Selasa, 28 Agustus 2018

Senja Kepada Malam_

Di ujung asa ada keengganan dalam kata. Ya. Aku keliru. Kekeliruanku mengira bahwa apa yang semakin hari aku jalani akan mengubah rasa yang ada. Sepasang mata saja yang menatap, namun ternyata hati tak jua mau berkata. Entah karena jarak ataukah karena keengganan yang semakin menjemukkan diantara kita setiap waktu. Aku menatap lekat pada setiap gambar dirimu yang sengaja aku simpan sebagai penguat hati kala hadir onak dalam jalinan. Beberapa hal mungkin akan berubah ke depannya. Entahlah. Apakah kamu akan sadar atau membiarkan waktu terus menyibak luka sampai perih tak bisa kamu tahan. Aku sih akan terbiasa, bahkan sudah cukup terbiasa bermain dengan luka. Padamu aku tak tahu. Waktu akan membuktikannya. Mampukah kamu bertahan ataukah sama seperti pengunjung sebelumnya, yang hanya datang sejenak tanpa permisi dan berlalu tanpa pamit. Hahaha. Aku sudah cukup mampu memahami dan melalui waktu yang menyakitkan dan terlalu miris untuk dikenang itu. Kelak aku akan kuak semuanya bagi seseorang yang pada kenyataannya mampu bertahan pada diri yang jauh dari sempurna ini. Pada seseorang yang tak hanya permisi pada hadirnya, tetapi tak pernah berpamitan untuk pergi. Pada sosok yang mengira dan pura-pura bersikap bodoh hanya untuk menjaga nama ini tetap bertahan pada doa-doanya. Sosok yang setia pada masalah dan pergumulan serta sosok yang terus berusaha mengulum senyum padaku meski ia terhunyung luka.
Catatan ketidakmungkinan_

Aku bermimpi kelak ada hal yang bisa menjadi mungkin, ketika rasa seperti tidak sanggup dan ketidakmungkinan ini terjadi. Sama halnya, sekian lama engkau bertahan dan menjaga, lalu semua berubah seketika seperti mimpi. Drastis, 180 derajat kondisi menjadi seakan tak pernah engkau kenal sebelumnya.

Terlalu banyak pula catatan-catatan kecilku menjadi saksi bagaimana setiap proses itu terlalu cepat menjadi angan semu yang bertebaran dimana-mana. Melayang. Sirna. Yah. itulah mimpi dari ketidakmungkinan. Juahnya perjalanan dalam malam gelap tanpa teman, bahkan tetes air mata yang membasahi pipi membuat ketidakpercayaan pada malangnya nasib ini terjadi. Apalah daya saat ini? Hanya lirih "Tuhan, tolonglah hambamu".

Rasanya, terlalu cepat waktu ini kian berputar. Permainannya seakan berlangsung dalam kilatan detik tak terduga, saat tetiba rasa menjadi asa. Saat tetiba pilu menjadi duka. Semakin lama semakin membayang. Tak jelas dan buram bahkan samar menghilang dalam kesendirian sepi.

Tahukah bagaimana beratnya dan lelahnya menatap senja tanpa sapa? tahukah engkau bagaimana menghela nafas yang bersisa dalam sesaknya batinmu? Mungkin tak pernah kau tahu. Tapi, percayalah itu lebih berat dari pada mendekap duri dan menggenggam bara api yang tak terkira. Kamu tahu itu akan melukai ragamu, namun kamu pertahankan agar tak lepas. Semakin lama semakin sakit. Detik pun menyerah pada ujungnya. Tapi tidak pada tekad hatiku. Lalu, seketika pertahananku luluh ketika bara api itu sendiri yang habis dalam genggaman tak bertahanku karena aku kira aku kuat, nyatanya aku tak lebih pada seorang pecundang yang menyerah jauh sebelum berperang. Ya, aku tak berani mengambil resiko. Aku kalah.

Selasa, 27 Agustus'18
#Catatan ketidakmungkinan seorang pecundang
#Catatan seorang penyerah sebelum berjuang
#Catatan diriku. Ya. Aku.