Sewindu telah berlalu.
Berpuluh malam telah meninggalkan jejak-jejak hitamnya yang tak beraturan hingga membekas pada sebentuk hati yang ia tapaki. Belasan bulan tak lagi terdengar hiruknya, hingga ketika rembulan malam menghiasi langit berbintang itu, harmoni yang sama kembali terdengar di telinga, bahkan aroma yang semerbak itu kembali merekah pada sepanjang sudut pada dinding hati. Hingga saat jejak pertama rembulan menghiasi langit malam itu, tampaklah sebuah harapan baru yang entah sampai kapan akan menetap. Mungkin saja selamanya, ataukah bisa saja hanya untuk kata ''sekadar" singgah.
Hatinya sesungguhnya tak lagi sekuat dulu. Ada harap dan cemas pada setiap kata yang terlontar dari bibir mungilnya. Ada genangan air mata yang setiap waktu siap untuk terjatuh mengurai penyesalan dan ketakutan. Ada sebongkah batu hitam pada dinding hati yang masih menunggu untuk dihempaskan. Namun, kenyataan batu itu tetap di sana, tatkala kenyataan yang terjadi memang tak sepaham dengan apa isi hati.
Masih tentang rahasia Sang Khalik.
Kerikil-kerikil tajam itu harus tetap ia jalani. Sungguh, ia pun tak sanggup. Banyak kata yang hendak ia tangisi pada waktu. "Akankah berakhir?". Bilakah masa itu mendapati dirinya tetap kuat dan tegar menopang batu besar pada hadapnya yang terkadang memaksanya mundur dan berhenti, karena ia tahu ia takkan sanggup. Sungguh, ia tak sanggup.
Janjinya, ia akan memberikan sekuntum mawar merah pertanda hati yang merona dan merekah pada dia yang berjuang menghancurkan penghalang jalannya. Batu besar itu. Doanya, seumur hidup memberikan masa dan kasih merah jambu pada dia yang hadir pada akhir perjuangannya. Itu goresan hati yang ia taruhkan pada janji yang ia lekatkan pada hati kecilnya. Ya. Itu. Dia yang sanggup membawanya keluar dari ketidakmampuannya. Dia yang sanggup hadir memegang tangannya dan berjalan menapaki jalan setapak berdua. Ia. Dia.
_August-Dream_