Minggu, 28 Juni 2015

Bahasa dan Politik

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa adalah alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, bahasa itu hidup di dalam masyarakat dan dipakai untuk berkomunikasi. Kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam kemasyarakatan. Kelangsungan hidup sebuah bahasa itu sangat ditentukan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu, dengan kata lain budaya yang di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan keberadaan dari bahasa tersebut. Dengan itu kebahasaan berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia itu di dalam masyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial yang dimana setiap kegiatannya pasti membutuhkan peranan individu lain untuk dapat hidup bermasyarakat yang damai dan sejahtera. Untuk mencapai suatu kehidupan bermasyarakat ini maka Manusia memerlukan Bahasa untuk dapat berkomunikasi, karena yang paling penting dalam kehidupan adalah berkomunikasi untuk mencapai suatu tujuan dan supaya tidak terjadi salah paham diantara manusia yang melakukan komunikasi tersebut. Menurut Keraf (1997: 3) bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukankontrol sosial.Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahasa memang sangat penting digunakan. Karena bahasa merupakan simbol yang dihasilkan menjadi alat ucap yang digunakan oleh sesama masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari hampir semua aktifitas kita menggunakan bahasa. Baik menggunakan bahasa secara lisan maupun secara tulisan dan bahasa tubuh.
Bahasa merupakan elemen yang sangat penting dari berbagai cabang ilmu yang ada termasuk bahasa Indonesia. Segala bidang ilmu selalu disampaikan melalui bahasa termasuk juga politik positivistic.
Politik mengandaikan pertikaian kepentingan berbagai lapisan kelompok sosial masyarakat. Di dalam dunia politik inilah bahasa tidak dapat lepas dari manipulasi politik yang dengan berbagai cara memanipulasi bahasa pula. Atau dengan kata lain, bahasa dijadikan alat manipulasi.
Asumsi dalam tulisan ini mengandaikan bahwa bahasa an sich dilepaskan dari fungsi dasarnya sebagai media komunikasi manusia. Bahasa menjadi tidak otonom. Sama seperti kemanusiaan manusia yang tidak otonom bila telah menjadi alat penindas demi suatu kepentingan dan tujuan. Oleh karena itu bahasa menjadi tidak bebas nilai bila jatuh ke dalam kancah pertikaian politik kolektif. Setiap pernyataan politik selalu mempunyai tendensi tertentu. Manipulasi adalah kegiatan yang tidak bisa dihindarkan setiap institusi dan pribadi untuk mencapai tujuan dan kepentingan. Bahasa menjadi alat manipulasi.

1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah hubungan Bahasa dan Politik?                          
2. Apakah hubungan Bahasa dan konflik?                           
3. Apakah pengertian Bahasa sebagai alat manipulasi politik?     
4. Apakah yang dimaksud dengan Gejala Eufemisme?
5. Bagaimanakah Contoh Penggunaan Bahasa dalam Politik?               
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeksripsikan hubungan Bahasa dan Politik?                       
2. Mendeksripsikan hubungan Bahasa dan konflik?                        
3. Mendeksripsikan Bahasa sebagai alat manipulasi politik?     
4. Mendeksripsikan Gejala Eufemisme?
5. Mendeksripsikan Contoh Penggunaan Bahasa dalam Politik?
1.4    Manfaat Penelitian
1. Mengetahui hubungan Bahasa dan Politik?                     
2. Mengetahui hubungan Bahasa dan konflik?                      
3. Mengetahui Bahasa sebagai alat manipulasi politik?     
4. Mengetahui Gejala Eufemisme?
5. Mengetahui Contoh Penggunaan Bahasa dalam Politik?











BAB II PEMBAHASAN
2.1 Bahasa dan Politik
Bahasa dalam politik adalah sebuah senjata, para politikus sudah menguasai bahasanya untuk alasan penting yaitu kekuasaan, karena siapapun menguasai bahasa akan mempunyai kekuasaan. Bahasa yang digunakan dalam bidang politik supaya membuat kesan yang dapat dipercaya baik untuk politikus tersendiri maupun seluruh organisasi politik. Kesan yang baik sangat penting untuk karir politikus, mengunakan bahasa yang salah atau buruk dapat  menyebabkan seseorang tidak dipercaya oleh masyarakat. Bahasa juga alat yang paling penting untuk menyebarkan pesan politik kepada masyarakat. Selama kampanye pemilu para politikus dan aktivis menggunakan semboyan-semboyan tertentu supaya meyakinkan masyarakat mengenai isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Bahasa yang digunakan selama saat ini adalah ringkas, berani dan mudah diingat. Kadang-kadang pemerintahan akan dipilih karena semboyan yang sangat baik. Dengan adanya semboyan yang baik, maka rakyat akan memberikan kepercayaan kepada politikus tersebut.
Bahasa bisa mengubah cara orang-orang berpikir. Lewat propaganda pemerintah atau media massa yang menguasai pendapat umum, atau di sisi lain lewat bahasa perlawanan terhadap pemerintah digunakan para aktivis, bahasa emosi bisa mengubah pendapat masyarakat. Dalam perjuangan politik di antara pihak yang berbeda, bahasa adalah alat yang penting sekali. Politik juga mempengaruhi bahasa. Banyak kata dan ungkapan yang baru dikenalkan bidang politik, dan ada suatu kata-kata yang artinya dirubah kalau digunakan pemerintah. Misalnya, kalau politikus mengunakan kata dalam semboyannya, pengertian tambahan akan mengubah dan segera kata itu akan mengandung yang berbeda. Bahasa digunakan dalam bidang politik untuk banyak alasan dan dalam bermacam-macam cara. Bahasa bisa digunakan baik orang dalam politik maupun orang yang di luar struktur politik utama dan karena oleh itu, bahasa adalah terpenting alat dalam politik yang dapat dicapai kebanyakan orang.
Ungkapan Simbolik Secara singkat kita dapat mengatakan bahwa ungkapan simbolik menunjuk pada pesan bersifat verbal ataupun non verbal dengan makna-makna tertentu yang sangat lekat dengan nilai-nilai kultural serta filosofis. Tulisan ini lebih menitikberatkan pada ungkapan simbolik yang berupa bahasa verbal, yakni pernyataan-pernyataan dengan menggunakan kosakata tertentu yang dikemukakan oleh para elit politik Indonesia di berbagai kesempatan, terutama dalam kampanye dan wawancara dengan media massa.
Kaitan politik dan bahasa adalah kenyataan bahwa politik itu adalah kegiatan berbicara (baca: berbahasa). Seorang ilmuwan politik, Mark Roelofs (The Language of Modern Politics, 1967), mengatakan dengan sederhana, “Politik adalah pembicaraan, atau lebih tepat lagi berpolitik adalah berbicara.” Menurutnya politik tidak hanya pembicaraan, dan sebaliknya tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi hakekat pengalaman politik adalah kegiatan berkomunikasi antara orang-orang.
Sudah barang tentu politik mempunyai dimensi moral-etiknya sendiri, karena politik pada dasarnya adalah kegiatan orang yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi kenflik kepentingan dan tujuan. Setiap setting politik senantiasa ditandai dengan perselisihan dan konflik.
Demikian pula halnya dengan bahasa. Bahasa mempunyai kekuatan dan dimensi emansipatoris, transformatif, dan terbuka di dalam penilaian moral-etis. Bahasa dapat menjadi jahat dan buruk. Bahasa dapat menindas, membelenggu dan menjajah kesadaran seseorang. Terutama bila digunakan sebagai sarana manipulasi dan indoktrinasi. Bahasa menjadi baik bila digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan membebaskan kesadaran manusia dari belenggu kebodohannya. Fenomena bahasa memiliki cakupan sosial politik. Itu sebabnya tidak bisa dipungkiri bahwa fenomena bahasa mempunyai dampak yang langsung dan kuat terhadap realitas sejarah politik manusia.
2.2 Bahasa dan Konflik Politik
Banyak idiom dan jargon politik yang tadinya digunakan sebagai lambang dan simbol dari kondisi politik yang stabil berubah menjadi lambang dan simbol keadaan politik yang labil bersamaan dengan terjadinya gejolak dan perubahan politik suatu negara.
Plato bahkan mengatakan bahwa kalau penguasa menjadi otoriter, maka bahasa pasti akan menjadi kacau-balau. Kekacauan timbul akibat dari konflik kepentingan penguasa dan oposan. Oleh karena itu sumber kekacauan ada pada penguasa dan kaum oposan. Untuk melanggengkan struktur dan status quo, penguasa akan melakukan manipulasi politik melalui bahasa. Sebaliknya, kaum oposan yang menentang kebijaksanaan tersebut menciptakan manipulasi yang berseberangan dengan penguasa. Dari sinilah awal timbulnya kekacauan bahasa. Selanjutnya terjadi polarisasi bahasa yang tidak berasal dari bahasa itu sendiri, melainkan dari realitas pergolakan politik yang kemudian tercermin di dalam bahasa.
Kekacauan ini dapat diamati dalam perdebatan yang menggunakan jargon dan idiom antara pemerintah yang berkuasa dengan kaum oposan yang berada di luar pemerintahan. Contoh yang paling sering diperdebatkan misalnya: buruh-pekerja, breidel-pencabutan SIUP, kenaikan harga-penyesuaian harga, perempuan-wanita, PHK-pecat, dan lain-lainnya. Di dalam hal ini pihak pemerintah dan kaum oposan menggunakan terminologi, jargon ataupun idiomnya masing-masing sebagai ciri hubungan peran di antara mereka.
2.3 Bahasa Sebagai Alat Manipulasi Politik
Bahasa adalah sarana untuk menyingkap realitas personal dan komunal. Bahasa dapat memperdaya, menggusarkan, menggairahkan dan juga melumpuhkan manusia. Manusia bisa tersesat, kalah, menang dan selamat dengan atau di dalam bahasa. Dengan bahasa orang mendapatkan kesesuaian satu dengan yang lainnya sehingga tercipta harmoni dan kedamaian. Namun, dengan bahasa pula kedamaian dan harmoni dihancurkan lewat kesalahpahaman, makian, dan bahkan peperangan. Penggunaan bahasa tidak bisa dilepaskan dari tindakan manusia.
Di dalam politik manipulasi bahasa selalu terjadi. Kemampuan berbahasa sangat diperlukan dalam memanipulasi. Setiap manusia senantiasa memanipulasi dirinya dan orang lain bila ia terdesak oleh kepentingan dan tujuan yang ingin dicapai. Oleh karena itu memanipulasi itu baik adanya bila ditujukan bagi kepenitngan dan tujuan yang baik pula.
Memanipulasi pada dasarnya memang melanggar martabat dan kebebasan manusia. Akan tetapi manipulasi mempunyai dimensi etisnya sendiri, yaitu tidak boleh menggangu dan melanggar landasan martabat dan kebebasan manusia. Manusia di dalam kebebasannya bertanggung jawab bagi dan kepada diri sendiri.
Manipulator bahasa memang dominan ada pada politikus, karena seorang politikus dituntut untuk memperjuangkan kepentingan dan tujuan masyarakat yang telah mempercayakan dan memberikan kekuasaan kepadanya. Mereka dapat kita katakan sebagai seorang manipulator bahasa dan orator yang ulung. Hal ini dimungkinkan karena mereka mempunyai kinerja bahasa yang tinggi.
2.4 Gejala Eufemisme
Dalam hal ini akan menarik kiranya apabila kita mengaitkannya dengan penggunaan eufemisme di dalam politik. Eufemisme merupakan suatu gaya bahasa yang indah, yang bisa memperkaya khasanah kosa kata bahasa dan dapat pula menimbulkan pesona puitis. namun bahaya lain yang ditimbulkan oleh penggunaan eufemisme yang berlebihan untuk kepentingan politik adalah menjadi buta dan teralienasinya masyarakat terhadap realitas makna yang sesungguhnya. Di dalamnya terjadi deviasi makna. Di sini pula terjadi penjajahan kesadaran, cara berpikir, cara melihat dan cara menilai. Masyarakat diarahkan dan digiring menuju keseragaman bahasa atau kata oleh penguasa. Makna kata yang kasar, brutal, bombastis dan lugas disembunyikan di dalam eufemisme. Eufemisme menjalankan fungsi kontrol sosial-politiknya sehingga terjadi keterpedayaan sosio-politik di dalam masyarakat (Fransiskus Borgias, Basis, September 1994).
Manipulasi bahasa pada kenyataannya digunakan juga sebagai kontrol sosial-politik. Kontrol sosial-politik lewat bahasa oleh penguasa dilakukan dengan cara persuasif. Misalnya dengan membuat jargon-jargon pembangunan dan eufemisme yang dengan gencar diucapkan oleh para pejabat negara di dalam setiap kesempatan. Kemudian media massa menggemakan dan menggaungkannya ke masyarakat. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah terjajah dan terbelenggunya kesadaran dan pemikiran masyarakat akibat indoktrinasi bahasa pihak penguasa melalui media massa tanpa ada reservenya. Dengan keseragaman bahasa diharapkan pula stabilitas politik tetap terjaga, karena bahasa yang diucapkan masyarakat menjadi cermin dan indikator “keterpesonaan dan keterpedayaan”.
Sehubungan dengan itu, di dalam politik, bahasa adalah sebuah senjata, para politikus sudah menguasai bahasanya untuk alasan penting yaitu kekuasaan, karena siapapun menguasai bahasa akan mempunyai kekuasaan. Bahasa yang digunakan dalam bidang politik supaya membuat kesan yang dapat dipercaya baik untuk politikus tersendiri maupun seluruh organisasi politik. Kesan yang baik sangat penting untuk karir politikus, mengunakan bahasa yang salah atau buruk dapat  menyebabkan seseorang tidak dipercaya oleh masyarakat. Bahasa juga alat yang paling penting untuk menyebarkan pesan politik kepada masyarakat. Selama kampanye pemilu para politikus dan aktivis menggunakan semboyan-semboyan tertentu supaya meyakinkan masyarakat mengenai isu-isu yang sedang hangat dibicarakan. Bahasa yang digunakan selama saat ini adalah ringkas, berani dan mudah diingat. Kadang-kadang pemerintahan akan dipilih karena semboyan yang sangat baik. Dengan adanya semboyan yang baik, maka rakyat akan memberikan kepercayaan kepada politikus tersebut.
Bahasa bisa mengubah cara orang-orang berpikir. Lewat propaganda pemerintah atau media massa yang menguasai pendapat umum, atau di sisi lain lewat bahasa perlawanan terhadap pemerintah digunakan para aktivis, bahasa emosi bisa mengubah pendapat masyarakat. Dalam perjuangan politik di antara pihak yang berbeda, bahasa adalah alat yang penting sekali. Politik juga mempengaruhi bahasa. Banyak kata dan ungkapan yang baru dikenalkan bidang politik, dan ada suatu kata-kata yang artinya dirubah kalau digunakan pemerintah. Misalnya, kalau politikus mengunakan kata dalam semboyannya, pengertian tambahan akan mengubah dan segera kata itu akan mengandung yang berbeda. Bahasa digunakan dalam bidang politik untuk banyak alasan dan dalam bermacam-macam cara. Bahasa bisa digunakan baik orang dalam politik maupun orang yang di luar struktur politik utama dan karena oleh itu, bahasa adalah terpenting alat dalam politik yang dapat dicapai kebanyakan orang.
2.5 Contoh penggunaan Bahasa dalam Politik
Bahasa adalah alat yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, bahasa itu hidup di dalam masyarakat dan dipakai untuk berkomunikasi. Kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam kemasyarakatan. Kelangsungan hidup sebuah bahasa itu sangat ditentukan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat itu, dengan kata lain budaya yang di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan keberadaan dari bahasa tersebut. Kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam kemasyarakatan. Hubungan antara bahasa dan budaya seperti sebuah koin yang mempunyai dua sisi, mereka tidak dapat dipisahkan. Dengan itu kebahasaan berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi manusia itu di dalam masyarakat.
Politik dapat dikenali melalui dua wajah yang saling inheren antara satu dengan lainnya. Pertama, dalam kalkulasi yang riil, politik merupakan persoalan siapa memperoleh apa Politik dalam pengertian ini, pada dasarnya berkenaan dengan penjatahan sumber daya. Dalam pandangan demikian politik lalu diyakini sebagai urusan kekuasaan (power). Dari sisi ini politik nampak sebagai upaya atau proses komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol atau kata lainnya adalah bahasa, penjatahan sumber daya serta bahasa. Dengan demikian, menjadi dua kunci pokok dalam setiap perbincangan mengenai politik dan dengan sendirinya, juga kekuasaan.
Dalam hubungan ini bahasa berfungsi sebagai alat yang digunakan oleh para aktor politik, terutama elite politik, untuk mencapai kondisi di mana penjatahan sumber daya dapat diterima oleh kalangan luas masyarakat, setidaknya sampai periode atau kurun waktu tertentu. Pada saat pemilu penggunaan bahasa politik begitu banyak. Periode ini rakyat dapat memilih Presiden dan wakil presiden secara langsung, mencermati “debat” calon presiden, dan berpartisipasi dalam pemilihan (memberikan suara) secara relatif bebas. Selanjutnya, periode ini juga ditandai oleh suatu hal yang menarik, yakni kesan bahwa penggunaan bahasa Indonesia oleh para elite politik, setidaknya sampai tingkat tertentu menunjukkan pergeseran ke arah semakin mengurangnya penggunaan ungkapan simbolik bahasa Jawa sementara kata-kata dari bahasa Inggris dan Arab nampaknya lebih banyak digunakan.
Hal demikian terutama disebabkan oleh keragaman latar belakang sosial dan kultural elite politik, termasuk para kandidat presiden dan wakil presiden serta yang duduk di jajaran kepengurusan partai politik. Tulisan singkat ini dimaksud hendak mendiskusikan bagaimana para elite politik kita menggunakan ungkapan-ungkapan simbolik dalam bahasa Indonesia di berbagai kesempatan serta bagaimana kemungkinan implikasi yang ada sehingga pembaca dapat mengetahui bahasa dalam politik.
Ungkapan simbolik sangat banyak digunakan dalam politik. Murray Edelman bahkan mengatakan bahwa “the most conspicuously democratic institution are largely symbolic and expressive in function” (Rotunda dalam Pawito, 2011:2). Hal demikian disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ungkapan simbolik dapat digunakan untuk mengungkapkan gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, dan persepsi-persepsi. Barangkali dapat dikatakan bahwa fungsi ini adalah fungsi yang paling umum dan mendasar. Kedua, Ungkapan simbolik dapat membawa signifikasi yang besar pada tataran individual. Misalnya ungkapan “partainya wong cilik”, ternyata dengan mudah menjadi rujukan yang melahirkan loyalitas yang dasyat di kalangan para pendukung PDI-P di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri. Ketiga, ungkapan simbolik dapat digunakan oleh para pemimpin dan elite politik untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa sesuatu atau mungkin banyak hal telah dilakukan. Hal ini sangat penting untuk tetap menjaga legitimasi sistem maupun yang lebih penting lagi yaitu kepemimpinan mereka.
Dalam konteks Indonesia, Pawito (2011:5) mengamati bahwa ada semacam proses jawanisasi terhadap bahasa Indonesia, terutama dalam hal penggunaan ungkapan simbolik sebagai kendaraan yang otonom untuk mengangkut gagasan-gagasan dan aspirasi.
Dalam pengamatan Pawito, proses termaksud mencakup beberapa faset. Pertama, pengkramaan, yakni penggunaan kata-kata bahasa jawa krama untuk menunjuk berbagai hal seperti sapta marga untuk tujuh prinsip etik yang harus dipatuhi oleh setiap prajurit, dan satya lencana untuk penghargaan atas pengabdian kepada negara. Kedua, penggunaan kata-kata bahasa jawa ngoko untuk berbagai praktek atau kecenderungan sosial-politik, secara bobrok, gontok-gontokan, dan berkiprah. Ketiga, netralisasi simbol-simbol revolusioner. Netralisasi ini pada dasarnya dilakukan dengan mengasimilasi simbol-simbol revolusi dengan simbol-simbol lain yang tidak/kurang berkaitan dengan revolusi. Dalam hal ini rupanya ada dua cara, menurut Pawito, yakni (a) mengubur kata-kata yang jelas mensimbolkan kekuatan revolusi, seperti revolusi, sosialisme, dan demokrasi seraya mengintrodusir istilah atau singkatan-singkatan (acronyms) seperti Jarek, Resopim, dan Usdek; dan (b) mengambil hakikat dari tindakan atau proses sehingga, misalnya, kata revolusi tidak identik dengan revolution, dan demokrasi tidak identik dengan democracy. Kecenderungan demikian suatu ketika mencuat melalui retorika Presiden Soekarno bahwa revolusi belum selesai. Dalam hubungan ini revolusi dimaknai bukan sebagai suatu proses sosial (social process) yang ditandai oleh sifat radikal, illegal, dan kebebasan (bahkan Soekarno menolak kebebasan) sebagaimana konsep revolution dalam bahasa Inggris biasa difahami (Schouls dalam Pawito, 2011:7), tetapi adalah sebagai suatu mentalitas (mentality) – yakni mentalitas terus mengupayakan perubahan, eksperimen, pembangunan dan penyempurnaan. Istilah revolusi dalam hubungan ini memiliki makna esoterik yang bersifat lokal. Keempat, image politik orang-orang jawa, menunjukkan kecenderungan proses yang bersifat siklis dan bukan linier.
Kendati waktu terus mengalir dan zaman terus berubah, namun bagi banyak orang jawa, perubahan yang ada atau terjadi memiliki pola yang relatif tetap: dari periode waktu yang penuh kegelapan (Zaman Edan, Age of Madness) lalu berubah menjadi penuh kegemilangan lagi, dan begitu seterusnya. Pandangan demikian membawa implikasi pemikiran bahwa politik dan kekuasaan berubah atau bergerak dalam pola siklis. Anderson mengamati pula bahwa bahasa politis Indonesia menuju proses asimilasi dan perubahan kharakter, dimana kosakata dari bahasa Belanda semakin tidak digunakan [oleh para elite politik], dan kesenjangan antara Jawa beserta tradisi-tradisinya dengan bahasa Indonesia bernuansa revolusioner serta aspirasi-aspirasinya cenderung menyempit.
Di atas sudah dikemukakan bahwa penggunaan ungkapan simbolik oleh elite politik Indonesia pada saat Pemilu menunjukkan gejala semakin ekstensifnya penggunaan kata-kata bahasa Inggris dan Arab sementara kosakata bahasa Jawa, kendati masih sering digunakan, terkesan semakin mengurang. Kian banyaknya ungkapan dalam bahasa Inggris oleh elite politik Indonesia menggantikan penggunaan ungkapan dalam bahasa Belanda oleh elite politik Indonesia periode menjelang dan awal proklamasi hingga akhir dekade 1960-an ini dicontohkan beberapa ungkapan yang digunakan oleh para elite politik.
1. Reward and punishment
Ungkapan simbolik dari bahasa Inggris ini tergolong populer  dan kerap digunakan oleh para elite politik Indonesia periode Pemilu 2004. Wiranto, kandidat persiden dari partai golkar, misalnya, pada kesempatan wawancara dengan wartawan Tempo Dimas Adityo mengatakan mengenai bagaimana cara memilih orang yang menduduki jabatan di lembaga-lembaga hukum: “Yang terpenting justru setelah kita pilih, setelah ia bersumpah dan mulai menjalankan tugasnya. Di situlah saya akan menilai apakah mereka benar-benar aparat yang bersih, yang bertanggungjawab. Itulah saat untuk memulai reward and punishment. Siapa yang menunjukkan dedikasi dan itikad baik untuk menjadi pejabat yang jujur, kita hargai; siapa yang tidak mampu menunjukkan itu, kita beri sanksi, bahkan hukuman”. Dapat dikatakan bahwa ungkapan ini kalau dilaksanakan secara konsisten, memungkinkan dihargainya prestasi serta dapat ditegakkannya keadilan.
2. Reformasi belum selesai
Ungkapan ini disampaikan oleh Amien Rais, kandidat presiden dari Partai Amanat Nasional, kepada Imam Prihadiyoko (wartawan Kompas) di kantornya Amien Rais mengatakan demikian dalam konteks menanggapi pandangan bahwa reformasi “semakin menyengsarakan rakyat.” Amien Rais dalam hubungan ini mengatakan bahwa gerakan reformasi bukan tanpa hasil.” Kebebasan pers, kebebasan politik, kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran, serta amandemen UUD 1945 merupakan sebagian dari hasil reformasi.” Ungkapan di atas mengingatkan kita akan pernyataan Soekarno dipenghujung dekade 1950 an dan awal 1960 an bahwa revolusi belum selesai seperti sudah disinggung sebelumnya. Amin Rais dalam hubungan ini terkesan bermaksud hendak menegaskan perlunya terus diupayakan perubahan-perubahan, keluar dari masa lampau yang kelam atau bobrok, menuju kondisi-kondisi yang lebih baik, yang lebih adil, dan lebih bermartabat; dan untuk itulah ia mencalonkan diri ikut berkompetisi dalam pemilu.
Kata reformasi dengan demikian memiliki makna esoterik yakni mentalitas dan upaya untuk terus melakukan perubahan. Betapapun kata reformasi ini berasal dari kata bahasa Inggris reformation yang dalam konteks polittik, biasanya dimaknai sebagai upaya melakukan perubahan menyeluruh (general overhaul) baik dikalangan pemerintahan maupun sistem yang ada. Kebebasan pers, kebebasan politik, kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran seperti dikemukakan oleh Amin Rais sebenarnya merupakan pilar dari demokrasi. Demokrasi tidak akan terwujud kalau tidak ada kebebasan seperti dimaksudkan tadi.
3. Pemerintahan yang efektif
Ungkapan ini disampaikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono, kandidat presiden dari Partai Demokrat (didukung oleh partai Bulan Bintang dan partai Keadilan dan Persatuan Indonesia), ketika menjawab pertanyaan wartawan kompas Budiarto Shambazy “Akhirnya suara itu dari rakyat, bukan dari partai karena sistem pemilihan langsung. Maka apabila saya terpilih yang segera saya lakukan adalah membentuk pemerintahan yang efektif yang sifatnya presidensial. Bagi saya bukannya dari mana yang bersangkutan berasal tetapi masalah kapasitas, intergritas, dan pengalaman,” demikian Yudhoyono mengatakan.
Ungkapan pemerintahan yang efektif bagi Yudhoyono adalah pemerintahan yang diwarnai dengan menggunakan istilah dari Yudhoyono sendiri, checks and balances…. Betul-betul perform, stable, dan mencapai sasaran….” (ibid). Untuk upaya ini Yudhoyono merencanakan akan membentuk pemerintahan koalisi terbatas dengan partai lain dan menggalang koalisi di parlemen, atau mengutip kata-kata Yudhoyono, “governing coalition dan parliamentary coalition…”. Susilo Bambang Yudhoyono, sebagaimana dikenal banyak orang, bukan sekedar manusia jawa, terapi adalah orang yang memiliki latar belakang pendidikan AMN (lulusan terbaik th 1973), serta penah mengikuti pendidikan di Command and General Staff College di Fort Leavenworth, Kansas AS.
Susilo juga pernah bertugas ke Bosnia-Herzegovina, bergabung dengan pasukan pemeliharaan perdamaian PBB. Penggunaan ungkapan tadi menunjukkan kapasitas serta komitmennya sebagai kandidat presiden yang harus memiliki Plat form jelas. Check and Balances pada umumnya dipahami sebagai suatu kecenderungan dan mekanisme yang seimbang antara eksekutif (presiden) dan legislatif (parlemen-parlemen) sebagaimana dipersyaratkan dalam sistem politik demokratis.
4. Strong leader
Ungkapan ini dikemukakan oleh Wiranto. Menurut Wiranto, strong leader tidak identik dengan militer kendati di jajaran militer istilah ini memang dikenal. Strong leader bagi Wiranto adalah pemimpin yang memiliki dua kemampuan sekaligus: pemikir dan komandan (pengatur pelaksana). Pemikir adalah pembuat rencana-rencana strategis termasuk penentu/perumus tujuan jangka menengah dan panjang, sementara komandan adalah pelaksana rencana-rencana bersangkutan. “Strong Leader mesti konsisten, transparan, dan membangun kepastian dalam mengambil keputusan”.
Pada kesempatan lain, Wiranto mengatakan bahwa strong leader adalah “pemimpin yang berani mengambil keputusan pahit, yang mungkin saja tidak popular” (Tempo edisi pemilihan presiden, 30 juni 2004:30-31). Ungkapan simbolik strong leader walaupun per definisi, seperti baru saja dikemukakan, tidak harus selalu diasosiasikan dengan laki-laki, namun dapat memiliki implikasi bias gender dalam setting budaya Indonesia, termasuk dalam konteks kompetisi calon presiden. Kata strong (kuat dalam bahasa Indonesia) lebih banyak, walau tidak selalu berasosiasi dengan laki-laki ketimbang dengan perempuan. Pemaknaan ungkapan strong leader yang mencerminkan kecurigaan sebagai implikasi dari kemungkinan adanya bias jender, misalnya dari Megawati Soekarnoputri. Kandidat presiden dari PDI-P ini mengatakan bahwa “kalau ada yang mengatakan kita perlu strong leader, saya jawab, “Kalau begitu saya memang tidak bisa’. Soalnya perempuan selalu dikonotasikan lembek, lemah lembut, ngomong-nya pelan…” (Kompas, 2 juni 2004:11).
5. Kekuasaan adalah amanah
Ungkapan ini dikemukakan oleh banyak sekali elite politik kita, termasuk Amin Rais. Amin Rais, misalnya, mengatakan bahwa kekuasaan adalah bukan kesempatan untuk memerintah, tetapi “merupakan amanah dan tanggung jawab yang harus dijalankan dengan jujur, berani, dan cerdas. Amanah melayani masyarakat untuk menjamin serta menyejahterakan orang yang dipimpin” Kompas,4 juni 2004). Kata amanah berasal dari kata bahasa Arab yang kurang-lebih berarti titipan tanggung jawab. Dalam Al-Quran (2:30) misalnya, disebutkan bahwa Sang Maha Kuasa menitipkan amanah kholifah (tanggung jawab memimpin, mengelola, memakmurkan) di bumi kepada manusia. Dapat dimengerti bahwa Amin Rais banyak menggunakan kata amanah ini, bahkan partai yang dipimpinnya bernama Partai Amanat Nasional (PAN), karena Amin memiliki latar belakang sebagai pemimpin organisasi sosio-kultural Muhammadiyah. Kendati pun demikian, Amin Rais adalah bukan hanya orang yang memiliki latarbelakang ethnis Jawa dan lama berkecimpung serta pernah memimpin Muhammadiyah, tetapi ia juga seorang ahli ilmu politik (bergelar Ph D) tamatan Universitas Chicago,AS.

