Sejarah Aksara Arab Melayu
Aksara
Jadi, atau lebih akrab di telinga orang Melayu dengan sebutan aksara Arab
Melayu adalah modifikasi aksara Arab yang disesuaikan dengan bahasa Melayu di
seantero Nusantara yang silam. Munculnya akasara ini merupakan akibat dari
pengaruh budaya Islam yang lebih dulu masuk dibandingkan pengaruh budaya Eropa
pada zaman kolonialisme. Aksara ini dikenal sejak zaman kerajaan Samudera
Pasai, Kerajaan Malaka hingga Riau.
Berbicara tentang huruf atau
aksara Arab Melayu yang dipergunakan sebagai skrip untuk bahasa Melayu di
kawasan Asia Tenggara. Berarti bermula dari pembicaraan tentang peranan bahasa
Arab sebagai komunikasi 150 juta orang Asia Barat dan Afrika Utara yang terdiri
dari 22 negara (Liga Negara-negara Arab).
Di bawah payung agama Islam,
bahasa Arab mempengaruhi sekaligus turut menentukan perkembangan bahasa Persia,
Turki, Urdu, Melayu, Hausa, dan Sawahili. Bahasa Arab menyumbang menyumbang
40-60 persen kosa kata untuk bahasa tersebut. Atas dasar itu dapat dipertegas
bahwa bahasa Arab merupakan bahasa religius 1 miliar muslim di seluruh dunia,
yang diucapkan dalam ibadah sehari-hari. Bahasa ini pulalah menjadi julangan
bahasa kebudayaan Islam yang diajarkan pada beribu-ribu sekolah di luar dunia
Arab, mulai dari Segenal sampai Filifina dan dari daerah Balkan sampai ke
Madagaskar.
Dalam hubungannya dengan dunia
Melayu, khususnya Indonesia, di tengah warisan kebudayaan Indonesia masa lalu,
yang dapat ditelusuri melalui naskah-naskah menunjukkan kuatnya pengaruh bahasa
dan tulisan Arab. Kekayaan naskah itu mempunyai dimensi dan makna yang jauh
lebih luas. Karena merupakan hasil tradisi yang melibatkan berbagai
keterampilan sikap budaya orang Indonesia. Berbagai sitem tulisan yang dipakai
di Indonesia sepanjang sejarah, baik tulisan tipe India, Arab, dan Latin, masih
kabur sejarahnya. Sebagai contoh, belum diketahui secara jelas sejarah
perkembangan dan penyebaran tulisan Arab Melayu (Pegon dalam istilah Jawa dan
Jawo menurut istilah Aceh). Salah satu bahasa lokal yang paling banyak menerima
pengaruh bahasa Arab, khususnya pada peristilahan dan aksara, adalah bahasa
Melayu, yang kemudian diangkat menjadi bahasa nasional (Indonesia, Malaysia,
Brunei).
Dalam https://adedharmawi.wordpress.com/2009/06/22/riau-negeri-shahibul-kitab/ dikatakan bahwa sejarah
dan perkembangan aksara Arab Melayu di Nusantara berkisar antara tahun 1930-an
sampai menjelang tahun 1980-an. Menghadapi gejala yang memprihatinkan ini,
kerajaan Malaysia melalui Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan
mengeluarkan kebijakan politik budaya menghidupkan dan mengembangkan kembali
keberadaan aksara Arab Melayu (Jawi) secara nasional. Sedangkan di Indonesia
pada rentang tahun yang sama mengalami kemunduran yang sangat mengkhawatirkan
bahkan berada pada garis menuju kepunahan. Kalaupun ada buku-buku beraksara
Arab Melayu yang beredar di Indonesia pada masa ini hanyalah sisa hasil cetakan
lama dari penerbit/ percetakan seperti Al-Idrus (Jakarta; Maktabah wa Mathbaah
Karya Thoha Putra, (Semarang), Maktabah wa Mathbaah Salim Nahban, Maktabah
Muhammadiyah bin Ahmad bin Naharwa Auladuh, (Surabaya), Pondok Pesantren
Rasyidiyah Khalidiyah. Pondok Pesantren Darus Salam Martapura, Toko Buku
Amanah, Toko Buku Murdani (Banjarmasin), dan lain-lain.
Tulisan Arab
Melayu Di Provinsi Riau
Tulisan Arab Melayu merupakan huruf
Arab yang di robah bunyinya kedalam bahasa Arab Melayu. Tulisan Arab Melayu di
bagian Sumatera itu tidak sama namanya dengan tulisan Arab Melayu dengan yang
ada di Jawa, karena di Jawa yang Arab Melayu di sebut Begon sedangkan kalau di
Sumatera di kenal dengan Arab Melayu. Mengenai tulisan Arab pernah di bicarakan
oleh Othman Mohd Yatim yang mengatakan bahwa diantara sumbangan Islam yang
besar bagi rakyat kepulauan Melayu Indonesia ialah dampaknya kepada
perkembangan bahasa Melayu. Dengan kemajuan Islam dan konsekwensinya
kerajaan-kerajaan Melayu menganut agama Islam maka tulisan Arab dan tulisan
Jawi dikenalkan dan diterima oleh orang Melayu sebagai media penulisan bahasa
Melayu.
Dari
apa yang di katakana oleh Mohd Yatim di atas dapat kita ketahui bahwa tulisan Arab Melayu telah lama ada dalam
khasanah kebudayaan Melayu yang diperkirakan sekitar abad ke 10 Masehi atau 3
Hijrah hingga kemasa kini dan ia berasal dari pada tulisan Arab. Keberadaan
tulisan Arab Melayu di Nusantara
identik dengan penyebaran Islam ke daerah melayu. Memang pada saat Islam
menguasia daerah perdangan itu bahasa Arab Melayu dijadikan sebagai bahasa
pengantar atau bahasa resmi Nusantara.
Bukti kongkrit dari tulisan Arab
Melayu ini adalah dengan di temukannya Batu
Bersurat yang di buat pada tahun 1303 atau abad 14 di Terengganu. Isi
tulisan dari Batu Bersurat yang berbahasa Arab Melayu ini adalah menyatakan
bahwa prasasti Tamra ini ditempatkan di Benua Terengganu atas perintah Seri
Paduka pada hari Jum’at pertama 4 Rajab tahun Saratan Baginda Rasul Allah tujuh
ratus dua (Jum’at, 4 Rajab 702 atau Jum’at 22 Februari 1303). Sedangkan bukti
yang kedua adalah di temukannya syair tentang keislaman yang di tulis dalam
bahasa Arab Melayu pada tahun 1310 abad 14 di masa kekhalifahan Samudera Pasai
dan kekhalifanhan Islam di Semenanjung Malaka.
Pengaruh tulisan Arab Melayu ini
semakin berkembang pada masa kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan
Sultan Alauddin Ri’ayat Syah (1589-1604 M) dan masa puncaknya pada masa Sultan
Iskandar Muda (1607-1636). Perkembangan ini nampak betul pada abad ke 17 dimana
dengan adanya ulama yang menyebarkan agama Islam di Nusantara sehingga seluruh
wilayah Indonesia mempunyai naskah yang berbahasa Arab Melayu.
Di daerah Aceh itu ada pemikir ahli
agama dan sastrawan yang terkenal seperti Hamzah Fansuri dengan karangannya
Syarab al-Asyikin, Asra al-Arifin dan Al-Muntahi, Kitab Syarab al-Asyikin (minuman orang Birahi) di angap karyanya yang
paling pertama dan sekaligus di tulis dalam bahasa Melayu. Sedangkan ulama yang
terkenal di Aceh dalam menulis naskah
yang berbahasa Arab Melayu adalah Syamsuddin Al-Sumatrani, Al- Singkili dan
sastrawan lainnya. Bahkan Hamzah Fansuri pernah mengatakan bahwa ia banyak
menerjemahkan kitab-kitab dalam bahasa Arab dan Persia ke dalam bahasa Arab
Melayu untuk bangsanya yang tidak mengenal bahasa Arab dan Persia. Selain di
Aceh ada juga ulama-ulama palembang seperti Syihabuddin, Kemas Fakhruddin, Muhammad
Muhyiddin, Kemas Muhammad, dan yang paling menonjol adalah ‘Abdussamad
Al-Palimbani dengan karyanya dalam bahasa Melayu ialah Zuhrat Al-Murid fi Bayan Kalimat Tauhid yang membahas tentang
logika.
Selanjutnya perkembangan aksara Arab
Melayu dapat di lihat di berbagai daerah di Nusantara seperti Jawa, Nusa
Tenggara Barat, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Persebaran ini di lakukan
oleh ulama-ulama yang merupakan penulis kitab-kitab yang berbahasakan Arab
Melayu ini biasanya berbentuk naskah yang sebagaimana masih ada sebahagian
dapat kita jumpai pada zaman yang modren ini. Sedangkan tulisan pada naskah di
Nusantara pada umumnya berbentuk huruf Sulus, Naskhi dan Nasta’liq.
Sementara di daerah Provinsi Riau
juga ada tulisan Arab Melayu yang berpusat di Pulau Penyengat sejak abad 18-19
M. Tokoh yang terkenal diantaranya adalah Engku Haji Ahmad, dan putranya yang
bernama Ali Haji. Adapun karyanya adalah Sair Hukum Nikah, Syair Hukum Fara’id dan lain sebagainya. Raja Ali Haji
juga membuat karya tulis yang bersifat panduan untuk raja-raja di bidang
ketatanegaraan dan nasehat seperti Samarat
Al-Muhimmah Diyafah lil-‘umara wal-Kubara li Ahlil-Mahkmah, Syair Nasihat,
dan Gurindam Dua Belas.
Selain Raja Ali Haji dan ayahnya
Engku Haji Ahmad ada pengarang yang terkenal diantaranya Raja Daud bin Raja
Ahmad yang mengarang Syair Pangeran
Syarif Hasyim dan Encik Kamariah yang menulis tentang Syair Sultan Mahmud di Lingga.
Memanglah tidak lengkap rasanya
kalau kita berbicara tentang tulisan Arab Melayu di Provinsi Riau tampa
menyebutkan seorang intelek yang terkenal sampai penjuru dunia karena
karya-karyanya. Dialah Raja Ali Haji yang bernama lengkap Tengku Haji Ali
al-Haj bin Tengku Haji Ahmad bin Raja Haji Asy-Syahidu fi Sabilillah bin Upu
Daeng Celak ini dilahirkan pada tahun 1808 di Pulau Penyengat pusat Kesultanan
Riau-Lingga (kini masuk dalam wilayah Kepulauan Riau, Indonesia). Sekilas
tentang Pulau Penyengat. Dalam buku-buku Belanda, pulau kecilini disebut Mars.
Menurut masyarakat setempat, nama pujian-pujian dari pulau ini adalah Indera
Sakti. Di pulau ini banyak terlahir karya-karya sastra dan budaya Melayu yang
ditulis oleh tokoh-tokoh Melayu sepanjang abad ke-19.
Jadi dapat kita lihat bahwa pada
masa Kesultan Raja Ali Haji tulisan Arab Melayu telah melekat pada dirinya itu
didasarakan dengan hasil karyanya yang banyak kita jumpai dalam bentuk naskah
yang mengunakan bahasa Arab Melayu. Memang kalau kita lihat keluarga dari Raja
Ali Haji ini merupakan keluarga yang terdiri dari orang-orang terpelajar dan
suka dengan dunia tulis-menulis. Anggota keluarganya yang pernah menghasilkan
karya adalah Raja Ahmad Engku Haji Tua, Raja Ali Haji, Raja Haji Daud, Raja
Salehah, Raja Abdul Mutallib, Raja Kalsum, Raja Safiah, Raja Sulaiman, Raja
Hasan, Hitam Khalid, Aisyah Sulaiman, Raja Ahmad Tabib, Raja Haji Umar, dan Abu
Muhammad Adnan.
Raja Ali Haji meninggal dunia di
Riau pada sekitar tahun 1873. Beliau ditetapkan oleh pemerintah Republik
Indonesia sebagai pahlawan negara pada tahun 2006. Adapun karnya dari Raj Ali
Haji adalah sebagai berikut:
1. Salasilah Melayu dan Bugis (1890)
2. Tuhfat al-Nafis (1865)
3. Bustanul-Katibin
4. Kitab Pengetahuan Bahasa
5. Gurindam Dua Belas
6. Syair Siti Shianah
7. Syair Suluh Pegawai
8. Syair Hukum Nikah
9. Syair Sultan Abdul Muluk.
Tulisan Arab Melayu ini mulai
meredup saat pada masa Kolonial Belanda datang ke Nusatara pada tahun 1595 di
bawah pimpinan Cornelis de Houtman. Hal ini lah menyebabkan tulisan Arab Melayu
di Provinsi Riau khususnya juga meredup apa lagi pada abad 19 Belanda melakukan
penjajahan terhadap dareah jajahannnya ini di tandai dengan berakhirnya VOC.
Pada masa Kolonial Belanda keadaan
tulisan Arab Melayu mulai tersingkirkan ini di mulai pada tahun 1960 an yang
setiap orang di tuntut untuk mampu membaca huruf Latin. Sehingga semua kitab
pelajaran pada sekolah pribumi baik yang umum, Madrasyah dan Pasentern mulai
dirambah oleh tulisan Latin yang merupakan aksara dari bangsa Eropa yang di
bawah Belanda ke Nusantara. Di tambah lagi pada tahun 1980 an keberadaan tulisan
Arab Melayu secara nasional seakan dijajah oleh adanya pemberantasan dalam
menghilangkan aksara Arab Melayu dan beralih ke bahasa Latin. Sehingga seluruh
masyarakat diajarkan memabca huruf Latin dan jika ada yang tidak bisa bahasa
Latin maka mereka di cap sebagai orang yang buta aksara sekalipun mereka lancar
dalam berbahasa Arab Melayu. Artinya pada masa itu (Kolonial) kita itu di
wajibkan untuk berbahasa Latin dan tidak mengakui lagi bahwa aksara Arab Melayu
sebagai bahasa bangsa kita sendiri yang mana telah melekat pada masyarakat
kita.
Contoh yang kongkrit mengenai
meredupnya aksara Arab Melayu pada masa Kolonial Belanda dapat kita lihat
dengan adanya penulisan sejarah yang di lakukan dari pihak Belanda yang
mengunakan aksara Latin. Di mana Belanda memandang bahwa masyarakat Indonesia
ini adalah masyarakat yang suka memberontak terhap pemerintahan belanda. Kenapa
Belanda mengatakan demikian karena Belanda pada saat itu yang berkuasa sehingga
apa yang baik saja di tuliskan saat belanda menjajah Nusantara. Sedangkan dari
pandangan masyarakat Indonesia pemerintahan Belanda adalah orang yang kafir
sehingga terjadi perperangan antara Belanda dan masyarakat Indnesia.
Begitu besar pengaruh tulisan Latin
yang sehingga meredupkan tulisan Arab Melayu, hal ini dapat kita lihat dimana
semua sumber tentang Nusantara itu banyak terdapat di Belanda dan kalau seorang
sejarahwan ingin menulis sejarah tentang Nusantara itu pasti sumbernya banyak
dari bangsa Belanda yang mengunakan aksara latin. Bahkan pengaruh aksara latin
itu masih kita lakukan seperti yang kita baca sekarang adalah mengunakan aksara
latin. Koran-koran, majalah-majalah, buku-buku ilmiah, puisi-puisi,
surat-surat, dan lain sebagainya itu di masa sekarang telah mengunakan aksara
latin. Satu lagi pengaruh aksara latin yang dibawah Belanda adalah kita seorang
mahasiwa jurasan sejarah itu harus belajar Bahasa Belanda khusunya bagi jurusan
sejarah kosentrasi Indonesia dan Asia Tenggara.
Kalau kita di Provinsi Riau pada
dewasa ini tulisan Arab Melayu juga tidak begitu di kenal lagi. Bahkan sebagian
masyarakat tidak bisa membaca huruf Melayu dan bahkan mereka tidak tahu kalau
seprti ini huruf Arab Melayu yang sama denga hruf Arab, Cuma mereka tahu kalau
seprti ini adalah huruf Arab. Sedangkan di sekolah-sekolah Pasentren yang lebih
kuat agamanya tidak lagi belajar tulisan yang berbahasa Arab Melayu mereka
hanya belajar bahasa Arab seperi kitab gundul, nahu, dan kitab kuning apalagi
di sekolah umum. Wajar saja kalau generasi sekarang khusunya pemuda-pemudi
tidak pandai berbahasa Arab Melayu bahkan ada juga yang tidak pandai membaca
Al-Qur’an. Disini kita bisa menyalah siapa yang salah baik itu dari pihak
pemerintah maupun masyarakat biasa, yang pasti itu merupakan keselahan kita
semua. Kenapa bahasa khas Nusantara kita yaitu bahasa Arab Melayu kita
hilangkan. Apakah dengan berkembangnya zaman tulisan aksara Arab Melayu ini
tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Kalau kita lihat tidak juga ketinggal
dalam bentuk penulisan bahkan dengan adanya penulisan Arab Melayu ini itu
sangat membantu kita dalam membaca ayat-ayat suci Al-qur’an dan juga memberikan
kita pahala karena kita selalu menulis dengan mengunakan huruf-huruf yang di
turunkan Allah SWT.
Cuma di sini kita berharap kepada
pemerintah yang selaku mengatur masyarakat, selaku orang yang dahululan
selangkah, dan seperti orang yang tinggi seranting untuk sesuatu hal yang baik
dan bermanfaat baik dunia dan akhirat. Mudahan dimasa yang akan datang
masyarakat Riau dan Indonesia umumnya bisa lagi memahami aksara Arab Melayu
yang mungkin selama ini telah kita tinggalkan. Semoga di hari kedepan seluruh
anak bangsa tidak lagi mengetahui aksara Arab Melayu apa lagi tidak bisa
membaca al-Qur’an. Juga supaya generasi bangsa ini bisa mengetahui bagaimana
sejarah bangsa ini di masa dahulu, bagaimana perjuangan umat Islam pada masa
dahulu dan masuk Islam kenusantara ini.
Meski di sebagian daerah di
Nusantara di daerah Provinsi Riau khususnya bahasa Arab melayu ini memang sudah
mulai menghilang. Meski sebagain daerah di Riau tidak lagi mengenal Arab Melayu
namun juga ada daerah yang masih memakai bahasa Arab Melayu. Pemakian ini
memang masih ada tetapi tidak di gunakan lagi dalam pembuatan naskah-naskah
tetapi banyak digunakan dalam naman-nama jalan yang di tuliskan di papan. Ada juga
pengunaan bahasa Arab Melayu itu di gunakan untuk nama bangunan seperti Rumah
Sakit, Deperteman Agama dan lain seabagainya. Untuk lebih jelas bahwa pengunaan
bahasa Arab melayu di daerah Riau masih di gunakan walau sangat minim.
Sedangkan kalau kita lihat fungsi
tulisan Arab Melayu pada masa dahulu adalah sebagai berikut:
a. Fungsi
pengunaan bahasa Melayu di Indonesia yaitu dalam perdagangan sehingga bahasa
Melayu menjadu Lingua Franca.
b. Fungsinya
dalam bidang keagamaan itu terbukti dari banyaknya naskah-naskah Melayu yang
isinya mengenai Fikih, Syariat, Tasawuf
Atau Suluk, Teologi, Tafsir, Ilmu Falak,dan lain sebagainya.
c. Berfungsi untuk melakukan perjanjian-perjanjian antara
kerajan-kerajan Islam dengan negara asing seperti Eropa. Hal ini terbukti
dengan banyaknya surat menyurat, contohnya surat Sulatan Aceh yaitu Sutan
Alaudiin Ri’ayat Syah tahun 1602 kepada Harry Middleton dan Sultan Iskandar
Muda tahun 1615 keapad Raja James I. Juga Sultan Abu Hayat dari Ternate kepada
Raja Portugal tahun 1521.
d. Dalam pembuatan Undang-Undang itu banyak terdapat naskah-naskah Melayu
seperti Undang-Undang Minang Kabau, dan
Undang-Undang Sultan Adam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar