Dedaunan bertebaran dimana-mana. Barangkali, ini pertanda bahwa musim telah menerpa berkali-kali pada setiap pepohonan yang berdiri tegak dengan kokohnya itu. Musim yang entah keberapa, saat kami masih duduk membagikan cerita dan kisah masing-masing di bangku panjang itu. Sejenak anganku kembali pada masa dimana kami bercerita dan bertemu berdua untuk pertama kalinya. Ya. Kampus tercinta menjadi saksi abadi, bagaimana awal cerita itu kami perankan dengan apiknya, meski ujung dan akhir cerita belum terlihat jelas bagaimana dan kapan.
Hawanya masih sejuk. Sama seperti ketika tatap kami bertemu satu sama lainnya kala itu. Aku menunggunya. Selang beberapa waktu dengan gayanya yang sederhana, ia menghampiriku dengan tak lupa senyum menghiasi wajahnya. Senyum yang menjadi sapa penuh berjuta makna. Dan, satu hal yang tak pernah terlupakan, salam yang selalu menjadi pembuka kata. Kami berjabat tangan sembari menanyakan kabar. Ah, waktu itu sangat cepat berlalu.
Awalnya, ia hanya mengajakku bertemu untuk sharing mengenai kegiatan di gerejanya. Dia anak pelayanan. Seseorang yang aku tahu begitu aktif melayani. Yah, hal ini pula sebenarnya yang membuatku sangat menyukainya. Seperti apa yang aku doakan mengenai sosok yang cinta Tuhan, ada pada dirinya. Selain, kriteria lainnya ia juga penuhi, yakni orang Nias, satu suku denganku. Entah mengapa, sampai saat ini aku masih menomorsatukan hal ini. Meski beberapa insan sangat menyukai pribadiku, dan aku juga sama, namun aku akan tetap bertahan pada kriteria ini. Aku hanya tak ingin hubungan itu memberatkan kedua keluarga jika dipenuhi perbedaan suku. Lalu, aku mencari aman dengan kriteria cinta Tuhan dan satu suku.
Percakapan kami mengalir begitu saja. Aku merasakan kami memiliki kecocokan beberapa hal. Dia juga termasuk orang yang sopan dan tutur katanya baik. Beberapa kali aku menyaksikan tingkahnya, yah. Dia cukup sabar dan penuh penguasaan diri. Huh. Semakin lama, hanya kebaikan yang aku lihat. Tapi, sepertinya kami memiliki karakter yang sama. Melankolis. Hal ini sebenarnya sangat baik, artinya dia dan aku bisa merasakan hal yang sama. Hanya saja, aku khawatir, kesamaan ini juga akan menjadi hambatan, jika kami tak bisa berkomunikasi dengan baik. Karena sifat melankolis yang sama, orang demikian akan sangat sulit mengungkapkan apa yang dia rasakan secara langsung. Kemungkinan hanya akan ada saling menunggu dan menduga-duga, dan pada akhirnya yang aku takutkan hubungan akan berakhir karena selalu salah persepsi diantara keduanya.
Kembali aku layangkan pandang di sudut berbeda di kampus itu. Masih saja, bayangnya hadir. Bayangnya muncul dengan senyum khasnya yang menyapa. Yah, aku masih sangat ingat waktu itu dia sedang berjalan-jalan dengan temannya, lalu kami berpapasan. Ia menyapa sembari sedikit menggodaku waktu itu. Hanya saja aku yang masih menutup diri waktu itu masih sangat malu dan enggan berucap sepatah katapun. Hanya senyum yang terlontar menunjukkan responku yang entah dia anggap apa. Lalu, waktu itu pun berlalu. Cerita berakhir.
Juga aku masih ingat beberapa hal yang dia lakukan. Meski aku tak berani menyampaikannya kini. Aku sedang berharap Tuhan memberikan kesempatan untuk kami kembali bercerita berdua tanpa batas. Seperti kala itu ketika waktu dan jarak bukan menjadi penghalang. Kami sangat begitu dekatnya. Kami tidak dibatasi oleh waktu dan jarak yang membentang seperti sekarang ini. Dengan bebasnya kami saling memahami satu sama lainnya. Ada yang aku sadari bahwa tidak semua hal bisa tercurah lewat media. Hanya pertemuan dan rasa aman yang menjadikan suatu relasi bisa berlangsung. Ah. Lagi-lagi seandainya waktu bisa diulang. Namun, takkan pernah aku sesali segala yang pernah terjadi. Setidaknya, itulah waktu dan perkenalan yang Sang Pencipta Izinkan untuk kami bersama dan berbagi. Mungkin suatu saat nanti kami akan kembali melanjutkan cerita yang sama. Barangkali dengan orang yang sama ataupun dengan orang yang berbeda.
#Kampus
#our history
Tidak ada komentar:
Posting Komentar