6. Insya Allah
Ungkapan simbolik ini merupakan kata-kata bahasa Arab yang paling banyak digunakan oleh para elit politik Indonesia periode Pemilu 2004. Yusuf Kalla (kandidat wakil Presiden bersama Yudhoyono), misalnya menggunakan ungkapan ini pada ksempatan berkampanya di lapangan Benu Kendari hari minggu 6 juni 2004.”Saya dan Pak Susilo Bambang Yudhoyono kalau diberi kepercayaan untuk memimpin bangsa ini, Insya Allah akan membawa bangsa ini ke arah yang lebih maju” (Republika, Senin 7 juni 2004:9). Agum Gumelar, kandidat wakil presiden bersama Hamsah Haz, juga menggunakan ungkapan ini pada kesempatan pengukuhan kandidat di Lapangan Tenis Indoor, Senayan Jakarta Rabu 12 Mei 2004. Ketika itu Agum mengatakan:”Insya Allah, bersama-sama Pak Hamzah dan saudara-saudara, saya siap membawa bangsa ini; hari ini lebih baik daripada kemarin dan hari esok lebih baik daripada hari ini (Republika,13 Mei 2004:1).
Ungkapan ini secara umum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: sekiranya Allah menghendaki. Kendati demikian makna dari ungkapan ini adalah merefleksikan akhlak mulia berkhitmad kepada Sang Maha Kuasa: bahwa segala sesuatu terjadi atas kuasaNya, dan yang dapat diperbuat oleh manusia adalah sebatas berupaya dan berdo’a. Ungkapan ini dapat dikatakan memiliki implikasi sikap rendah hati dan bukan congkak, seraya mengharap pertolongan Sang Maha Kuasa menyertai upaya dan do’anya.
7. Amar ma’ruf nahi mungkar (mengajak kepada kebajikan mencegah kemungkaran)
Penggunaan ungkapan simbolik bahasa Arab ini sebenarnya sudah lama mewarnai rethorika elite politik Indonesia. Muhammadiyah sebagai suatu organisasi sosio-kultural memiliki semboyan ini. Dalam konteks Pemilu 2004, ungkapan ini tidak hanya digunakan oleh elite politik dari PAN semata tetapi juga elite politik dari partai lain. KH Nur Muhammad Iskandar SQ Ketua Tim Sukses Mega-Hasyim Banyumas, misalnya, menggunakan ungkapan ini pada kesempatan pernyataan dukungan 100 pengasuh pondok pesantren Banyumas untuk Mega-Hasyim Jum’at 28 Mei 2004. “Kita ingin menegaskan bahwa pasangan Mega-Hasyim tetap akan memperjuangkan amar ma’ruf nahi mungkar. Selama ini kan seperti ada anggapan kalau PDI-P itu begini-begitu, tetapi kita lihat sekarang sudah ada perbaikan”, demikian ia mengatakan (Kompas,30 Mei 2004:11).


