciptakan manipulasi yang berseberangan dengan penguasa. Dari sinilah awal timbulnya kekacauan bahasa. Selanjutnya terjadi polarisasi bahasa yang tidak berasal dari bahasa itu sendiri, melainkan dari realitas pergolakan politik yang kemudian tercermin di dalam bahasa.
Kekacauan ini dapat diamati dalam perdebatan yang menggunakan jargon dan idiom antara pemerintah yang berkuasa dengan kaum oposan yang berada di luar pemerintahan. Contoh yang paling sering diperdebatkan misalnya: buruh-pekerja, breidel-pencabutan SIUP, kenaikan harga-penyesuaian harga, perempuan-wanita, PHK-pecat, dan lain-lainnya. Di dalam hal ini pihak pemerintah dan kaum oposan menggunakan terminologi, jargon ataupun idiomnya masing-masing sebagai ciri hubungan peran di antara mereka.
2.3 Bahasa Sebagai Alat Manipulasi Politik
Bahasa adalah sarana untuk menyingkap realitas personal dan komunal. Bahasa dapat memperdaya, menggusarkan, menggairahkan dan juga melumpuhkan manusia. Manusia bisa tersesat, kalah, menang dan selamat dengan atau di dalam bahasa. Dengan bahasa orang mendapatkan kesesuaian satu dengan yang lainnya sehingga tercipta harmoni dan kedamaian. Namun, dengan bahasa pula kedamaian dan harmoni dihancurkan lewat kesalahpahaman, makian, dan bahkan peperangan. Penggunaan bahasa tidak bisa dilepaskan dari tindakan manusia.
Di dalam politik manipulasi bahasa selalu terjadi. Kemampuan berbahasa sangat diperlukan dalam memanipulasi. Setiap manusia senantiasa memanipulasi dirinya dan orang lain bila ia terdesak oleh kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu memanipulasi itu baik adanya bila ditujukan bagi kepenitngan dan tujuan yang baik pula.
Memanipulasi pada dasarnya memang melanggar martabat dan kebebasan manusia. Akan tetapi manipulasi mempunyai dimensi etisnya sendiri, yaitu tidak boleh menggangu dan melanggar landasan martabat dan kebebasan manusia. Manusia di dalam kebebasannya bertanggung jawab bagi dan kepada diri sendiri.
Manipulator bahasa memang dominan ada pada politikus, karena seorang politikus dituntut untuk memperjuangkan kepentingan dan tujuan masyarakat yang telah mempercayakan dan memberikan kekuasaan kepadanya. Mereka dapat kita katakan sebagai seorang manipulator bahasa dan orator yang ulung. Hal ini dimungkinkan karena mereka mempunyai kinerja bahasa yang tinggi.
2.4 Gejala Eufemisme
Dalam hal ini akan menarik kiranya apabila kita mengaitkannya dengan penggunaan eufemisme di dalam politik. Eufemisme merupakan suatu gaya bahasa yang indah, yang bisa memperkaya khasanah kosa kata bahasa dan dapat pula menimbulkan pesona puitis. namun bahaya lain yang ditimbulkan oleh penggunaan eufemisme yang berlebihan untuk kepentingan politik adalah menjadi buta dan teralienasinya masyarakat terhadap realitas makna yang sesungguhnya. Di dalamnya terjadi deviasi makna. Di sini pula terjadi penjajahan kesadaran, cara berpikir, cara melihat dan cara menilai. Masyarakat diarahkan dan digiring menuju keseragaman bahasa atau kata oleh penguasa. Makna kata yang kasar, brutal, bombastis dan lugas disembunyikan di dalam eufemisme. Eufemisme menjalankan fungsi kontrol sosial-politiknya sehingga terjadi keterpedayaan sosio-politik di dalam masyarakat (Fransiskus Borgias, Basis, September 1994).
Manipulasi bahasa pada kenyataannya digunakan juga sebagai kontrol sosial-politik. Kontrol sosial-politik lewat bahasa oleh penguasa dilakukan dengan cara persuasif. Misalnya dengan membuat jargon-jargon pembangunan dan eufemisme yang dengan gencar diucapkan oleh para pejabat negara di dalam setiap kesempatan. Kemudian media massa menggemakan dan menggaungkannya ke masyarakat. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah terjajah dan terbelenggunya kesadaran dan pemikiran masyarakat akibat indoktrinasi bahasa pihak penguasa melalui media massa tanpa ada reservenya. Dengan keseragaman bahasa diharapkan pula stabilitas politik tetap terjaga, karena bahasa yang diucapkan masyarakat menjadi cermin dan indikator “keterpesonaan dan keterpedayaan”.
