Sesak.
Rasa berkecamuk di dalam dada. Pikir tak bisa diatur. Memang benar adanya, sekuat hatimu melawan bagaimana bisa kamu mengabaikannya? Sekuat batinmu menepis, bagaimana bisa rindu engkau tolak? Jika bayangnya selalu mengintaimu setiap waktu. Kita tak pernah salah. Hanya terkadang benar bahwa rindu tak pernah tahu diri, ia dengan begitu saja tiba tanpa sapa. Menjamu diri sendiri dalam sepinya waktu. Entah mengapa kenyataan membawa takdir pada suratan yang tak diinginkan. Menepisnya berulang kali hanya semakin melukai hati. Tak sanggup. Hanya ada kata rindu meski jauhnya jarak membentang. Wajah tersenyum namun hati menangis. Tidak mungkin melawan kenangan.
Razzaku_
Minggu, 01 Desember 2019
Kamis, 21 November 2019
Cinta, Kita, dan Tinta_
Rona merah di wajahnya masih saja kental di ingatanku. Kala waktu masih milikku, dan seluruh kenyataan masih berpihak pada kesukaanku. Entah sudah berapa lama aku membayangkan wajahnya yang meneduhkan itu. Mungkin sudah beberapa menit, atau sudah beberapa jam lebih tepatnya aku di sini asik membuka kembali lembaran tentang dia yang sudah tidak sejalan denganku lagi. Sudah sangat lama. Ah, kebiasaan burukku masih saja aku pelihara. Sebentar sadar, beberapa waktu lagi aku masih mau mengingat kenyataan dulu itu. Getir memang.
Tintaku sudah hampir habis. Mataku mulai sembab tersebab air di pelupuk mata masih saja terus berderai tak hentinya. Setiap ingatan tentang dia hanya ada air mata pada setiap kilasnya. Inilah hal yang paling tak aku suka, juga paling aku rindukan. Tak suka jika kilas balik tentang dia dan kesakitan pada hati mengingat takdir tak memihak pada kami, terus bergulir. Di sisi lain, sejujurnya jauh pada lubuk hati, hanya melalui kenangan itulah diri bisa menemukan kembali sepenggal kisah dan bertatap mesra pada setiap kenangan lama itu. Ia, dia. Air mataku semakin membanjiri catatan kecilku yang tepat berada di bawah wajahku. Aku memang sengaja mengundangnya kembali hadir. Segetir itulah kenangan yang masih hidup sampai kini. Mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu rahasia itu hingga masa menutup waktunya untukku.
Setahun sudah. Aku kini bahagia pada sebuah sisi kehidupan yang penuh teka-teki ini. Kehadiran dia yang dahulu tak pernah aku doakan, yang tak pernah aku harapkan, kini telah mengubah segalanya. Dia adalah sosok yang paling aku butuhkan dan bukan yang aku inginkan. Mungkin itulah yang Tuhan kisahkan padaku.
Aku kembali goreskan sedikit demi sedikit pada setiap detik yang berlalu. Maju tak pernah menatap mundur. Beberapa detik kemudian berhenti di tempat untuk sekejap menarik napas panjang sebagai kekuatan di beberapa langkah ke depan, saat mata terbuka pada masa depan yang sudah di pelupuk mata. Ia menatap ke arah yang sama. Di depan sana. Ia menanti dengan begitu manis, tanpa spasi dan tanpa jarak pada kata. Hanya ada kedekatan yang berusaha untuk di rajut bersama. Ya. Dia yang membawa tangan beriringan belajar bersama. Dia yang kini menjamah wajah yang temaram dan mengganti luka menjadi suka. Dia yang dalam segala kekurangan nya membanjiri diri dengan air mata keberjuangan. Dia yang pada salam menjelma rumah sepanjang hayat.
"Kita"memang sedekat itu setelah menjadi jauh bahkan sangat jauh dengan tinta yang menggores kata "pernah", lalu menghadirkan kata "cinta" dalam perjalanan panjang. Langkah takkan pernah kau tahu lelahnya. Namun, jika masa membawamu berhenti dan memaksamu berhenti pula, maka berhentilah sejenak, sebelum kamu melangkahkan kaki maju dan takkan pernah mundur mengenang masa terburuk.
_E
Tintaku sudah hampir habis. Mataku mulai sembab tersebab air di pelupuk mata masih saja terus berderai tak hentinya. Setiap ingatan tentang dia hanya ada air mata pada setiap kilasnya. Inilah hal yang paling tak aku suka, juga paling aku rindukan. Tak suka jika kilas balik tentang dia dan kesakitan pada hati mengingat takdir tak memihak pada kami, terus bergulir. Di sisi lain, sejujurnya jauh pada lubuk hati, hanya melalui kenangan itulah diri bisa menemukan kembali sepenggal kisah dan bertatap mesra pada setiap kenangan lama itu. Ia, dia. Air mataku semakin membanjiri catatan kecilku yang tepat berada di bawah wajahku. Aku memang sengaja mengundangnya kembali hadir. Segetir itulah kenangan yang masih hidup sampai kini. Mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu rahasia itu hingga masa menutup waktunya untukku.
Setahun sudah. Aku kini bahagia pada sebuah sisi kehidupan yang penuh teka-teki ini. Kehadiran dia yang dahulu tak pernah aku doakan, yang tak pernah aku harapkan, kini telah mengubah segalanya. Dia adalah sosok yang paling aku butuhkan dan bukan yang aku inginkan. Mungkin itulah yang Tuhan kisahkan padaku.