8. Ijtihad (perbedaan pendapat untuk mencari keputusan)
Ungkapan berasal dari bahasa Arab ini memang tidak terlalu sering digunakan oleh elit politik Indonesia periode pemilu 2004 dibandingkan dengan ungkapan bismillah (dengan menyebut nama Allah), atau ungkapan bahasa Arab lain seperti di atas telah dikemukakan. Namun demikian, ungkapan ini suatu ketika menjadi sangat esensial sifatnya terutama dalam konteks persoalan internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai yang dikenal sangat disiplin ini tiba saatnya harus membuat keputusan memberikan dukungan resmi kepada salah satu pasangan kandidat Amin Rais-Siswono Yudohusodo. Keputusan ini terkesan agak terlambat sehingga sebagian para pendukung dan simpatisan nyaris mengambil keputusan sendiri-sendiri, seperti misalnya Sekjen Anis Matta yang condong kepada pasangan Wiranto-Solahuddin Wahid. Menanggapi keputusan ini, Anis Matta mengatakan: “Masalah ini adalah ijtihad (mencari keputusan) politik yang bebas dilakukan asal sesuai dengan prosedur”. Dalam hubungan ini Anis Matta menegaskan selanjutnya bahwa “keputusan PKS tersebut tidak akan menimbulkan perpecahan dan sama sekali tidak menunggu hubungan personal maupun mekanisme organisasi.
9. Habluminallah, habluminannas (jalinan hubungan dengan Allah dan jalinan hubungan dengan manusia)
Ungkapan ini banyak digunakan oleh elite politik Indonesia yang berlatar belakang sosio-kultural Islam. Hamzah Haz, misalnya menggunakan ungkapan ini pada kesempatan wawancara dengan Setiyardi, wartawan Tempo. Menjawab pertanyaan tentang apakah Hamzah Haz akan menerapkan syariat Islam apabila memenangkan pemilu, Hamzah mengatakan: “Bagi saya, ideologi Pancasila sudah final. Itu tidak bisa diganggu gugat lagi. PPP memang sangat kental dengan Islam. Tapi Pancasila juga punya “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Itu merupaka dasar untuk kita berhabluminallah dan ber-habluminannas. Jadi, tidak ada masalah antara Pancasila dan Islam” (Tempo,edisi pemilihan presiden,30 Juni 2004:131). Beberapa Implikasi Dari contoh-contoh diatas kita memperoleh kesan bahwa latar belakang ethnis (suku) tidak dengan sendirinya mempengaruhhi pola penggunaan ungkapan simbolik para elite politik; tetapi latar belakang sosial dan kultural kiranya yang lebih berpengaruh.
Amin Rais dan Susilo Bambang Yudhoyono pada dasarnya memang tokoh berasal dari ethnis atau suku Jawa; tetapi karena memiliki pendidikan dan pengalaman pergaulan antar bangsa maka didalam berbahasa Indonesia di berbagai kesempatan kerapkali menggunakan ungkapan simbolik bahasa Ingggris. Ungkapan simbolik yang berasal dari bahasa Jawa relatif kurang mereka gunakan. Hal demikian mirip dengan pola berbahasa Indonesia para founding fathers dan elite politik Indonesia periode sebelum dan awal proklamasi sampai akhir dekade 1960-an yang kerap kali diwarnai dengan penggunaan ungkapan simbolik dalam bahasa Belanda. Soekarno, misalnya menggunakan ugkapan-ungkapan dalam bahasa Belanda (di samping ungkapan dalam bahasa Jawa, Arab dan Inggris), seperti zonder weerga (tiada bandingnya), op leven en dood ([persoalan tentang] hidup dan mati), vereenig en regeer (bersatu dan berkuasa, sebagai tandingan dari verdeel en heers, memecah belah dan menguasai atau divide et impera) (periksa, misalnya IR. Soekarno, 1965).
Selanjutnya, karena Amin Rais, Anis Matta, dan juga Hamzah Haz, pada dasarnya adalah tokoh-tokoh yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan kultural Islam, maka di dalam berbahasa Indonesia mereka sering menggunakan ungkapan simbolik dalam bahasa Arab, di samping bahasa Inggris. Bahasa yang digunakan dalam Al Qur’an-kitab suci agama Islam, seperti kita ketahui adalah bahasa Arab. Banyaknya ungkapan bahasa Inggris dan Arab dalam bahasa Indonesia yang digunakan oleh elite politik Indonesia seiring dengan mengurangnya penggunaan ungkapan bahasa Jawa kiranya, setidaknya sampai tingkat tertentu, dapat dikatakan sebagai pertanda bagi semakin berkembangnya demokrasi pada masyarakat kita. Demokrasi mensyaratkan kesederajadan (equality) (lihat misalnya Modelski 1992:1353-1367). Bahasa Inggris dan Arab, sebagaimana kita ketahui bersama, lebih mengkondisikan sifat kesederajadan dibandingkan dengan bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki hierarki yang meliputi krama inggil, krama madya, dan ngoko. Kata dalam bahasa Indonesia kamu atau engkau, misalnya, ke dalam bahasa Jawa dapat diterjemahkan menjadi kowe (kalau digunakan untuk berbicara dengan orang yang sederajat), sampeyan (untuk orang yang dihormati), dan panjenengan (untuk orang yang sangat dihormati).
Sementara itu, kata kamu dikenal dengan you dalam bahasa Inggris, dan anta dalam bahasa Arab. Kalau sekiranya hipotesa yang mengatakan bahwa bahasa yang digunakan menentukan cara berfikir (hipotesa Sapir-Whorf) dan cara berfikir pada gilirannya menentukan cara bersikap dan bertindak, maka kecenderungan demikian juga akan berimplikasi terhadap pola-pola hubungan dan komunikasi dalam masyarakat. Jalinan hubungan antar idividu akan semakin ditandai oleh sifat egalitarian, dan pola komunikasi akan semakin bersifat trasaksional. Media massa dalam pada itu akan relatif semaki independent dalam mendefinisikan peristiwa serta isu-isu, dan khalayak secara relatif akanlebih memiliki kebebasan untuk mentafsirkan dan merespon pemberitaan-pemberitaan media. Kendati pun demikian, kecenderungan demikian secara potensial juga dapat membawa konsekuensi semakin terkikisnya nilai-nilai ethika budaya Jawa yang sudah sering dikeluhkan lewat ungkapan wong jowo ilang Jawane. Kecenderungan diatas dapat dilihat melalui semakin kentalnya nuansa ekspresi yang serba eksplisit (jelas, tegas), langsung kepada sasaran (to the point), dan provan (lugas, tanpa basa-basi), baik dalam menyampaikan kritik, maupun dalam menyampaikan aspirasi-aspirasi.


















BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
Ungkapan simbolik bahasa Inggris dan Arab dalam bahasa Indonesia yang digunakan oleh elite politik menunjukkan bahwa bahasa politis Indonesia, seperti dikatakan oleh Aderson di atas masih sedang menuju proses asimilasi dan perubahan kharakter. Ungkapan-ungkapan simbolik bahasa Belanda tidak digunakan lagi, dan penggunaan ungkapan bahasa Jawa semakin mengurang.
Ungkapan simbolik bahasa Indonesia (Melayu) yang bersifat revolusioner (seperti gugur satu tumbuh seribu, semangat menggelora, dan api perjuangan) juga terkesan semakin memudar, mungkin karena kehilangan relevansi.
Ungkapan simbolik dalam bahasa politik diantaranya ialah mikul dhuwur mendhem jero, jer basuki mawa beyo, diobok-obok, grusa-grusu (tidak berfikir cermat), muluk-muluk (utopia, tidak realistis), digodog (dikaji,diproses), dan anjlok (turun drastis), ”Marilah kita memilih presiden dengan pikiran yang jernih, dengan mata hati, tidak grusa-grusu, karena taruhannya panjang, lima tahun ke depan. Saya sudah bekerja keras selama tiga tahunan terakhir, apakah tidak dilihat kemajuan dibandingkan dengan ketika saya masih menjabat sebagai wakil presiden?”, Dibutuhkan kesiapan mental serta jalan keluar untuk mengantisipasi perubahan sehubungan dengan kecenderungan pola hubungan antar individu yang lebih egaliter dan komunikasi yang transaksional. Nuansa guyub akan semakin memudar, dan sebagai gantinya yang lebih dominan adalah nuansa pamrih, yang secara sederhana dapat diungkapkan:”okey, kalau saya mau begitu, saya mendapat apa?”.
3.2 Saran

Dalam makalah ini penyusun memberi saran kepada pembaca bahwa untuk memperluas wawasan pembaca dalam memahami hubungan bahasa dengan politik dan berbagai macam bahasa dalam politik, tidaklah hanya berpedoman pada makalah ini, karena masih banyak dari sumber-sumber lain yang menjelaskan tentang berbagai materi di atas. Kunci daripada orang sukses adalah membaca, karena dengan membaca kita bisa tahu yang mungkin tidak kita ketahui.

Aliran Struktural



BAB I PENDAHULUAN

1.1     Latar Belakang
Bahasa sebagai salah satu alat komunikasi menunjukkan peran pentingnya di dalam kehidupan manusia. Manusia tanpa bahasa akan menimbulkan pesan yang akan disampaikan menjadi terhambat, dikarenakan tidak adanya kesesuaian atau pemahaman antara penutur dan petutur suatu bahasa. Pemahaman bahasa atau lebih khususnya linguistik kini berperan penting dan menjadi fokus utama agar proses berkomunikasi menjadi lebih mudah.
Sejarah linguistik yang sangat panjang telah melahirkan berbagai aliran-aliran linguistik. Masing-masing aliran tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang bahasa, tapi pada prinsipnya aliran tersebut merupakan penyempurnaan dari aliran-aliran sebelumnya.
Banyaknya aliran-aliran linguistik akan menimbulkan permasalahan tersendiri bagi pemahaman dan pengetahuan para pengguna bahasa. Salah satu dari sembilan aliran linguistik adalah aliran linguistik struktural. Aliran struktural yang merupakan salah satu aliran linguistik yang mengkaji bahasa dari ciri atau sifat khas bahasa. Jika pemahaman akan aliran struktural kurang dipahami oleh pengguna bahasa maupun para peneliti bahasa maka akan menimbulkan kesulitan di dalam proses pemahaman aliran-aliran linguistik yang ada khususnya aliran struktural.
Oleh karena itu, dengan berdasarkan paparan di atas dan dikarenakan sebagai tugas mata kuliah, maka penulis membahas mengenai aliran linguistik struktural.

1.2     Rumusan masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Apakah pengertian aliran linguistik struktural?
2.    Bagaimanakah latar belakang munculnya aliran linguistik struktural?
3.    Apakah ciri-ciri aliran  linguistik struktural?
4.    Siapakah tokoh aliran linguistik struktural?
5.     Apakah keunggulan dan kelemahan dari aliran linguistic struktural?
6.    Bagaimanakah analisis bahasa dalam aliran linguistik struktural



1.3     Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Mendeskripsikan pengertian aliran linguistik struktural?
2.    Mendeskripsikan latar belakang munculnya aliran linguistik struktural?
3.    Mendeskripsikan ciri-ciri aliran  linguistik struktural?
4.    Mendeskripsikan tokoh aliran linguistik struktural?
5.     Mendeskripsikan keunggulan dan kelemahan dari aliran linguistik struktural?
6.    Mendeskripsikan analisis bahasa dalam aliran linguistik struktural


























BAB II PEMBAHASAN

2.1     Pengertian Aliran Struktural
Abdul chaer (2007:346) menyatakan bahwa linguistik struktural ialah aliran yang berusaha mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimilki bahasa itu.
Aliran struktural adalah sebutan yang diberikan pada paham bahasa yang berlandaskan pada pemikiran Behavioristik. Jadi dengan didasari kepada paham behavioristik hakikat bahasa itu dipandang dari perwujudan lahiriahnya, jadi di dalam taksonomi gramatika disusun dari tataran terendah berupa fonem, morfem, frasa, klausa, sampai tataran tertinggi yang berupa kalimat.
Teori Behavioristik merupakan salah satu pendekatan untuk memahami perilaku individu. Paham behaviorisme memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain paham behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat, dan perasaan individu dalam suatu kegiatan belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kebiasaan yang dikuasai oleh individu.
Dari pengertian aliran struktural di atas, dapat disimpulkan bahwa aliran struktural atau behavioristik adalah salah satu aliran linguistik yang mendeskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas dari bahasa itu sendiri.

2.2     Latar Belakang Lahirnya Aliran Linguistik Struktural
Sejarah linguistik yang sangat panjang telah melahirkan berbagai aliran-aliran linguistik yang pada akhirnya mempengaruhi pengajaran bahasa. Masing-masing aliran tersebut memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang bahasa sehingga melahirkan berbagai tata bahasa. Aliran tradisional telah melahirkan sekumpulan penjelasan dan aturan tata bahasa yang dipakai kurang lebih selama dua ratus tahun lalu.
Menurut para ahli sejarah, tata bahasa yang dilahirkan oleh aliran ini merupakan warisan dari studi preskriptif (abad ke 18). Studi preskriptif adalah studi yang pada prinsipnya ingin merumuskan aturan-aturan berbahasa yang benar. Sejak tahun 1930-an sampai akhir tahun 1950-an aliran linguistik yang paling berpengaruh adalah aliran struktural. Tokoh linguis dari Amerika yang dianggap berperan penting pada era ini adalah Bloomfield. Linguistik Bloomfield berbeda dari yang lain. Dia melandasi teorinya berdasarkan psikologi behaviorisme. Menurut Behaviorisme ujaran dapat dijelaskan dengan kondisi-kondisi eksternal yang ada di sekitar kejadiannya. Kelompok Bloomfield menyebut teori ini mekanisme, sebagai kebalikan dari mentalisme. Bloomfield berusaha rnenjadikan linguistik sebagai suatu ilmu yang besifat empiris. Karena bunyi-bunyi ujaran merupakan fenomena yang dapat diamati langsung maka ujaran mendapatkan perhatian yang istimewa. Akibatnya, kaum strukturalis memberikan fokus perhatiannya pada fonologi, morfologi, sedikit sekali pada sintaksis, dan sama sekali tidak pada semantik. Tata bahasa tagmemik dipelopori oleh Kenneth L. Pike, Bukunya yang terkenal adalah Linguage in Relation to a United Theory of The Structure of Human Behaviour (1954).
Menurut aliran Ini, satuan dasar dari sintaksis adalah tagmem (bahasa Yunani yang berarti susunan). Tagmem adalah korelasi antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisi slot tersebut. Linguistik transformasi melahirkan tata bahasa Transformational Generative Grammar yang bahasa mengandung segi ekspresi (Signifiant) dan segi isi(signifie). Masing-masing segi mengandung forma dan substansi : forma ekspresi, substansi ekspresi, forma isi, dan substansi isi.

2.3     Ciri-ciri Aliran Struktural
1.    Berlandaskan pada paham behaviourisme.
Proses berbahasa merupakan proses rangsang-tanggap (stimulus-respon).
2.    Bahasa berupa ujaran.
Ciri ini menunjukkan bahwa hanya ujaran saja yang termasuk dalam bahasa. dalam pengajaran bahasa teori struktural melahirkan metode langsung dengan pendekatan oral. Tulisan statusnya sejajar dengan gestur.
3.    Bahasa merupakan sistem tanda (signifie dan signifiant) yang arbitrer dan konvensional.
Berkaitan dengan ciri tanda, bahasa pada dasarnya merupakan paduan dua unsur yaitu signifie dan signifiant. Signifie adalah unsur bahasa yang berada di balik tanda yang berupa konsep di balik sang penutur atau disebut juga makna. Sedangkan signifiant adalah wujud fisik atau hanya yang berupa bunyi ujar.
4.    Bahasa merupakan kebiasaan (habit)
Berdasarkan sistem habit, pengajaran bahasa diterapkan metode latihan dan praktik yakni suatu bentuk latihan yang terus menerus dan berulang-ulang sehingga membentuk kebiasaan.
5.    Kegramatikalan berdasarkan keumuman.
6.    Level-level gramatikal ditegakkan secara rapi.
Level gramatikal mulai ditegakkan dari level terendah yaitu morfem sampai level tertinggi berupa kalimat. Urutan tataran gramatikalnya adalah morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat. Tataran di atas kalimat belum terjangkau oleh aliran ini.
7.    Analisis dimulai dari bidang morfologi.
8.    Bahasa merupakan deret sintakmatik dan paradigmatik
9.    Analisis bahasa secara deskriptif.
10.  Analisis struktur bahasa berdasarkan unsur langsung.
Unsur langsung adalah unsur yang secara langsung membentuk struktur tersebut. Ada empat model analisis unsur langsung yaitu model Nida, model Hockett, model Nelson, dan model Wells.

2.4     Tokoh Aliran Struktural
Abdul chaer (2007:346-359) mengatakan bahwa  linguistik struktural  berusaha mendiskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Pandangan ini adalah sebagai akibat dari konsep-konsep atau pandangan-pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan oleh Bapak Linguistik Modern, yaitu Ferdinand de Saussure.
Teori ini berlandaskan pola pikir behaviouristik. Aliran ini lahir pada awal abad XX yaitu pada tahun 1916. aliran ini lahir bersamaan dengan lahirnya buku ”Course de linguistique Generale” karya Saussure yang juga merupakan pelopor aliran ini. Ia dikenal sebaga Bapak Strukturalisme dan sekaligus Bapak Linguistik Modern. Tokoh-tokoh yang merupakan penganut teori ini adalah : Bally, Sachahaye, E. Nida, L. Bloomfield, Hockett, Gleason, Bloch, G.L. Trager, Lado, Hausen, Harris, Fries, Sapir, Trubetzkoy, Mackey, jacobson, Joos, Wells, Nelson.
Linguistik strukturalis  memiliki beberapa  aliran, yaitu :
a.    Aliran Ferdinand de Saussure
b.    Aliran Praha
c.    Aliran Glosematik
d.    Aliran Firthian
e.    Aliran Linguistik Sistemik
f.    Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
g.    Aliran Tagmemik

a.        Aliran Ferdinand de Saussure
Ferdinand de Saussure dianggap sebagai Bapak Linguistik Modern berdasarkan pandangan-pandangan yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique Generale yang disusun dan diterbitkan oleh Charles Bally dan Albert Sechehay tahun 1915.
Pandangan yang dimuat dalam buku tersebut mengenai konsep :
1). Telaah Sinkronik dan Diakronik
2). Perbedaan La Langue dan La Parole
3). Perbedaan Signifiant dan Signifie
4). Hubungan Sintagmatik dan Paradigmatik

b.    Aliran Praha
Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang tokohnya, yaitu Vilem Mathesius(1882-1945). Tokoh-tokoh lainya adalah Nikolai S. Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Morris Halle. Pengaruh mereka sangat besar disekitar tahun 30an, terutama dalam bidang fonologi.

c.    Aliran Glosemik
Aliran Glosemik lahir di Denmark. Aliran ini dikembangkan oleh, Louis Hjemslev(1899-1965), yang meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure. Namanya menjadi terkenal karena usahanya untuk membuat ilmu bahasa menjadi ilmu yang berdiri sendiri, bebas dari ilmu lain, dengan peralatan, metodologis dan terminologis sendiri.
Analisis bahasa dimulai dari wacana, kemudian ujaran dianalisi atas konstituen-konstituen yang mempunyai hubungan paradigmatik. Menurut Hjemslev suatu teori bahasa itu harus tepat , maksudnya harus memenuhi syarat untuk diterapkan pada data empiris tertentu, yaitu bahasa. Sedangkan teori itu agar dapat dipakai secara empiris haruslah konsisten, tuntas, dan sederhana.
Menurut Hjemslev yang sejalan dengan pendapat de Saussure menganggap bahasa itu mengandung dua segi yaitu segi ekspresi (menurut de Saussure; signifiant) dan segi isi (menurut de Saussure; signifie). Segi ekspresi yaitu segi dimana suatu bahasa dilihat dari proses pengungkapan atau pernyataan. Sedangkan segi isi yaitu segi dimana bahasa dilihat dari apa yang dikandung daripada bahasa itu sendiri.

d.   Aliran Firthian
Aliran ini diprakarsai oleh John R. Firth (1890-1960). Beliau adalah guru besar di Universitas London yang terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi. Karena itulah, aliran yang dikembangkannya dikenal dengan nama Aliran Prosodi; tetapi di samping itu dikenal pula dengan nama Aliran Firth, atau Aliran Firthian, atau Aliran London.
Fonologi Prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis. Ada tiga macam pokok prosodi, yaitu:
1). Prosodi yang menyangkut gabungan fonem, seperti :
a) struktur kata,
b) struktur suku kata,
c) gabungan konsonan, dan
d) gabungan vokal.
2). Prosodi yang terbentuk oleh sendi atau jeda.
3). Prosodi yang realisasinya melampaui satuan yang lebih besar daripada fonem-fonem suprasegmental.
Selain mengungkapkan teori prosodi, Firth juga mengungkapkan pandangan mengenai bahasa. Dalam bukunya yang berjudul The Tongues  of Man and Speech (1934) dan Papers in Linguistics (1951) Firth berpendapat bahwa telaah bahasa harus memperhatikan komponen sosiologis yaitu komponen tentang perkembangan masyarakat. Tiap tutur harus dikaji dalam konteks situasinya, yaitu orang-orang yang berperan dalam masyarakat, kata-kata yang mereka ungkapkan, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masyarakat.

e.    Aliran Linguistik Sistemik
Aliran ini diperkenalkan oleh salah seorang murid Firth yang mengembangkan teori Firth mengenai bahasa, khususnya yang berkenaan dangan segi masyarakat bahasa, yaitu M.A.K. Halliday. Sebagai penerus Firth dan berdasarkan karangannya Categories of the Theory of Grammar, maka teori yang dikembangkan oleh Halliday dikenal dengan nama Neo-Firthian Linguistics atau Skala dan Kategori Linguistik. Namun, kemudian ada nama baru, yaitu Systemic Linguistics atau Linguistik Sistemik.

f.     Leonard Bloomfield dan Strukturalis Amerika
Nama Leonard Bloomfield(1877-1949) sangat terkenal karena bukunya yang berjudul Language (terbit pertama tahun 1933), dan selalu dikaitkan dengan aliran struktural Amerika. Nama stukturalisme lebih dikenal dan menyatu kepada nama aliran linguistik yang dikembangkan oleh Bloomfield dan kawan-kawannya di Amerika. Aliran ini berkembang pesat di Amerika pada tahun 30-an sampai akhir tahun 50-an.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya aliran ini, antara lain :
1) Pada masa itu para linguis di Amerika menghadapi masalah yang sama, yaitu banyak sekali bahasa Indian di Amerika yang belum diperikan atau dijelaskan. oleh karena itu, Bloomfield dan kawan-kawan ingin memerikan bahasa-bahasa Indian itu.
2) Oleh karena adanya iklim filsafat yang berkembang pada masa itu di Amerika, yaitu filsafat behaviorisme Bloomfield dalam memerikan bahasa aliran struturalisme ini selalu mendasarkan penjelasannya pada fakta-fakta objektif yang dapat dicocokkan dengan kenyataan-kenyataan yang dapat diamati.
3) Adanya hubungan yang baik antara para linguis-linguis itu, karena adanya persatuan linguis-linguis Amerika, yang menerbitkan majalah  Language, yaitu tempat melaporkan hasil kerja mereka.
Salah satu yang menarik dan merupakan ciri aliran strukturalis Amerika ini adalah cara kerja mereka yang sangat menekankan pentingnya data yang objektif untuk menjelaskan atau memerikan suatu bahasa. Pendekatannya bersifat empirik, yaitu sesuai dengan apa yang dialami oleh para linguis.
Aliran strukturalis yang dikembangkan Bloomfield dengan para pengikutnya sering juga disebut aliran taksonomi, atau aliran Bloomfieldian atau post-Bloomfieldian, karena bermula atau bersumber pada gagasan Bloomfield. Disebut aliran taksonomi karena aliran ini menganalisis dan mengklasifikasikan unsur-unsur bahasa berdasarkan hubungan hierarkinya.

g.    Aliran Tagmemik
Aliran ini dipelopori oleh Kenneth L. Pike, seorang tokoh linguistik, yang mewarisi pandangan-pandangan Bloomfield, sehingga aliran ini juga bersifat strukturalis. Menurut aliran ini satuan dasar dari  sintaksis adalah tagmem ( kata ini berasal dari bahasa Yunani yang berarti ‘susunan’).
Tagmem adalah korelasi atau hubungan timbal balik antara fungsi gramatikal atau slot dengan sekelompok bentuk-bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisi slot tersebut.

2.5     Keunggulan dan Kelemahan Aliran Struktural
·           Keunggulan Aliran Struktural
a.  Aliran ini sukses membedakan konsep grafem dan fonem.
b.  Metode drill and practice membentuk keterampilan berbahasa berdasarkan kebiasaan.
c.  Kriteria kegramatikalan berdasarkan keumuman sehingga mudah diterima masyrakat awam.
d.  Level kegramatikalan mulai rapi mulai dari morfem, kata, frase, klausa, dan kalimat.
e.  Berpijak pada fakta, tidak mereka-reka data.

·           Kelemahan Aliran Struktural
a.  Bidang morfologi dan sintaksis dipisahkan secara tegas.
b.  Metode drill and practice sangat memerlukan ketekunan, kesabaran, dang sangat menjemukan.
c.  Proses berbahasa merupakan proses rangsang-tanggap berlangsung secara fisis dan mekanis padahal manusia bukan mesin.
d.  Kegramatikalan berdasarkan kriteria keumuman , suatu kaidah yang salah pun bisa benar jika dianggap umum.
e.  Faktor historis sama sekali tidak diperhitungkan dalam analisis bahasa.
f.  Objek kajian terbatas sampai level kalimat, tidak menyentuh aspek komunikatif.

2.6     Analisis Bahasa
Linguistik struktural berusaha mendiskripsikan suatu bahasa berdasarkan ciri atau sifat khas yang dimiliki bahasa itu. Hal ini merupakan kaibat dari konsep-konsep atau pandangan-pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa yang dikemukakan oleh bapak Linguistik Modern, yaitu Ferdinand de Saussure.
A.      Ferdinand de Saussure (1857 – 1913)
1.  Telaah sinkronik dan diakronik
a.  Telaah bahasa sinkronik adalah mempelajari  suatu  bahasa  pada  suatu  kurun  waktu tertentu saja. Contoh: Mempelajari Bahasa Indonesia yang digunakan pada zaman Jepang.
b.  Telaah bahasa diakronik adalah telaah bahasa sepanjang masa atau sepanjang zaman bahasa itu digunakan oleh penuturnya.Jadi, kalau mempelajari Bahasa Indonesia secara diakronik harus menelaah bahasa yang dimulai sejak zaman Sriwijaya sampai zaman sekarang.
2.  Perbedaan langue dan parole
a.  La langue adalah keseluruhan  sistem  tanda  yang  berfungsi  sebagai  alat komunikasi verbal antara anggota suatu masyarakat bahasa, sifatnya abstrak.
b.  La parole adalah pemakaian atau releasi langue oleh masing-masing anggota masyarakat bahasa. Sifatnya konkret karena parole tidak lain dari realitas fisis yang berbeda dari orang yang satu dengan orang yang lain. Jadi, dalam hal ini yang menjadi objek telaah linguistik adalah langue yang dilakukan melalui parole, karena parole itu merupakan wujud bahasa yang konkret
3.  Perbedaan signifiant dan signifie
a.  Signifiant adalah citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita.
b.  Signifie adalah pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita Jadi, signifie itu adalah maknanya, sedangkan signifiant itu adalah bunyi bahasanya dalam bentuk urutan fonem-fonem tertentu
4.  Hubungan sintagmatik dan paradikmatik
a.  Hubungan sintagmatik adalah  hubungan antara  unsur-unsur  yang  terdapat  dalam  suatu  tuturan,  yang tersusun secara berurutan, bersifat linear. Hubungan sintagmantik ini terdapat dalam tataran fonologi, morfologi maupun sintaksis.
  Pada tataran fonologi tampak pada urutan fonem-fonem pada sebuah kata yang tidak dapat diubah tanpa merusak makna itu, apabila kata itu diubah urutan fonem-fonemnya maka akan berubah maknanya atau tidak bermakna sama sekali.
Contoh:   k  i  t  a
                k      i      a      t
                k      a      t      i
                k      a      i      t
                i      k      a      t
  Pada tataran morfologi tampak pada urutan morfem-morfem pada suatu  kata, yang juga tidak dapat diubah tanpa merusak makna dari kata tersebut. Ada kemungkinan maknanya berubah tetapi ada kemungkinan pula tak bermakna sama sekali.
Contoh:   Kata segitiga tidak sama dengan tigasegi
                                           Kata barangkali tidak sama dengan kalibarang
  Pada tataran sintaksis tampak pada urutan kata-kata yang mungkin dapat diubah, tetapi mungkin juga tidak dapat diubah tanpa mengubah makna kalimat tersebut, atau menyebabkan tak bermakna sama sekali.
Contoh:   - Urutan katanya bisa diubah tanpa mengubah makna kalimat:
                                             Hari ini barangkali dia sakit
                                             Barangkali dia sakit hari ini
- Urutan katanya diubah menyebabkan makna kalimatnya berubah:
Nita melihat Dika
Dika melihat Nita
b.    Hubungan paradigmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan dengan unsur-unsur sejenis yang tidak terdapat dalam tuturan yang bersangkutan. Hubungan paradigmatik dapat dilihat dengan cara substitusi, baik pada tataran:
    Fonologi
Contoh: Hubungan antara bunyi /r/,/k/,/b/,/m/, dan /d/ yang terdapat pada kata-kata rata, kata, bata, mata dan data.
  Morfologi
Contoh: Hubungan antara prefiks me-, di-, pe- dan te- yang terdapat pada kata-kata merawat, dirawat, perawat dan terawat.
  Sintaksis
 Contoh: Hubungan antara kata-kata yang menduduki fungsi subjek, predikat dan objek.
Contoh:Ali membaca koran; Dia memakai baju; Ani  makan  kue
B.   Aliran Praha
    Struktur formal menyangkut unsur-unsur gramatikal kalimat tersebut, yaitu subjek dan predikat gramatikalnya
Contoh subjek gramatikal yang berada didepan objek:
-Nenek melirik Kakek
(Nenek adalah subjek gramatikal, sedangkan Kakek adalah objek gramatikal).
  Struktur informasi menyangkut situasi faktual pada waktu kalimat itu dihasilkan, struktur informasi menyangkut unsur tema dan rema. Tema adalah apa yang dibicarakan, sedangkan rema adalah apa yang dikatakan mengenai tema.
-This argument I can’t follow
(this argument adalah tema/subjek psikologis, sedangkan I adalah rema/objek psikologis)







BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan penjelasan diatas, penyusun mengambil kesimpulan bahwa :
1.    Aliran Struktural adalah suatu paham bahasa dimana hakikat bahasa dalam taksonomi gramatikal(ketatabahasaan) disusun dari tataran terendah berupa fonem, morfem, kata, frase, klausa, sampai tataran tertinggi yang berupa kalimat.
2.    Banyak macam-macam dari aliran linguistik strukturalis yang mengungkapkan konse-konsep dan pandangan-pandangan baru terhadap bahasa dan studi bahasa.
3.2 Saran
Dalam makalah ini penyusun memberi saran kepada pembaca bahwauntuk memperluas wawasan pembaca dalam memahami pengertian aliran struktural dan berbagai macam aliran linguistik serta pemahaman tentang unsur langsung tidaklah hanya berpedoman pada makalah ini, karena masih banyak dari sumber-sumber lain yang menjelaskan tentang berbagai materi di atas. Kunci daripada orang sukses adalah membaca, karena dengan membaca kita bisa tahu yang mungkin tidak kita ketahui.




DAFTAR PUSTAKA
Mangatur, dkk. 2014. Aliran Linguistik. Pekanbaru: Mandala Publishing
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka cipta

http://nurirvan19.blogspot.com/2014/02/pengertian-aliran-struktural-dan.html