Sehubungan dengan itu, di dalam politik, bahasa adalah sebuah senjata, para politikus sudah menguasai bahasanya untuk alasan penting yaitu kekuasaan, karena siapapun menguasai bahasa akan mempunyai kekuasaan. Bahasa yang digunakan dalam bidang politik supaya membuat kesan yang dapat dipercaya baik untuk politikus tersendiri maupun seluruh organisasi politik. Kesan yang baik sangat penting untuk karir politikus, mengunakan bahasa yang salah atau buruk dapat  menyebabkan seseorang tidak dipercaya oleh masyarakat. Bahasa juga alat yang paling penting untuk menyebarkan pesan politik kepada masyarakat. Selama kampanye pemilu para politikus dan aktivis menggunakan semboyan-semboyan tertentu supaya meyakinkan masyarakat mengenai isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Bahasa yang digunakan selama saat ini adalah ringkas, berani dan mudah diingat. Kadang-kadang pemerintahan akan dipilih karena semboyan yang sangat baik. Dengan adanya semboyan yang baik, maka rakyat akan memberikan kepercayaan kepada politikus tersebut.
Bahasa bisa mengubah cara orang-orang berpikir. Lewat propaganda pemerintah atau media massa yang menguasai pendapat umum, atau di sisi lain lewat bahasa perlawanan terhadap pemerintah digunakan para aktivis, bahasa emosi bisa mengubah pendapat masyarakat. Dalam perjuangan politik di antara pihak yang berbeda, bahasa adalah alat yang penting sekali. Politik juga mempengaruhi bahasa. Banyak kata dan ungkapan yang baru dikenalkan bidang politik, dan ada suatu kata-kata yang artinya dirubah kalau digunakan pemerintah. Misalnya, kalau politikus mengunakan kata dalam semboyannya, pengertian tambahan akan mengubah dan segera kata itu akan mengandung yang berbeda. Bahasa digunakan dalam bidang politik untuk banyak alasan dan dalam bermacam-macam cara. Bahasa bisa digunakan baik orang dalam politik maupun orang yang di luar struktur politik utama dan karena oleh itu, bahasa adalah terpenting alat dalam politik yang dapat dicapai kebanyakan orang.
2.5 Contoh penggunaan Bahasa dalam Politik
Bahasa adalah alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, bahasa itu hidup di dalam masyarakat dan dipakai untuk berkomunikasi. Kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam kemasyarakatan. Kelangsungan hidup sebuah bahasa itu sangat ditentukan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu, dengan kata lain budaya yang di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan keberadaan dari bahasa tersebut. Kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam kemasyarakatan. Hubungan antara bahasa dan budaya seperti sebuah koin yang mempunyai dua sisi, mereka tidak dapat dipisahkan. Dengan itu kebahasaan berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia itu di dalam masyarakat.
Politik dapat dikenali melalui dua wajah yang saling inheren antara satu dengan lainnya. Pertama, dalam kalkulasi yang riil, politik merupakan persoalan siapa memperoleh apa Politik dalam pengertian ini, pada dasarnya berkenaan dengan penjatahan sumber daya. Dalam pandangan demikian politik lalu diyakini sebagai urusan kekuasaan (power). Dari sisi ini politik nampak sebagai upaya atau proses komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol atau kata lainnya adalah bahasa, penjatahan sumber daya serta bahasa. Dengan demikian, menjadi dua kunci pokok dalam setiap perbincangan mengenai politik dan dengan sendirinya, juga kekuasaan.
Dalam hubungan ini bahasa berfungsi sebagai alat yang digunakan oleh para aktor politik, terutama elite politik, untuk mencapai kondisi di mana penjatahan sumber daya dapat diterima oleh kalangan luas masyarakat, setidaknya sampai periode atau kurun waktu tertentu. Pada saat pemilu penggunaan bahasa politik begitu banyak. Periode ini rakyat dapat memilih Presiden dan wakil presiden secara langsung, mencermati “debat” calon presiden, dan berpartisipasi dalam pemilihan (memberikan suara) secara relatif bebas. Selanjutnya, periode ini juga ditandai oleh suatu hal yang menarik, yakni kesan bahwa penggunaan bahasa Indonesia oleh para elite politik, setidaknya sampai tingkat tertentu menunjukkan pergeseran ke arah semakin mengurangnya penggunaan ungkapan simbolik bahasa Jawa sementara kata-kata dari bahasa Inggris dan Arab nampaknya lebih banyak digunakan.