Aku kembali goreskan sedikit demi sedikit pada setiap detik yang berlalu. Maju tak pernah menatap mundur. Beberapa detik kemudian berhenti di tempat untuk sekejap menarik napas panjang sebagai kekuatan di beberapa langkah ke depan, saat mata terbuka pada masa depan yang sudah di pelupuk mata. Ia menatap ke arah yang sama. Di depan sana. Ia menanti dengan begitu manis, tanpa spasi dan tanpa jarak pada kata. Hanya ada kedekatan yang berusaha untuk di rajut bersama. Ya. Dia yang membawa tangan beriringan belajar bersama. Dia yang kini menjamah wajah yang temaram dan mengganti luka menjadi suka. Dia yang dalam segala kekurangan nya membanjiri diri dengan air mata keberjuangan. Dia yang pada salam menjelma rumah sepanjang hayat.
"Kita"memang sedekat itu setelah menjadi jauh bahkan sangat jauh dengan tinta yang menggores kata "pernah", lalu menghadirkan kata "cinta" dalam perjalanan panjang. Langkah takkan pernah kau tahu lelahnya. Namun, jika masa membawamu berhenti dan memaksamu berhenti pula, maka berhentilah sejenak, sebelum kamu melangkahkan kaki maju dan takkan pernah mundur mengenang masa terburuk.
_E
Minggu, 17 November 2019
Rindu yang Salah_
Mahligai dari air mata.
Sejujurnya, langit tetap masih gelap. Bahkan pandanganku masih menaruh harap pada luasnya wajah bumi. Hatiku masih di sana. Tertinggal pada sebuah titik yang jauh tak tersentuh, bahkan tak terlihat oleh banyaknya mata. Jauh, di dasar kedalaman relung kasih. Masih tertinggal di titik yang sama. Masih terkekang oleh pusaran rasa yang telah menggunung begitu lama. Yang masih tertulis indah dalam goresan sebuah nama. Nama yang hanya akan tersimpan selamanya. Nama yang hanya akan tetap menjadi pengingat pada panjangnya lantunan doa yang menggema hingga ketetapan berkata lain. Semerbak wanginya masih tertinggal pada rasa yang masih ada. Masih....
Salamku terkadang hanya sebuah kata klise yang tak bergema, tak jua terdengar bahkan meski hanya sekadar gemingnya. Tak jua berbunyi.
Rindu.
Ya, aku rindu.
Merindukan senja yang pernah ku tatap dalam lekat yang tak bertepi.
Sangat merindukan senja yang pernah ku tunggu. Hingga penantianku berakhir pada malam yang gelap dan pekat. Tak berwajah. Hilang di telan kesunyian. Kekosongan hati dalam tatap sendu pernah ku lewati hanya untuk menjaga harapan yang pernah dan terus ku jaga, "mungkin akan datang" atau "mungkin, akan kembali". Ya. Sampai pada saat aku menyadari bahwa penantian ku di kala senja telah berlalu begitu lama. Tak ada kabar. Tak ada tanda. Tak ada pula hiruk sapa yang menenangkan. Hanya ada harap, cemas, dan kesedihan. Mungkin aku salah dalam menduga. Mungkin aku terlalu berharap. Mungkin aku lupa akan waktu itu, bahwasanya aku hanyalah seorang diri menanti senja, lalu lupa bahwa malam telah larut. Tangisku pecah...
Beberapa waktu telah menetap.
Rinduku memuncak.
Entah mengapa, malam-malam berlalu begitu terasa. Rindu seakan menakutkan bagiku. Berulang kali meneguhkan hati. Berulang kali rasa menyesal hadir. Semakin aku tatap masa yang lalu, semakin bayang yang merobek hati memburuku tanpa spasi. Ah, rinduku ini salah. Rindu yang salah. Akankah engkau cepat berakhir? Aku tak sanggup menahan setiap sesaknya menggelegar di dalam hati dan ingatan. Bahkan, untuk bisa menatapmu sejauh apapun takkan pernah bisa ku lakukan. Untuk mendengar suara yang tidak disengajapun aku tak lagi mampu. Mustahil.
Mustahil terjadi.
Doa-doaku kadang tak lagi aku percaya.
Seperti yakin namun ragu. Terkadang mampu namun jatuh. Jatuh hingga luka telah menetap di setiap bagian dari tubuhku. Membekas tak menghilang. Hanya untuk menantimu. Untuk meyakinkan hati bahwa rinduku ini tak salah alamat.
Sang Khalik, aku masih menunggu rahasia-Nya. Penasaranku membelenggu, apakah rahasia di balik ketetapan yang tak di restui ini. Rahasia di balik takdir yang tak berjodoh ini. Juga, jalan hidup yang menetapkan hal yang tak pernah terpikir. Masih mengunggu.
Di tempat ini sembari menahan sesaknya rindu yang salah. Sembari berharap, waktu kan menjawab pikir yang tak berdaya.
Rinduku membuncah.
Dan, mampuslah aku di koyak Rindu_
E_
Sejujurnya, langit tetap masih gelap. Bahkan pandanganku masih menaruh harap pada luasnya wajah bumi. Hatiku masih di sana. Tertinggal pada sebuah titik yang jauh tak tersentuh, bahkan tak terlihat oleh banyaknya mata. Jauh, di dasar kedalaman relung kasih. Masih tertinggal di titik yang sama. Masih terkekang oleh pusaran rasa yang telah menggunung begitu lama. Yang masih tertulis indah dalam goresan sebuah nama. Nama yang hanya akan tersimpan selamanya. Nama yang hanya akan tetap menjadi pengingat pada panjangnya lantunan doa yang menggema hingga ketetapan berkata lain. Semerbak wanginya masih tertinggal pada rasa yang masih ada. Masih....
Salamku terkadang hanya sebuah kata klise yang tak bergema, tak jua terdengar bahkan meski hanya sekadar gemingnya. Tak jua berbunyi.
Rindu.
Ya, aku rindu.
Merindukan senja yang pernah ku tatap dalam lekat yang tak bertepi.
Sangat merindukan senja yang pernah ku tunggu. Hingga penantianku berakhir pada malam yang gelap dan pekat. Tak berwajah. Hilang di telan kesunyian. Kekosongan hati dalam tatap sendu pernah ku lewati hanya untuk menjaga harapan yang pernah dan terus ku jaga, "mungkin akan datang" atau "mungkin, akan kembali". Ya. Sampai pada saat aku menyadari bahwa penantian ku di kala senja telah berlalu begitu lama. Tak ada kabar. Tak ada tanda. Tak ada pula hiruk sapa yang menenangkan. Hanya ada harap, cemas, dan kesedihan. Mungkin aku salah dalam menduga. Mungkin aku terlalu berharap. Mungkin aku lupa akan waktu itu, bahwasanya aku hanyalah seorang diri menanti senja, lalu lupa bahwa malam telah larut. Tangisku pecah...
Beberapa waktu telah menetap.
Rinduku memuncak.
Entah mengapa, malam-malam berlalu begitu terasa. Rindu seakan menakutkan bagiku. Berulang kali meneguhkan hati. Berulang kali rasa menyesal hadir. Semakin aku tatap masa yang lalu, semakin bayang yang merobek hati memburuku tanpa spasi. Ah, rinduku ini salah. Rindu yang salah. Akankah engkau cepat berakhir? Aku tak sanggup menahan setiap sesaknya menggelegar di dalam hati dan ingatan. Bahkan, untuk bisa menatapmu sejauh apapun takkan pernah bisa ku lakukan. Untuk mendengar suara yang tidak disengajapun aku tak lagi mampu. Mustahil.
Mustahil terjadi.
Doa-doaku kadang tak lagi aku percaya.
Seperti yakin namun ragu. Terkadang mampu namun jatuh. Jatuh hingga luka telah menetap di setiap bagian dari tubuhku. Membekas tak menghilang. Hanya untuk menantimu. Untuk meyakinkan hati bahwa rinduku ini tak salah alamat.
Sang Khalik, aku masih menunggu rahasia-Nya. Penasaranku membelenggu, apakah rahasia di balik ketetapan yang tak di restui ini. Rahasia di balik takdir yang tak berjodoh ini. Juga, jalan hidup yang menetapkan hal yang tak pernah terpikir. Masih mengunggu.
Di tempat ini sembari menahan sesaknya rindu yang salah. Sembari berharap, waktu kan menjawab pikir yang tak berdaya.
Rinduku membuncah.
Dan, mampuslah aku di koyak Rindu_
E_
Minggu, 25 Agustus 2019
Mengulang doa yang sama_
Sewindu telah berlalu.
Berpuluh malam telah meninggalkan jejak-jejak hitamnya yang tak beraturan hingga membekas pada sebentuk hati yang ia tapaki. Belasan bulan tak lagi terdengar hiruknya, hingga ketika rembulan malam menghiasi langit berbintang itu, harmoni yang sama kembali terdengar di telinga, bahkan aroma yang semerbak itu kembali merekah pada sepanjang sudut pada dinding hati. Hingga saat jejak pertama rembulan menghiasi langit malam itu, tampaklah sebuah harapan baru yang entah sampai kapan akan menetap. Mungkin saja selamanya, ataukah bisa saja hanya untuk kata ''sekadar" singgah.
Hatinya sesungguhnya tak lagi sekuat dulu. Ada harap dan cemas pada setiap kata yang terlontar dari bibir mungilnya. Ada genangan air mata yang setiap waktu siap untuk terjatuh mengurai penyesalan dan ketakutan. Ada sebongkah batu hitam pada dinding hati yang masih menunggu untuk dihempaskan. Namun, kenyataan batu itu tetap di sana, tatkala kenyataan yang terjadi memang tak sepaham dengan apa isi hati.
Masih tentang rahasia Sang Khalik.
Kerikil-kerikil tajam itu harus tetap ia jalani. Sungguh, ia pun tak sanggup. Banyak kata yang hendak ia tangisi pada waktu. "Akankah berakhir?". Bilakah masa itu mendapati dirinya tetap kuat dan tegar menopang batu besar pada hadapnya yang terkadang memaksanya mundur dan berhenti, karena ia tahu ia takkan sanggup. Sungguh, ia tak sanggup.
Janjinya, ia akan memberikan sekuntum mawar merah pertanda hati yang merona dan merekah pada dia yang berjuang menghancurkan penghalang jalannya. Batu besar itu. Doanya, seumur hidup memberikan masa dan kasih merah jambu pada dia yang hadir pada akhir perjuangannya. Itu goresan hati yang ia taruhkan pada janji yang ia lekatkan pada hati kecilnya. Ya. Itu. Dia yang sanggup membawanya keluar dari ketidakmampuannya. Dia yang sanggup hadir memegang tangannya dan berjalan menapaki jalan setapak berdua. Ia. Dia.
_August-Dream_
Berpuluh malam telah meninggalkan jejak-jejak hitamnya yang tak beraturan hingga membekas pada sebentuk hati yang ia tapaki. Belasan bulan tak lagi terdengar hiruknya, hingga ketika rembulan malam menghiasi langit berbintang itu, harmoni yang sama kembali terdengar di telinga, bahkan aroma yang semerbak itu kembali merekah pada sepanjang sudut pada dinding hati. Hingga saat jejak pertama rembulan menghiasi langit malam itu, tampaklah sebuah harapan baru yang entah sampai kapan akan menetap. Mungkin saja selamanya, ataukah bisa saja hanya untuk kata ''sekadar" singgah.
Hatinya sesungguhnya tak lagi sekuat dulu. Ada harap dan cemas pada setiap kata yang terlontar dari bibir mungilnya. Ada genangan air mata yang setiap waktu siap untuk terjatuh mengurai penyesalan dan ketakutan. Ada sebongkah batu hitam pada dinding hati yang masih menunggu untuk dihempaskan. Namun, kenyataan batu itu tetap di sana, tatkala kenyataan yang terjadi memang tak sepaham dengan apa isi hati.
Masih tentang rahasia Sang Khalik.
Kerikil-kerikil tajam itu harus tetap ia jalani. Sungguh, ia pun tak sanggup. Banyak kata yang hendak ia tangisi pada waktu. "Akankah berakhir?". Bilakah masa itu mendapati dirinya tetap kuat dan tegar menopang batu besar pada hadapnya yang terkadang memaksanya mundur dan berhenti, karena ia tahu ia takkan sanggup. Sungguh, ia tak sanggup.
Janjinya, ia akan memberikan sekuntum mawar merah pertanda hati yang merona dan merekah pada dia yang berjuang menghancurkan penghalang jalannya. Batu besar itu. Doanya, seumur hidup memberikan masa dan kasih merah jambu pada dia yang hadir pada akhir perjuangannya. Itu goresan hati yang ia taruhkan pada janji yang ia lekatkan pada hati kecilnya. Ya. Itu. Dia yang sanggup membawanya keluar dari ketidakmampuannya. Dia yang sanggup hadir memegang tangannya dan berjalan menapaki jalan setapak berdua. Ia. Dia.
_August-Dream_
Senin, 08 Juli 2019
Usai_
Bara yang tak bisa kugenggam dan harus kulepas.
Duri yang ingin kumiliki namun tak mungkin bisa ku genggam.
Rembulan dan bintang yang terlihat, namun tak bisa kumiliki.
Demikianlah kisah dan ingin pada hatiku kepadamu.
Perlahan waktu memutar, seakan dengan begitu lembutnya ia menenggelamkan kita pada masa-masa yang melayang. Pupus kini semua doa-doa yang aku untaikan berjam-jam dan puluh kali itu. Sepersekian waktu yang hanyut bersama air mata yang mengisahkan betapa tak sanggupnya diri membendung emosi jiwa yang tak terkatakan dan tak terarahkan pada siapa hendak diri mengadu? pada siapa hendak cerita ini aku bagikan? akankah sang rembulan yang jauh tak tersentuh itu mendengarkan dan melihat betapa diri hancur sehancur-hancurnya? mata tak sanggup menguraikan lagi kisah yang hendak ia ceritakan pada sepinya malam ini. Batin menjerit, "mengapakah harus terjadi?! mengapakah begitu sulit?! oh... Tuhan...!".
Benar bahwa tak semua isi dunia akan bisa engkau genggam. Termasuk pada kisah yang tak pernah bisa kudapati berakhir bahagia ini. Malam dimana terakhir kalinya aku mendapati namamu terucap pada kata yang entah sudah menyerupai apa. Pada tangis yang entah sudah menyerupai apa. Juga, pada harap yang sudah membeku dan lenyap ditelan beribu kekecewaan. Dibungkam oleh jutaan tangisan penyesalan. Mengapakah harus bertemu? Mengapakah harus ada luka pada harap yang telah dipatahkan?!.
Menyerah dan tidak lagi mampu berjuang. Itulah diriku kini. Kudapati bahwa tumpukan penyesalan dan ketidakmungkinan ini membuat diri pasrah dan iklas. Mungkin memang sudah jalan kehidupan, bahwa meski kita bersikukuh, tapi jika takdir tak berpihak, maka semua akan kita dapati menutup jalan pada kisah.
Maaf,,,
Mungkin tak perlu lagi.
Aku berhenti mengharapkan semua ingin yang tak bisa menjadi nyata.
Seperti ilusi yang tak pernah berhenti menyelimuti pikir dan jiwa.
Maaf,,,
Maaf...
Maaf................................................!!!
Aku pergi.
Juli_Kesedihanku.
Duri yang ingin kumiliki namun tak mungkin bisa ku genggam.
Rembulan dan bintang yang terlihat, namun tak bisa kumiliki.
Demikianlah kisah dan ingin pada hatiku kepadamu.
Perlahan waktu memutar, seakan dengan begitu lembutnya ia menenggelamkan kita pada masa-masa yang melayang. Pupus kini semua doa-doa yang aku untaikan berjam-jam dan puluh kali itu. Sepersekian waktu yang hanyut bersama air mata yang mengisahkan betapa tak sanggupnya diri membendung emosi jiwa yang tak terkatakan dan tak terarahkan pada siapa hendak diri mengadu? pada siapa hendak cerita ini aku bagikan? akankah sang rembulan yang jauh tak tersentuh itu mendengarkan dan melihat betapa diri hancur sehancur-hancurnya? mata tak sanggup menguraikan lagi kisah yang hendak ia ceritakan pada sepinya malam ini. Batin menjerit, "mengapakah harus terjadi?! mengapakah begitu sulit?! oh... Tuhan...!".
Benar bahwa tak semua isi dunia akan bisa engkau genggam. Termasuk pada kisah yang tak pernah bisa kudapati berakhir bahagia ini. Malam dimana terakhir kalinya aku mendapati namamu terucap pada kata yang entah sudah menyerupai apa. Pada tangis yang entah sudah menyerupai apa. Juga, pada harap yang sudah membeku dan lenyap ditelan beribu kekecewaan. Dibungkam oleh jutaan tangisan penyesalan. Mengapakah harus bertemu? Mengapakah harus ada luka pada harap yang telah dipatahkan?!.
Menyerah dan tidak lagi mampu berjuang. Itulah diriku kini. Kudapati bahwa tumpukan penyesalan dan ketidakmungkinan ini membuat diri pasrah dan iklas. Mungkin memang sudah jalan kehidupan, bahwa meski kita bersikukuh, tapi jika takdir tak berpihak, maka semua akan kita dapati menutup jalan pada kisah.
Maaf,,,
Mungkin tak perlu lagi.
Aku berhenti mengharapkan semua ingin yang tak bisa menjadi nyata.
Seperti ilusi yang tak pernah berhenti menyelimuti pikir dan jiwa.
Maaf,,,
Maaf...
Maaf................................................!!!
Aku pergi.
Juli_Kesedihanku.
Selasa, 21 Mei 2019
Semeter persegi_ (Cerpen)
Di bawah langit yang sama*
Kilasan potret segaris senyummu dengan tatap sendu yang selalu saja kau lepas pada dunia lainmu tetiba terbesit begitu saja. Aku tak memintanya. Sungguh. Ia muncul mendadak tak pernah menyapa dan tak mengadu maaf, hanya sesuka hatinya. Membuat aku memutar kembali potret-potret burammu yang telah lama aku pendam, kini menguak keluar menyembur berlarian dari dalam otakku. Ah. Selalu saja begitu.
Di kursi yang sama.
Sebut saja aku Erin. Nama klasik yang pernah menghias ponselmu sebagai kontak pertamamu yang paling kau nantikan notifikasinya. Tapi itu dulu. Dulu sekali. Jauh sebelum pada akhirnya kau berlari perlahan lalu melaju dengan kencangnya meninggalkan jejak pada duniaku dan kenanganku. Jauh sebelum pada akhirnya beberapa waktu kemudian kau menghilang tak berkabar sama sekali. Aku pun enggan dan acuh pada kabarmu. Kau aku biarkan pergi membawa rasa yang pernah kau hadirkan. Karena, begitulah aku. Meski terkadang aku hanya berpura tegar pada nyatanya tapi logikaku lebih jauh melaju meninggalkan rasaku, meski pada jalan selalu beradu kekuatan. Tapi, aku pastikan logika ku akan menang mendahului rasaku. Jadi, tenang saja. Aku ahli dalam mengiklaskan.
Kembali pada kursi di sudut kafe.
Kembali pada topik mengapa aku tiba-tiba teringat pada sosokmu di tengah kesibukan dan kesendirianku menikmati hidup dengan secangkir jus Alpukat yang mulai mendingin. Aku menatapnya lekat meski sesekali berpura-pura tidak menghiraukannya. Tapi, otakku terus saja berputar akan hal itu. Ya. Sebuah tulisan di cangkir jus Alpukat ku membuatku harus mengingat mu. Sebuah nama yang sudah lama aku lupakan. Sebuah inisial yang sangat ingin kuhapuskan pada setiap jejak hidupku. Tapi gagal kali ini.
"E_H"
Bagi orang lain ini bukan hal penting. Bahkan entah tak pernah dihiraukan sama sekali. Namun bagiku, dua huruf ini memiliki makna tersendiri dengan kisahnya yang menggunung pada kalbu. Entahkah Tuhan menakdirkan sore ini kedua huruf ini aku harus baca pada gelas yang entah mengapa menjadi pilihan pelayan cafe ini untuk disuguhkan kepadaku. Kadang, pikirku takdir Tuhan itu semudah dan sesimpel itu. Sangat sederhana dengan cara yang sangat sederhana dan di luar nalar.
Mataku terus tertuju pada cangkir itu. Entah bagaimana kabarnya kini. Terakhir aku mengetahui bahwa dia sudah menikah dengan seseorang gadis pilihan keluarganya. Kala itu aku tak menangis. Saat mendengar kabar itu dan melihat potret dirinya tersenyum manis dengan gadis yang kini menjadi istrinya, aku hanya tersenyum segaris tawa dengan hati yang entah mengapa terasa kosong. Aku masih ingat kala gambar dirinya bahagia dengan pilihannya itu, pada suatu sore saat tetiba aku teringat akan hal itu, aku menangis dan tak bersuara. Hanya air mataku tak dapat ku bendung. Membanjiri wajahku dengan tangan yang tak henti-hentinya menyeka. Terasa di hatiku ada kesakitan yang tak terkatakan. Ah. Takdir Tuhan begitu penuh kemisteriusan. Di dalam keindahan kasih-Nya ada duka yang harus dijalani untuk suatu bahagia lain yang sudah menanti.
Aku membolak-balik gelas itu kemudian.
Jus tinggal 1/4 cangkir lagi. Aku harus segera menghabiskannya dan bergegas pergi beranjak dari cafe itu. Pada hitungan detik, aku menyeruput jus itu dengan semangat dan habis. Yes. Saatnya pergi melupakan kenangan dan nama yang sejenak hadir itu. Aku bergegas berangkat dan meninggalkan tempat itu. Bukan hanya tempat itu. Kini inisial dan kenangan tentang dia pun sudah berlalu. Kenangan itu hanya akan menjadi bagian dalam hidup yang akan terus hadir, namun tak lagi menggangguku. Ia seperti sebuah inisial yang akan tetap menjadi inisial selamanya. Kini, masa yang lebih indah dan perjuangan yang semakin kuat dibutuhkan dan menanti. Pun aku yang kini masih sendiri menunggu takdir itu dipertemukan. Dan, bukan hanya sebagai inisial. Kelak akan menjadi nama yang terus menjadi diri.
*The End_
Spasi_
Senja yang kau tunggu_
Pada sepertiga malam, masih saja kau genggam harap di pelupuk mata.
Sedangkan,
Di ujung jari-jemari kau juga masih berkelana mencari kata.
Seperti biasa, keengganan menjamu setiap kata yang hampir menyeruak dari relung kalbu yang telah menggunung hampir meledak dalam benteng pertahananmu.
"Ya atau tidak".
Pada akhirnya malam tetaplah kelabu dan hening tak berbunyi.
Gelap beralih terang lalu menyambut senja. Pada caranya, selalu menduga.
Pada kisahnya tak pernah bersambut. Karena spasi menjadi pemisah pada kata.
Pada sepertiga malam, masih saja kau genggam harap di pelupuk mata.
Sedangkan,
Di ujung jari-jemari kau juga masih berkelana mencari kata.
Seperti biasa, keengganan menjamu setiap kata yang hampir menyeruak dari relung kalbu yang telah menggunung hampir meledak dalam benteng pertahananmu.
"Ya atau tidak".
Pada akhirnya malam tetaplah kelabu dan hening tak berbunyi.
Gelap beralih terang lalu menyambut senja. Pada caranya, selalu menduga.
Pada kisahnya tak pernah bersambut. Karena spasi menjadi pemisah pada kata.
Selasa, 14 Mei 2019
Memaafkan bukan berarti melupakan_
"Ah, kamu berarti belum memaafkan sungguh-sungguh kalau begitu. Buktinya saja kamu masih mengingat hal itu".
Waduh, bagaimana jika kalimat berikut dilontarkan kepada kamu tetapi dalam hati kecil kamu, kamu sungguh-sungguh sudah melupakan kejadian yang pernah menyakitimu.
Ah. Pasti kamu bingung. Bisa jadi kamu akan kembali menyelidiki hati kecilmu, berharap kamu bisa menemukan kebenarannya. Siapa tahu kamu tertipu dengan diri sendiriπ
Tapi, saya mau membagikan hal ini buat kamu yang sudah memaafkan tapi tetap ingat akan kejadian tersebut, bahkan dengan sangat rinci. Tidak usah kuatir. Kamu benar dan tidak salah pada hatimu. Kamu sudah memaafkannya.
Menurut saya, memaafkan adalah proses penerimaan keadaan/kesalahan yang terjadi menimpa kita dengan mengiklaskan hal tersebut, dan ketika pun hal/kejadian itu teringat kembali maka tidak ada kesedihan/kemarahan/kekesalan yang terjadi. Kita sudah bisa menerimanya dengan iklas bahkan mengucap syukur bahagia saat mengingatnya.π
Masa lalu, kesalahan maupun kejadian yang terjadi dalam hidup tidak akan dapat dilupakan begitu saja. Ia hadir sebagai suatu kenangan dan pembelajaran hidup yang seumur hidup akan terus melekat pada hati dan pikiran tersebab ia adalah suatu bagian dari kisah hidup. Untuk itu jangan melupakannya. Senantiasalah mengucap syukur atasnya. Menerima bukan berarti melupakan, tetapi mengiklaskan.
Cintai kenangan dalam hidupmu.
Terimalah dan bersyukurlah atas itu.
Jesus Bless Us πππ
Waduh, bagaimana jika kalimat berikut dilontarkan kepada kamu tetapi dalam hati kecil kamu, kamu sungguh-sungguh sudah melupakan kejadian yang pernah menyakitimu.
Ah. Pasti kamu bingung. Bisa jadi kamu akan kembali menyelidiki hati kecilmu, berharap kamu bisa menemukan kebenarannya. Siapa tahu kamu tertipu dengan diri sendiriπ
Tapi, saya mau membagikan hal ini buat kamu yang sudah memaafkan tapi tetap ingat akan kejadian tersebut, bahkan dengan sangat rinci. Tidak usah kuatir. Kamu benar dan tidak salah pada hatimu. Kamu sudah memaafkannya.
Menurut saya, memaafkan adalah proses penerimaan keadaan/kesalahan yang terjadi menimpa kita dengan mengiklaskan hal tersebut, dan ketika pun hal/kejadian itu teringat kembali maka tidak ada kesedihan/kemarahan/kekesalan yang terjadi. Kita sudah bisa menerimanya dengan iklas bahkan mengucap syukur bahagia saat mengingatnya.π
Masa lalu, kesalahan maupun kejadian yang terjadi dalam hidup tidak akan dapat dilupakan begitu saja. Ia hadir sebagai suatu kenangan dan pembelajaran hidup yang seumur hidup akan terus melekat pada hati dan pikiran tersebab ia adalah suatu bagian dari kisah hidup. Untuk itu jangan melupakannya. Senantiasalah mengucap syukur atasnya. Menerima bukan berarti melupakan, tetapi mengiklaskan.
Cintai kenangan dalam hidupmu.
Terimalah dan bersyukurlah atas itu.
Jesus Bless Us πππ
Selasa, 02 April 2019
Aku dan kisahku_
(Sebuah usaha penerimaan diri)
Sudah hitungan tahun. Yup. Sekitar 25 tahun menggenapi 26 tahun pada waktu-waktu ini. Ini perihal tahun, jika hitungan hari, jam, menit, detik, maka kamu tentu takkan sanggup menghitungnya bukan? Itulah waktu sepersekian yang telah menjadikan dan membentuk diri sebegini rupa.
Kembali mengingat bahwa pertumbuhan yang benar akan diri adalah pertumbuhan yang sesuai dengan kodratnya. Contohnya pada rentang usia berapa maka manusia akan bertumbuh pada bagian apa, secara biologisnya. Nah, sejajar dengan itu, manusia juga harus dan akan mengalami pertumbuhan rohani. Ini semua seharusnya berlaku pada semua insan dan akan terus mengalami pertumbuhan sampai akhir hidupnya.
Ada satu fase dalam hidup saya yang sebenarnya menjadi suatu hal yang sangat saya syukuri. Ketika pertumbuhan rohani itu mulai terjadi dalam hidup. Bukan dengan rentang waktu yang cepat. Diri harus mengalami jatuh bangun untuk sampai pada tahap mengerti akan siapa pencipta saya. Jika fase ini terlewatkan, maka hidup saya mungkin tak kan sebahagia ini dalam segala rasa cukup dengan hidup. Fase dimana Tuhan mulai memulihkan diri dari luka-luka hidup dan harapan yang penuh kekecewaan hingga impian yang pada akhirnya tercapai meski harus menangis sakit melewatinya.
Kini entah mengapa bagi saya mudah saja menerima segala kenyataan yang ada disekitar. Saya masih ingat betul perjalanan hidup bagaimana ketika Tuhan membentuk agar diri mampu menerima keberadaan diri. Didikan orangtua dan lingkungan yang keras membuat diri semakin perfectsionis. Sulit menerima kesalahan pada diri, sulit jika keadaan tiba-tiba berubah tidak sesuai rencana, sangat tidak menyukai hal-hal diluar zona aman dan lebih menyukai kepastian serta tidak suka terlalu lama pada keramaian. Diri sangat sulit berekspresi, tersebab ada rasa takut akan penilaian oranglain.
Wah, hidup saya dulu seperti itu.
Jika dibayangkan, tanpa kasih Tuhan, tanpa pemulihan maka sulit untuk menikmati hidup dan anugerah dari-Nya sekarang. Sulit untuk menjadi teladan apalagi membawa perubahan bagi keluarga, sekitar dan siapapun yang melihat.
Saya melihat pekerjaan tangan-Nya begitu luar biasa memakai setiap kesempatan dan orang-orang disekitar dalam menumbuhkan pengenalan akan DIA bagi saya. So far, hanya pujian syukur bagi DIA yang terucap. Diri tak henti-hentinya mengucap syukur bagi raja di tas segala raja.
#Ketika satu orang selamat, maka seisi rumah akan selamat
#pemulihan akan membawa diri semakin maksimal melayani-Nya dan menjadi saluran berkat
#hikmat dan bijaksana menyertai
Sudah hitungan tahun. Yup. Sekitar 25 tahun menggenapi 26 tahun pada waktu-waktu ini. Ini perihal tahun, jika hitungan hari, jam, menit, detik, maka kamu tentu takkan sanggup menghitungnya bukan? Itulah waktu sepersekian yang telah menjadikan dan membentuk diri sebegini rupa.
Kembali mengingat bahwa pertumbuhan yang benar akan diri adalah pertumbuhan yang sesuai dengan kodratnya. Contohnya pada rentang usia berapa maka manusia akan bertumbuh pada bagian apa, secara biologisnya. Nah, sejajar dengan itu, manusia juga harus dan akan mengalami pertumbuhan rohani. Ini semua seharusnya berlaku pada semua insan dan akan terus mengalami pertumbuhan sampai akhir hidupnya.
Ada satu fase dalam hidup saya yang sebenarnya menjadi suatu hal yang sangat saya syukuri. Ketika pertumbuhan rohani itu mulai terjadi dalam hidup. Bukan dengan rentang waktu yang cepat. Diri harus mengalami jatuh bangun untuk sampai pada tahap mengerti akan siapa pencipta saya. Jika fase ini terlewatkan, maka hidup saya mungkin tak kan sebahagia ini dalam segala rasa cukup dengan hidup. Fase dimana Tuhan mulai memulihkan diri dari luka-luka hidup dan harapan yang penuh kekecewaan hingga impian yang pada akhirnya tercapai meski harus menangis sakit melewatinya.
Kini entah mengapa bagi saya mudah saja menerima segala kenyataan yang ada disekitar. Saya masih ingat betul perjalanan hidup bagaimana ketika Tuhan membentuk agar diri mampu menerima keberadaan diri. Didikan orangtua dan lingkungan yang keras membuat diri semakin perfectsionis. Sulit menerima kesalahan pada diri, sulit jika keadaan tiba-tiba berubah tidak sesuai rencana, sangat tidak menyukai hal-hal diluar zona aman dan lebih menyukai kepastian serta tidak suka terlalu lama pada keramaian. Diri sangat sulit berekspresi, tersebab ada rasa takut akan penilaian oranglain.
Wah, hidup saya dulu seperti itu.
Jika dibayangkan, tanpa kasih Tuhan, tanpa pemulihan maka sulit untuk menikmati hidup dan anugerah dari-Nya sekarang. Sulit untuk menjadi teladan apalagi membawa perubahan bagi keluarga, sekitar dan siapapun yang melihat.
Saya melihat pekerjaan tangan-Nya begitu luar biasa memakai setiap kesempatan dan orang-orang disekitar dalam menumbuhkan pengenalan akan DIA bagi saya. So far, hanya pujian syukur bagi DIA yang terucap. Diri tak henti-hentinya mengucap syukur bagi raja di tas segala raja.
#Ketika satu orang selamat, maka seisi rumah akan selamat
#pemulihan akan membawa diri semakin maksimal melayani-Nya dan menjadi saluran berkat
#hikmat dan bijaksana menyertai
Senin, 25 Maret 2019
Untuk kesekian kali_
Bukan hanya kali ini. Sudah berulangkali rasa sakit yang sama menerka-nerka. Tapi, cukuplah sekali ini untuk terakhir kalinya. Benar segala dugaku. Tak perlu membuka kembali kisah dan waktu yang tak perlu. Seperti menyayat daging sendiri. Membuka luka yang begitu dalam. Ya. Seharusnya tak perlu memberinya ruang kembali.
Pernyataan yang tak diinginkan itu dia nyatakan meski tak langsung padamu. Kamu begitu terluka kan? Ya. Sangat. Kau tahu jelas bagaimana perjuangan memulai, mendoakan, lalu bertahan, terluka dan membuka kembali kisah itu seketika kata-katanya menyatakan kau harus mengakhiri keinginan dan harapanmu itu. Dia ternyata tak pernah menganggap kehadiranmu pada masanya. Dia takkan pernah paham pada hati yang kau jaga.
Sudahi saja.
Mimpi tak harus menjadi nyata.
Harap tak harus terjadi.
Doa tak harus terjawab.
Dia yang kau kenal tak seperti yang kau pikirkan. Dia pun berubah. Cukupkan pada penantian yang lain. Hadirnya hanya akan menambah luka demi luka.
Cukupkan saja.
Pernyataan yang tak diinginkan itu dia nyatakan meski tak langsung padamu. Kamu begitu terluka kan? Ya. Sangat. Kau tahu jelas bagaimana perjuangan memulai, mendoakan, lalu bertahan, terluka dan membuka kembali kisah itu seketika kata-katanya menyatakan kau harus mengakhiri keinginan dan harapanmu itu. Dia ternyata tak pernah menganggap kehadiranmu pada masanya. Dia takkan pernah paham pada hati yang kau jaga.
Sudahi saja.
Mimpi tak harus menjadi nyata.
Harap tak harus terjadi.
Doa tak harus terjawab.
Dia yang kau kenal tak seperti yang kau pikirkan. Dia pun berubah. Cukupkan pada penantian yang lain. Hadirnya hanya akan menambah luka demi luka.
Cukupkan saja.
Minggu, 24 Maret 2019
Keriuhan pada malam_
Mobil-mobil besar itu lalu lalang dihadapku.
Entahkah sengaja agar malam tak terlalu hening pada gelapnya, ataukah mungkin mereka tidak begitu perduli pada sudut sepi yang tercipta oleh jarak.
Ya.
Mereka terlihat enggan berhenti dan menyapa pada malam.
Baginya, jarak dan waktu adalah hal biasa dan tak menakutkan.
#Jalanan sepi_
Entahkah sengaja agar malam tak terlalu hening pada gelapnya, ataukah mungkin mereka tidak begitu perduli pada sudut sepi yang tercipta oleh jarak.
Ya.
Mereka terlihat enggan berhenti dan menyapa pada malam.
Baginya, jarak dan waktu adalah hal biasa dan tak menakutkan.
#Jalanan sepi_
Sabtu, 09 Maret 2019
Sebuah konsekuensi_
Berhenti artinya berakhir.
Entahkah berakhir bahagia atau menyedihkan, pada penghujung waktu akan kamu temukan jawabannya. Setiap pilihan untuk berhenti memiliki konsekuensi tersendiri. Yah, pada akhirnya bertepatan saat engkau memilih berhenti, maka sebuah akhir juga kamu pilih. Sesuatu yang berakhir akan mengisahkan suatu kenangan tersendiri pada seorang insan. Mungkin harimu tak lagi seperti biasa, mungkin waktumu tak lagi kan memiliki rasa yang sama seperti sebelumnya. Semua terletak pada hasil dari proses itu.
Memilih berhenti adalah suatu konsekuensi. Konsekuensi yang bisa saja akan sangat sulit engkau terima di awal pertama, namun setelah engkau jalani seperti biasa, selang beberapa waktu, semuanya akan terbiasa. Hanya perlu terbiasa. Saling menyakiti juga bukan hal yang baik. Jika komunikasi tak lagi sejalan, dan jika komunikasi tak lagi saling memahami, lalu untuk apa? Lebih baik diakhiri sampai Sang Semesta menunjukkan jalannya.
#berhenti berjuang
Entahkah berakhir bahagia atau menyedihkan, pada penghujung waktu akan kamu temukan jawabannya. Setiap pilihan untuk berhenti memiliki konsekuensi tersendiri. Yah, pada akhirnya bertepatan saat engkau memilih berhenti, maka sebuah akhir juga kamu pilih. Sesuatu yang berakhir akan mengisahkan suatu kenangan tersendiri pada seorang insan. Mungkin harimu tak lagi seperti biasa, mungkin waktumu tak lagi kan memiliki rasa yang sama seperti sebelumnya. Semua terletak pada hasil dari proses itu.
Memilih berhenti adalah suatu konsekuensi. Konsekuensi yang bisa saja akan sangat sulit engkau terima di awal pertama, namun setelah engkau jalani seperti biasa, selang beberapa waktu, semuanya akan terbiasa. Hanya perlu terbiasa. Saling menyakiti juga bukan hal yang baik. Jika komunikasi tak lagi sejalan, dan jika komunikasi tak lagi saling memahami, lalu untuk apa? Lebih baik diakhiri sampai Sang Semesta menunjukkan jalannya.
#berhenti berjuang
Mulai berubah_
Ketakutan dan kisah lama itu sepertinya akan terulang dua kali. Hampir saja dugaku benar, bahwa yang aku takutkan sepertinya akan terjadi. Kamu tahu rasanya "ditinggalkan?". Rasanya sakit berdarah namun tak tampak oleh mata.
Sepertinya dia mulai berubah.
Hilang kembali rasa yang coba dibangun bersama. Hilang kembali masa dimana rasa begitu dekat. Tapi, tak apa. Cukup pengalaman mengajarkan bahwa tak perlu terlalu dalam membendung rasa untuk seseotang, bahkan meskipun dia yang engkau pinta dalam doa itu. Sebab dia pun belum tentu akan bertahan dan berjuang untukmu. Jangan terlalu berharap pada manusia, bahkan meski dia seolah sangat mengasihimu, sebab luka yang tercipta akan sangat terasa saat ia meninggalkan dan melepaskanmu begitu saja kelak.
Kini
Pasrah.
Biarlah waktu menjawab pada penghujungnya.
Biarlah detik yang menjadi tanda untuk setiap usaha yang sudah dilakukan.
Dan, biarlah air mata yang menjadi saksi bagaimana doa itu selalu teruntai namanya.
Pasrah_
Sepertinya dia mulai berubah.
Hilang kembali rasa yang coba dibangun bersama. Hilang kembali masa dimana rasa begitu dekat. Tapi, tak apa. Cukup pengalaman mengajarkan bahwa tak perlu terlalu dalam membendung rasa untuk seseotang, bahkan meskipun dia yang engkau pinta dalam doa itu. Sebab dia pun belum tentu akan bertahan dan berjuang untukmu. Jangan terlalu berharap pada manusia, bahkan meski dia seolah sangat mengasihimu, sebab luka yang tercipta akan sangat terasa saat ia meninggalkan dan melepaskanmu begitu saja kelak.
Kini
Pasrah.
Biarlah waktu menjawab pada penghujungnya.
Biarlah detik yang menjadi tanda untuk setiap usaha yang sudah dilakukan.
Dan, biarlah air mata yang menjadi saksi bagaimana doa itu selalu teruntai namanya.
Pasrah_
Langganan:
Postingan (Atom)