Kamis, 21 November 2019

Cinta, Kita, dan Tinta_

Rona merah di wajahnya masih saja kental di ingatanku. Kala waktu masih milikku, dan seluruh kenyataan masih berpihak pada kesukaanku. Entah sudah berapa lama aku membayangkan wajahnya yang meneduhkan itu. Mungkin sudah beberapa menit, atau sudah beberapa jam lebih tepatnya aku di sini asik membuka kembali lembaran tentang dia yang sudah tidak sejalan denganku lagi. Sudah sangat lama. Ah, kebiasaan burukku masih saja aku pelihara. Sebentar sadar, beberapa waktu lagi aku masih mau mengingat kenyataan dulu itu. Getir memang.

Tintaku sudah hampir habis. Mataku mulai sembab tersebab air di pelupuk mata masih saja terus berderai tak hentinya. Setiap ingatan tentang dia hanya ada air mata pada setiap kilasnya. Inilah hal yang paling tak aku suka, juga paling aku rindukan. Tak suka jika kilas balik tentang dia dan kesakitan pada hati mengingat takdir tak memihak pada kami, terus bergulir. Di sisi lain, sejujurnya jauh pada lubuk hati, hanya melalui kenangan itulah diri bisa menemukan kembali sepenggal kisah dan bertatap mesra pada setiap kenangan lama itu. Ia, dia. Air mataku semakin membanjiri catatan kecilku yang tepat berada di bawah wajahku. Aku memang sengaja mengundangnya kembali hadir. Segetir itulah kenangan yang masih hidup sampai kini. Mungkin hanya aku dan Tuhan yang tahu rahasia itu hingga masa menutup waktunya untukku.

Setahun sudah. Aku kini bahagia pada sebuah sisi kehidupan yang penuh teka-teki ini. Kehadiran dia yang dahulu tak pernah aku doakan, yang tak pernah aku harapkan, kini telah mengubah segalanya. Dia adalah sosok yang paling aku butuhkan dan bukan yang aku inginkan. Mungkin itulah yang Tuhan kisahkan padaku.

Aku kembali goreskan sedikit demi sedikit pada setiap detik yang berlalu. Maju tak pernah menatap mundur. Beberapa detik kemudian berhenti di tempat untuk sekejap menarik napas panjang sebagai kekuatan di beberapa langkah ke depan, saat mata terbuka pada masa depan yang sudah di pelupuk mata. Ia menatap ke arah yang sama. Di depan sana. Ia menanti dengan begitu manis, tanpa spasi dan tanpa jarak pada kata. Hanya ada kedekatan yang berusaha untuk di rajut bersama. Ya. Dia yang membawa tangan beriringan belajar bersama. Dia yang kini menjamah wajah yang temaram dan mengganti luka menjadi suka. Dia yang dalam segala kekurangan nya membanjiri diri dengan air mata keberjuangan. Dia yang pada salam menjelma rumah sepanjang hayat.

"Kita"memang sedekat itu setelah menjadi jauh bahkan sangat jauh dengan tinta yang menggores kata "pernah", lalu menghadirkan kata "cinta" dalam perjalanan panjang. Langkah takkan pernah kau tahu lelahnya. Namun, jika masa membawamu berhenti dan memaksamu berhenti pula, maka berhentilah sejenak, sebelum kamu melangkahkan kaki maju dan takkan pernah mundur mengenang masa terburuk.

_E




Minggu, 17 November 2019

Rindu yang Salah_

Mahligai dari air mata.

Sejujurnya, langit tetap masih gelap. Bahkan pandanganku masih menaruh harap pada luasnya wajah bumi. Hatiku masih di sana. Tertinggal pada sebuah titik yang jauh tak tersentuh, bahkan tak terlihat oleh banyaknya mata. Jauh, di dasar kedalaman relung kasih. Masih tertinggal di titik yang sama. Masih terkekang oleh pusaran rasa yang telah menggunung begitu lama. Yang masih tertulis indah dalam goresan sebuah nama. Nama yang hanya akan tersimpan selamanya. Nama yang hanya akan tetap menjadi pengingat pada panjangnya lantunan doa yang menggema hingga ketetapan berkata lain. Semerbak wanginya masih tertinggal pada rasa yang masih ada. Masih....

Salamku terkadang hanya sebuah kata klise yang tak bergema, tak jua terdengar bahkan meski hanya sekadar gemingnya. Tak jua berbunyi.
Rindu.
Ya, aku rindu.
Merindukan senja yang pernah ku tatap dalam lekat yang tak bertepi.
Sangat merindukan senja yang pernah ku tunggu. Hingga penantianku berakhir pada malam yang gelap dan pekat. Tak berwajah. Hilang di telan kesunyian. Kekosongan hati dalam tatap sendu pernah ku lewati hanya untuk menjaga harapan yang pernah dan terus ku jaga, "mungkin akan datang" atau "mungkin, akan kembali". Ya. Sampai pada saat aku menyadari bahwa penantian ku di kala senja telah berlalu begitu lama. Tak ada kabar. Tak ada tanda. Tak ada pula hiruk sapa yang menenangkan. Hanya ada harap, cemas, dan kesedihan. Mungkin aku salah dalam menduga. Mungkin aku terlalu berharap. Mungkin aku lupa akan waktu itu, bahwasanya aku hanyalah seorang diri menanti senja, lalu lupa bahwa malam telah larut. Tangisku pecah...

Beberapa waktu telah menetap.
Rinduku memuncak.
Entah mengapa, malam-malam berlalu begitu terasa. Rindu seakan menakutkan bagiku. Berulang kali meneguhkan hati. Berulang kali rasa menyesal hadir. Semakin aku tatap masa yang lalu, semakin bayang yang merobek hati memburuku tanpa spasi. Ah, rinduku ini salah. Rindu yang salah. Akankah engkau cepat berakhir? Aku tak sanggup menahan setiap sesaknya menggelegar di dalam hati dan ingatan. Bahkan, untuk bisa menatapmu sejauh apapun takkan pernah bisa ku lakukan. Untuk mendengar suara yang tidak disengajapun aku tak lagi mampu. Mustahil.
Mustahil terjadi.

Doa-doaku kadang tak lagi aku percaya.
Seperti yakin namun ragu. Terkadang mampu namun jatuh. Jatuh hingga luka telah menetap di setiap bagian dari tubuhku. Membekas tak menghilang. Hanya untuk menantimu. Untuk meyakinkan hati bahwa rinduku ini tak salah alamat.

Sang Khalik, aku masih menunggu rahasia-Nya. Penasaranku membelenggu, apakah rahasia di balik ketetapan yang tak di restui ini. Rahasia di balik takdir yang tak berjodoh ini. Juga, jalan hidup yang menetapkan hal yang tak pernah terpikir. Masih mengunggu.
Di tempat ini sembari menahan sesaknya rindu yang salah. Sembari berharap, waktu kan menjawab pikir yang tak berdaya.
Rinduku membuncah.
Dan, mampuslah aku di koyak Rindu_

E_