Hal demikian terutama disebabkan oleh keragaman latar belakang sosial dan kultural elite politik, termasuk para kandidat presiden dan wakil presiden serta yang duduk di jajaran kepengurusan partai politik. Tulisan singkat ini dimaksud hendak mendiskusikan bagaimana para elite politik kita menggunakan ungkapan-ungkapan simbolik dalam bahasa Indonesia di berbagai kesempatan serta bagaimana kemungkinan implikasi yang ada sehingga pembaca dapat mengetahui bahasa dalam politik.
Ungkapan simbolik sangat banyak digunakan dalam politik. Murray Edelman bahkan mengatakan bahwa “the most conspicuously democratic institution are largely symbolic and expressive in function” (Rotunda dalam Pawito, 2011:2). Hal demikian disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ungkapan simbolik dapat digunakan untuk mengungkapkan gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, dan persepsi-persepsi. Barangkali dapat dikatakan bahwa fungsi ini adalah fungsi yang paling umum dan mendasar. Kedua, Ungkapan simbolik dapat membawa signifikasi yang besar pada tataran individual. Misalnya ungkapan “partainya wong cilik”, ternyata dengan mudah menjadi rujukan yang melahirkan loyalitas yang dasyat di kalangan para pendukung PDI-P di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Ketiga, ungkapan simbolik dapat digunakan oleh para pemimpin dan elite politik untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa sesuatu atau mungkin banyak hal telah dilakukan. Hal ini sangat penting untuk tetap menjaga legitimasi sistem maupun yang lebih penting lagi yaitu kepemimpinan mereka.
Dalam konteks Indonesia, Pawito (2011:5) mengamati bahwa ada semacam proses jawanisasi terhadap bahasa Indonesia, terutama dalam hal penggunaan ungkapan simbolik sebagai kendaraan yang otonom untuk mengangkut gagasan-gagasan dan aspirasi.
Dalam pengamatan Pawito, proses termaksud mencakup beberapa faset. Pertama, pengkramaan, yakni penggunaan kata-kata bahasa jawa krama untuk menunjuk berbagai hal seperti sapta marga untuk tujuh prinsip etik yang harus dipatuhi oleh setiap prajurit, dan satya lencana untuk penghargaan atas pengabdian kepada negara. Kedua, penggunaan kata-kata bahasa jawa ngoko untuk berbagai praktek atau kecenderungan sosial-politik, secara bobrok, gontok-gontokan, dan berkiprah. Ketiga, netralisasi simbol-simbol revolusioner. Netralisasi ini pada dasarnya dilakukan dengan mengasimilasi simbol-simbol revolusi dengan simbol-simbol lain yang tidak/kurang berkaitan dengan revolusi. Dalam hal ini rupanya ada dua cara, menurut Pawito, yakni (a) mengubur kata-kata yang jelas mensimbolkan kekuatan revolusi, seperti revolusi, sosialisme, dan demokrasi seraya mengintrodusir istilah atau singkatan-singkatan (acronyms) seperti Jarek, Resopim, dan Usdek; dan (b) mengambil hakikat dari tindakan atau proses sehingga, misalnya, kata revolusi tidak identik dengan revolution, dan demokrasi tidak identik dengan democracy. Kecenderungan demikian suatu ketika mencuat melalui retorika Presiden Soekarno bahwa revolusi belum selesai. Dalam hubungan ini revolusi dimaknai bukan sebagai suatu proses sosial (social process) yang ditandai oleh sifat radikal, illegal, dan kebebasan (bahkan Soekarno menolak kebebasan) sebagaimana konsep revolution dalam bahasa Inggris biasa difahami (Schouls dalam Pawito, 2011:7), tetapi adalah sebagai suatu mentalitas (mentality) – yakni mentalitas terus mengupayakan perubahan, eksperimen, pembangunan dan penyempurnaan. Istilah revolusi dalam hubungan ini memiliki makna esoterik yang bersifat lokal. Keempat, image politik orang-orang jawa, menunjukkan kecenderungan proses yang bersifat siklis dan bukan linier.
Kendati waktu terus mengalir dan zaman terus berubah, namun bagi banyak orang jawa, perubahan yang ada atau terjadi memiliki pola yang relatif tetap: dari periode waktu yang penuh kegelapan (Zaman Edan, Age of Madness) lalu berubah menjadi penuh kegemilangan lagi, dan begitu seterusnya. Pandangan demikian membawa implikasi pemikiran bahwa politik dan kekuasaan berubah atau bergerak dalam pola siklis. Anderson mengamati pula bahwa bahasa politis Indonesia menuju proses asimilasi dan perubahan kharakter, dimana kosakata dari bahasa Belanda semakin tidak digunakan [oleh para elite politik], dan kesenjangan antara Jawa beserta tradisi-tradisinya dengan bahasa Indonesia bernuansa revolusioner serta aspirasi-aspirasinya cenderung menyempit.
Di atas sudah dikemukakan bahwa penggunaan ungkapan simbolik oleh elite politik Indonesia pada saat Pemilu menunjukkan gejala semakin ekstensifnya penggunaan kata-kata bahasa Inggris dan Arab sementara kosakata bahasa Jawa, kendati masih sering digunakan, terkesan semakin mengurang. Kian banyaknya ungkapan dalam bahasa Inggris oleh elite politik Indonesia menggantikan penggunaan ungkapan dalam bahasa Belanda oleh elite politik Indonesia periode menjelang dan awal proklamasi hingga akhir dekade 1960-an ini dicontohkan beberapa ungkapan yang digunakan oleh para elite politik.
1. Reward and punishment
Ungkapan simbolik dari bahasa Inggris ini tergolong populer  dan kerap digunakan oleh para elite politik Indonesia periode Pemilu 2004. Wiranto, kandidat persiden dari partai golkar, misalnya, pada kesempatan wawancara dengan wartawan Tempo Dimas Adityo mengatakan mengenai bagaimana cara memilih orang yang menduduki jabatan di lembaga-lembaga hukum: “Yang terpenting justru setelah kita pilih, setelah ia bersumpah dan mulai menjalankan tugasnya. Di situlah saya akan menilai apakah mereka benar-benar aparat yang bersih, yang bertanggungjawab. Itulah saat untuk memulai reward and punishment. Siapa yang menunjukkan dedikasi dan itikad baik untuk menjadi pejabat yang jujur, kita hargai; siapa yang tidak mampu menunjukkan itu, kita beri sanksi, bahkan hukuman”. Dapat dikatakan bahwa ungkapan ini kalau dilaksanakan secara konsisten, memungkinkan dihargainya prestasi serta dapat ditegakkannya keadilan.
2. Reformasi belum selesai
Ungkapan ini disampaikan oleh Amien Rais, kandidat presiden dari Partai Amanat Nasional, kepada Imam Prihadiyoko (wartawan Kompas) di kantornya Amien Rais mengatakan demikian dalam konteks menanggapi pandangan bahwa reformasi “semakin menyengsarakan rakyat.” Amien Rais dalam hubungan ini mengatakan bahwa gerakan reformasi bukan tanpa hasil.” Kebebasan pers, kebebasan politik, kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran, serta amandemen UUD 1945 merupakan sebagian dari hasil reformasi.” Ungkapan di atas mengingatkan kita akan pernyataan Soekarno dipenghujung dekade 1950 an dan awal 1960 an bahwa revolusi belum selesai seperti sudah disinggung sebelumnya. Amin Rais dalam hubungan ini terkesan bermaksud hendak menegaskan perlunya terus diupayakan perubahan-perubahan, keluar dari masa lampau yang kelam atau bobrok, menuju kondisi-kondisi yang lebih baik, yang lebih adil, dan lebih bermartabat; dan untuk itulah ia mencalonkan diri ikut berkompetisi dalam pemilu.
Kata reformasi dengan demikian memiliki makna esoterik yakni mentalitas dan upaya untuk terus melakukan perubahan. Betapapun kata reformasi ini berasal dari kata bahasa Inggris reformation yang dalam konteks polittik, biasanya dimaknai sebagai upaya melakukan perubahan menyeluruh (general overhaul) baik dikalangan pemerintahan maupun sistem yang ada. Kebebasan pers, kebebasan politik, kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran seperti dikemukakan oleh Amin Rais sebenarnya merupakan pilar dari demokrasi. Demokrasi tidak akan terwujud kalau tidak ada kebebasan seperti dimaksudkan tadi.
3. Pemerintahan yang efektif
Ungkapan ini disampaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, kandidat presiden dari Partai Demokrat (didukung oleh partai Bulan Bintang dan partai Keadilan dan Persatuan Indonesia), ketika menjawab pertanyaan wartawan kompas Budiarto Shambazy “Akhirnya suara itu dari rakyat, bukan dari partai karena sistem pemilihan langsung. Maka apabila saya terpilih yang segera saya lakukan adalah membentuk pemerintahan yang efektif yang sifatnya presidensial. Bagi saya bukannya dari mana yang bersangkutan berasal tetapi masalah kapasitas, intergritas, dan pengalaman,” demikian Yudhoyono mengatakan.
Ungkapan pemerintahan yang efektif bagi Yudhoyono adalah pemerintahan yang diwarnai dengan menggunakan istilah dari Yudhoyono sendiri, checks and balances…. Betul-betul perform, stable, dan mencapai sasaran….” (ibid). Untuk upaya ini Yudhoyono merencanakan akan membentuk pemerintahan koalisi terbatas dengan partai lain dan menggalang koalisi di parlemen, atau mengutip kata-kata Yudhoyono, “governing coalition dan parliamentary coalition…”. Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana dikenal banyak orang, bukan sekedar manusia jawa, terapi adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan AMN (lulusan terbaik th 1973), serta penah mengikuti pendidikan di Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas AS.
Susilo juga pernah bertugas ke Bosnia-Herzegovina, bergabung dengan pasukan pemeliharaan perdamaian PBB. Penggunaan ungkapan tadi menunjukkan kapasitas serta komitmennya sebagai kandidat presiden yang harus memiliki Plat form jelas. Check and Balances pada umumnya dipahami sebagai suatu kecenderungan dan mekanisme yang seimbang antara eksekutif (presiden) dan legislatif (parlemen-parlemen) sebagaimana dipersyaratkan dalam sistem politik demokratis.
4. Strong leader
Ungkapan ini dikemukakan oleh Wiranto. Menurut Wiranto, strong leader tidak identik dengan militer kendati di jajaran militer istilah ini memang dikenal. Strong leader bagi Wiranto adalah pemimpin yang memiliki dua kemampuan sekaligus: pemikir dan komandan (pengatur pelaksana). Pemikir adalah pembuat rencana-rencana strategis termasuk penentu/perumus tujuan jangka menengah dan panjang, sementara komandan adalah pelaksana rencana-rencana bersangkutan. “Strong Leader mesti konsisten, transparan, dan membangun kepastian dalam mengambil keputusan”.
Pada kesempatan lain, Wiranto mengatakan bahwa strong leader adalah “pemimpin yang berani mengambil keputusan pahit, yang mungkin saja tidak popular” (Tempo edisi pemilihan presiden, 30 juni 2004:30-31). Ungkapan simbolik strong leader walaupun per definisi, seperti baru saja dikemukakan, tidak harus selalu diasosiasikan dengan laki-laki, namun dapat memiliki implikasi bias gender dalam setting budaya Indonesia, termasuk dalam konteks kompetisi calon presiden. Kata strong (kuat dalam bahasa Indonesia) lebih banyak, walau tidak selalu berasosiasi dengan laki-laki ketimbang dengan perempuan. Pemaknaan ungkapan strong leader yang mencerminkan kecurigaan sebagai implikasi dari kemungkinan adanya bias jender, misalnya dari Megawati Soekarnoputri. Kandidat presiden dari PDI-P ini mengatakan bahwa “kalau ada yang mengatakan kita perlu strong leader, saya jawab, “Kalau begitu saya memang tidak bisa’. Soalnya perempuan selalu dikonotasikan lembek, lemah lembut, ngomong-nya pelan…” (Kompas, 2 juni 2004:11).
5. Kekuasaan adalah amanah
Ungkapan ini dikemukakan oleh banyak sekali elite politik kita, termasuk Amin Rais. Amin Rais, misalnya, mengatakan bahwa kekuasaan adalah bukan kesempatan untuk memerintah, tetapi “merupakan amanah dan tanggung jawab yang harus dijalankan dengan jujur, berani, dan cerdas. Amanah melayani masyarakat untuk menjamin serta menyejahterakan orang yang dipimpin” Kompas,4 juni 2004). Kata amanah berasal dari kata bahasa Arab yang kurang-lebih berarti titipan tanggung jawab. Dalam Al-Quran (2:30) misalnya, disebutkan bahwa Sang Maha Kuasa menitipkan amanah kholifah (tanggung jawab memimpin, mengelola, memakmurkan) di bumi kepada manusia. Dapat dimengerti bahwa Amin Rais banyak menggunakan kata amanah ini, bahkan partai yang dipimpinnya bernama Partai Amanat Nasional (PAN), karena Amin memiliki latar belakang sebagai pemimpin organisasi sosio-kultural Muhammadiyah. Kendati pun demikian, Amin Rais adalah bukan hanya orang yang memiliki latarbelakang ethnis Jawa dan lama berkecimpung serta pernah memimpin Muhammadiyah, tetapi ia juga seorang ahli ilmu politik (bergelar Ph D) tamatan Universitas Chicago,AS.

6. Insya Allah
Ungkapan simbolik ini merupakan kata-kata bahasa Arab yang paling banyak digunakan oleh para elit politik Indonesia periode Pemilu 2004. Yusuf Kalla (kandidat wakil Presiden bersama Yudhoyono), misalnya menggunakan ungkapan ini pada ksempatan berkampanya di lapangan Benu Kendari hari minggu 6 juni 2004.”Saya dan Pak Susilo Bambang Yudhoyono kalau diberi kepercayaan untuk memimpin bangsa ini, Insya Allah akan membawa bangsa ini ke arah yang lebih maju” (Republika, Senin 7 juni 2004:9). Agum Gumelar, kandidat wakil presiden bersama Hamsah Haz, juga menggunakan ungkapan ini pada kesempatan pengukuhan kandidat di Lapangan Tenis Indoor, Senayan Jakarta Rabu 12 Mei 2004. Ketika itu Agum mengatakan:”Insya Allah, bersama-sama Pak Hamzah dan saudara-saudara, saya siap membawa bangsa ini; hari ini lebih baik daripada kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini (Republika,13 Mei 2004:1).
Ungkapan ini secara umum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: sekiranya Allah menghendaki. Kendati demikian makna dari ungkapan ini adalah merefleksikan akhlak mulia berkhitmad kepada Sang Maha Kuasa: bahwa segala sesuatu terjadi atas kuasaNya, dan yang dapat diperbuat oleh manusia adalah sebatas berupaya dan berdo’a. Ungkapan ini dapat dikatakan memiliki implikasi sikap rendah hati dan bukan congkak, seraya mengharap pertolongan Sang Maha Kuasa menyertai upaya dan do’anya.
7. Amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak kepada kebajikan mencegah kemungkaran)
Penggunaan ungkapan simbolik bahasa Arab ini sebenarnya sudah lama mewarnai rethorika elite politik Indonesia. Muhammadiyah sebagai suatu organisasi sosio-kultural memiliki semboyan ini. Dalam konteks Pemilu 2004, ungkapan ini tidak hanya digunakan oleh elite politik dari PAN semata tetapi juga elite politik dari partai lain. KH Nur Muhammad Iskandar SQ Ketua Tim Sukses Mega-Hasyim Banyumas, misalnya, menggunakan ungkapan ini pada kesempatan pernyataan dukungan 100 pengasuh pondok pesantren Banyumas untuk Mega-Hasyim Jum’at 28 Mei 2004. “Kita ingin menegaskan bahwa pasangan Mega-Hasyim tetap akan memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar. Selama ini kan seperti ada anggapan kalau PDI-P itu begini-begitu, tetapi kita lihat sekarang sudah ada perbaikan”, demikian ia mengatakan (Kompas,30 Mei 2004:11).


8. Ijtihad (perbedaan pendapat untuk mencari keputusan)
Ungkapan berasal dari bahasa Arab ini memang tidak terlalu sering digunakan oleh elit politik Indonesia periode pemilu 2004 dibandingkan dengan ungkapan bismillah (dengan menyebut nama Allah), atau ungkapan bahasa Arab lain seperti di atas telah dikemukakan. Namun demikian, ungkapan ini suatu ketika menjadi sangat esensial sifatnya terutama dalam konteks persoalan internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai yang dikenal sangat disiplin ini tiba saatnya harus membuat keputusan memberikan dukungan resmi kepada salah satu pasangan kandidat Amin Rais-Siswono Yudohusodo. Keputusan ini terkesan agak terlambat sehingga sebagian para pendukung dan simpatisan nyaris mengambil keputusan sendiri-sendiri, seperti misalnya Sekjen Anis Matta yang condong kepada pasangan Wiranto-Solahuddin Wahid. Menanggapi keputusan ini, Anis Matta mengatakan: “Masalah ini adalah ijtihad (mencari keputusan) politik yang bebas dilakukan asal sesuai dengan prosedur”. Dalam hubungan ini Anis Matta menegaskan selanjutnya bahwa “keputusan PKS tersebut tidak akan menimbulkan perpecahan dan sama sekali tidak menunggu hubungan personal maupun mekanisme organisasi.
9. Habluminallah, habluminannas (jalinan hubungan dengan Allah dan jalinan hubungan dengan manusia)
Ungkapan ini banyak digunakan oleh elite politik Indonesia yang berlatar belakang sosio-kultural Islam. Hamzah Haz, misalnya menggunakan ungkapan ini pada kesempatan wawancara dengan Setiyardi, wartawan Tempo. Menjawab pertanyaan tentang apakah Hamzah Haz akan menerapkan syariat Islam apabila memenangkan pemilu, Hamzah mengatakan: “Bagi saya, ideologi Pancasila sudah final. Itu tidak bisa diganggu gugat lagi. PPP memang sangat kental dengan Islam. Tapi Pancasila juga punya “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itu merupaka dasar untuk kita berhabluminallah dan ber-habluminannas. Jadi, tidak ada masalah antara Pancasila dan Islam” (Tempo,edisi pemilihan presiden,30 Juni 2004:131). Beberapa Implikasi Dari contoh-contoh diatas kita memperoleh kesan bahwa latar belakang ethnis (suku) tidak dengan sendirinya mempengaruhhi pola penggunaan ungkapan simbolik para elite politik; tetapi latar belakang sosial dan kultural kiranya yang lebih berpengaruh.
Amin Rais dan Susilo Bambang Yudhoyono pada dasarnya memang tokoh berasal dari ethnis atau suku Jawa; tetapi karena memiliki pendidikan dan pengalaman pergaulan antar bangsa maka didalam berbahasa Indonesia di berbagai kesempatan kerapkali menggunakan ungkapan simbolik bahasa Ingggris. Ungkapan simbolik yang berasal dari bahasa Jawa relatif kurang mereka gunakan. Hal demikian mirip dengan pola berbahasa Indonesia para founding fathers dan elite politik Indonesia periode sebelum dan awal proklamasi sampai akhir dekade 1960-an yang kerap kali diwarnai dengan penggunaan ungkapan simbolik dalam bahasa Belanda. Soekarno, misalnya menggunakan ugkapan-ungkapan dalam bahasa Belanda (di samping ungkapan dalam bahasa Jawa, Arab dan Inggris), seperti zonder weerga (tiada bandingnya), op leven en dood ([persoalan tentang] hidup dan mati), vereenig en regeer (bersatu dan berkuasa, sebagai tandingan dari verdeel en heers, memecah belah dan menguasai atau divide et impera) (periksa, misalnya IR. Soekarno, 1965).
Selanjutnya, karena Amin Rais, Anis Matta, dan juga Hamzah Haz, pada dasarnya adalah tokoh-tokoh yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan kultural Islam, maka di dalam berbahasa Indonesia mereka sering menggunakan ungkapan simbolik dalam bahasa Arab, di samping bahasa Inggris. Bahasa yang digunakan dalam Al Qur’an-kitab suci agama Islam, seperti kita ketahui adalah bahasa Arab. Banyaknya ungkapan bahasa Inggris dan Arab dalam bahasa Indonesia yang digunakan oleh elite politik Indonesia seiring dengan mengurangnya penggunaan ungkapan bahasa Jawa kiranya, setidaknya sampai tingkat tertentu, dapat dikatakan sebagai pertanda bagi semakin berkembangnya demokrasi pada masyarakat kita. Demokrasi mensyaratkan kesederajadan (equality) (lihat misalnya Modelski 1992:1353-1367). Bahasa Inggris dan Arab, sebagaimana kita ketahui bersama, lebih mengkondisikan sifat kesederajadan dibandingkan dengan bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki hierarki yang meliputi krama inggil, krama madya, dan ngoko. Kata dalam bahasa Indonesia kamu atau engkau, misalnya, ke dalam bahasa Jawa dapat diterjemahkan menjadi kowe (kalau digunakan untuk berbicara dengan orang yang sederajat), sampeyan (untuk orang yang dihormati), dan panjenengan (untuk orang yang sangat dihormati).
Sementara itu, kata kamu dikenal dengan you dalam bahasa Inggris, dan anta dalam bahasa Arab. Kalau sekiranya hipotesa yang mengatakan bahwa bahasa yang digunakan menentukan cara berfikir (hipotesa Sapir-Whorf) dan cara berfikir pada gilirannya menentukan cara bersikap dan bertindak, maka kecenderungan demikian juga akan berimplikasi terhadap pola-pola hubungan dan komunikasi dalam masyarakat. Jalinan hubungan antar idividu akan semakin ditandai oleh sifat egalitarian, dan pola komunikasi akan semakin bersifat trasaksional. Media massa dalam pada itu akan relatif semaki independent dalam mendefinisikan peristiwa serta isu-isu, dan khalayak secara relatif akanlebih memiliki kebebasan untuk mentafsirkan dan merespon pemberitaan-pemberitaan media. Kendati pun demikian, kecenderungan demikian secara potensial juga dapat membawa konsekuensi semakin terkikisnya nilai-nilai ethika budaya Jawa yang sudah sering dikeluhkan lewat ungkapan wong jowo ilang Jawane. Kecenderungan diatas dapat dilihat melalui semakin kentalnya nuansa ekspresi yang serba eksplisit (jelas, tegas), langsung kepada sasaran (to the point), dan provan (lugas, tanpa basa-basi), baik dalam menyampaikan kritik, maupun dalam menyampaikan aspirasi-aspirasi.


















BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
Ungkapan simbolik bahasa Inggris dan Arab dalam bahasa Indonesia yang digunakan oleh elite politik menunjukkan bahwa bahasa politis Indonesia, seperti dikatakan oleh Aderson di atas masih sedang menuju proses asimilasi dan perubahan kharakter. Ungkapan-ungkapan simbolik bahasa Belanda tidak digunakan lagi, dan penggunaan ungkapan bahasa Jawa semakin mengurang.
Ungkapan simbolik bahasa Indonesia (Melayu) yang bersifat revolusioner (seperti gugur satu tumbuh seribu, semangat menggelora, dan api perjuangan) juga terkesan semakin memudar, mungkin karena kehilangan relevansi.
Ungkapan simbolik dalam bahasa politik diantaranya ialah mikul dhuwur mendhem jero, jer basuki mawa beyo, diobok-obok, grusa-grusu (tidak berfikir cermat), muluk-muluk (utopia, tidak realistis), digodog (dikaji,diproses), dan anjlok (turun drastis), ”Marilah kita memilih presiden dengan pikiran yang jernih, dengan mata hati, tidak grusa-grusu, karena taruhannya panjang, lima tahun ke depan. Saya sudah bekerja keras selama tiga tahunan terakhir, apakah tidak dilihat kemajuan dibandingkan dengan ketika saya masih menjabat sebagai wakil presiden?”, Dibutuhkan kesiapan mental serta jalan keluar untuk mengantisipasi perubahan sehubungan dengan kecenderungan pola hubungan antar individu yang lebih egaliter dan komunikasi yang transaksional. Nuansa guyub akan semakin memudar, dan sebagai gantinya yang lebih dominan adalah nuansa pamrih, yang secara sederhana dapat diungkapkan:”okey, kalau saya mau begitu, saya mendapat apa?”.
3.2 Saran

Dalam makalah ini penyusun memberi saran kepada pembaca bahwa untuk memperluas wawasan pembaca dalam memahami hubungan bahasa dengan politik dan berbagai macam bahasa dalam politik, tidaklah hanya berpedoman pada makalah ini, karena masih banyak dari sumber-sumber lain yang menjelaskan tentang berbagai materi di atas. Kunci daripada orang sukses adalah membaca, karena dengan membaca kita bisa tahu yang mungkin tidak kita ketahui.

1 komentar: